M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Berbagai peristiwa konflik antarnegara (interstate) dalam skala luas mengajarkan, bahwa anarkhisme global —tindakan tanpa rujukan hukum— kerap terjadi dan melanda sebuah negara oleh negara lain namun dunia seperti diam membisu. Irak contohnya, ketika dekade 2003-an diserbu secara keroyokan oleh koalisi militer (NATO dan ISAF) —sekitar 40-an negara— pimpinan Amerika Serikat (AS), negara-negara lain cuma mengutuk tindakan ilegal yang meluluh-lantakkan Irak. Kemarin (14/4/2018), Barat dalam hal ini adalah AS, Inggris dan Perancis menyerang Suriah secara militer, lagi-lagi dunia hanya bisa mengutuk. Pertanyaannya ialah, “Entah kapan dan negara mana lagi akan menjadi korban anarkhisme global berikutnya; lalu, apa yang menjadi basis serbuan militer secara ilegal itu sehingga para agresor melakukan tanpa rasa bersalah?”
Bila dikaji dari perspektif geopolitik, jawaban atas pertanyaan di atas , antara lain sebagai berikut:
Pertama, tindakan itu dianggap sebagai implementasi geostrategi;
Kedua, merupakan ajaran geopolitik terutama implementasi dimensi/teori ruang hidup (living space) atau lebensraum, dan lain-lain.
Kita bahas yang pertama dulu perihal geostrategi. Geopolitik sebagai ilmu dan pengetahuan bukanlah faktor tunggal di ruang hampa, ia cuma peta awal belaka karena titik tujuanya ialah (geo) ekonomi. Maka ada istilah “realitas kembar” di dunia pergeopolitikan. Maksud realitas kembar bahwa ujung/muara dan/atau tujuan di setiap kajian geopolitik adalah geoekonomi. Geoekonomi itu sendiri intinya adalah (water), pangan dan energi (food and energy security). Syarat pokok kehidupan berbangsa dan bernegara. Pun sebaliknya, kajian dan/atau pencapaian geoekonomi mutlak harus berbasis (mapping) geopolitik sebagai kompasnya. AS sebagai contoh, bila berdasarkan kajian geopolitik diperoleh data bahwa produksi minyak dalam negeri hanya mampu memenuhi 60% kebutuhan warganya, maka sisa kekurangan 40%-nya harus (impor) dari luar negeri. Artinya, Paman Sam punya ketergantungan terhadap negara lain dalam hal minyak. Geopolitik memberi isyarat, jika suatu negara memiliki ketergantungan terhadap negara lain, maknanya bahwa geopolitik negara dimaksud telah tergerus.
Nah, strategi guna mengantisipasi kekurangan dan/atau dalam rangka mengeliminir faktor ketergantungan inilah yang kemudian disebut dengan istilah geostrategi. Jadi, geopolitik, geostrategi dan geoekonomi itu rangkaian, satu tarikan nafas. Retorika pun muncul, apakah konflik di berbagai wilayah sumber minyak adalah geostrategi dari para kelompok negara net oil importir? Belum tentu, sebab tak semua negara menerapkan hard geostrategy. Ada yang melalui soft strategy, ataupun oil diplomacy, dan seterusnya. Retorika selanjutnya, apakah masih percaya ada perang karena faktor agama, atau perang akibat perbedaan mazhab dalam sebuah agama di dunia modern ini?
Dalam rezim kolonialis, ada taktik eksplorasi isu dalam ujud eksploitasi masalah perbedaan. Gelorakan isu militansi, lembagakan sikap fanatisme, egosentris, dan lain-lain. Lalu pecah belah, bikin kotak-kotak, buat rekayasa agar para pihak saling berbenturan baik di dunia maya maupun realita. Itulah devide et impera dalam rangka melemahkan kesatuan, dan menghancurkan persatuan sebuah bangsa. Dan ini merupakan salah satu geostrategi, dan lain-lain.
Sekarang membahas faktor kedua kenapa ada anarkhisme global. Ya, teori living space (ruang hidup) menjelaskan tentang bagaimana bangsa-bangsa di dunia mencoba tumbuh dan berkembang dalam upaya mempertahankan kehidupannya. Kenapa? Manusia butuh negara, dan negara butuh ruang hidup. Negara adalah organisme politik (entitas biologis) yang lahir, hidup, berkembang, menyusut dan mati. Batasan ruang hidup tidak tetap, sifatnya mengikuti kebutuhan bangsa yang memiliki ruang hidup tersebut. Bisa berubah-ubah.
Teori Frederich Ratzel perihal living space merumuskan bahwa hanya bangsa yang unggul yang dapat bertahan hidup dan langgeng serta membenarkan (melegitimasikan) hukum ekspansi. Dan tampaknya, sampai bahasan ini sudah boleh ditarik simpulan meski bersifat prematur atas anarkisme (global) militer yang menimpa Irak dan Suriah dengan merujuk diskusi kecil tadi. Kata kuncinya ternyata ada dua, yaitu:
1) mereka —para adidaya— (merasa) sebagai bangsa unggul sesuai ajaran Ratzel;
2) melegitimasi hukum ekspansi.
Setidak-tidaknya, kedua faktor di atas sering kali (tidak setiap kali) dijadikan rujukan bagi negara agresor melakukan kebijakan ekspansi secara militer kendati tanpa berdasarkan hukum internasional sedang (hidden agenda) tujuannya adalah minyak. Inilah yang kerap berlangsung. “If you would understand world geopolitic today, follow the oil,” kata Deep Stoad, pakar geopolitik perminyakan Barat.
Demikianlah adanya.