Mengapa Harus Bela Palestina Sementara Banyak Orang Susah di Sini?

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman

Mengapa kita harus repot-repot membela Palestina nun jauh di sana? Bukankah di negeri ini begitu banyak kesengsaraan? Lihatlah berita televisi, melulu tentang Gaza. Kasus Sri Mulyani dan Bank Dunia terlupakan, Century lewat, Lapindo lewat (lihatlah TVOne, milik Ical, sangat gencar memberitakan tentang Gaza, sampai-sampai kita lupa pada saudara-saudara kita di Sidoarjo sedemikian sengsara akibat lumpur Lapindo).

Menjawab kegundahan ini, saya pikir, kita orang Indonesia harus think globally, act globally plus locally. Pembelaan terhadap Palestina, pada hakikatnya adalah sikap melawan tirani dunia dan menjadi pemisah mana negara budak, mana negara merdeka. Negara-negara yang tidak takut kepada AS akan maju secara aktif membela Palestina. Sebaliknya, Indonesia, yang jelas-jelas tunduk dan patuh pada IMF dan Bank Dunia, dan sangat pro AS, terlihat tak berani melakukan langkah konkrit (selain menyeru dan mengutuk). Secara sinergi, kepatuhan pada tiran-tiran dunia itu juga terimplementasikan pada kebijakan-kebijakan dalam negeri.

Pembangunan ekonomi yang berbasis hutang (bahkan baru-baru ini SBY menandatangani perjanjian hutang 800 juta dollar untuk menangani perubahan iklim! Gila utang 1600T aja entah kapan lunasnya, masih nambah lagi!) adalah contoh konkrit betapa Indonesia sudah diperbudak oleh kekuatan-kekuatan tiran. Inilah yang dimaksud oleh Yudi Latif saat dia komentar di tivi, “Sri Mulyani adalah seorang yang cerdas dan profesional, tapi dia secara sadar berada dalam posisi sebagai pelaksana kepentingan asing.” (ini bukan benci SMI ya, tapi, kebetulan krn menkeunya dulu SMI, terpaksa saya kutip lagi. Kalau nanti Agus Marto juga terbukti sebagai pelaksana kepentingan asing, tentu saja akan nulis juga soal Agus Marto). Para pejabat negeri ini, kebanyakan adalah pelaksana kepentingan asing karena kenyataannya, sebagian besar sumber-sumber ekonomi negeri ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing; bahkan uang untuk membiayai roda pemerintahan negeri ini pun sumbernya hutang dari asing.

Dan Rezim Zionis masih berdiri hingga hari ini dengan ditopang oleh suplai dana yang sangat-sangat besar dari perusahaan-perusahaan asing itu; yang mengeruk uang dari negara-negara miskin dan berkembang (termasuk Indonesia). Sudah banyak diketahui umum bahwa perusahaan-perusahaan terkemuka di AS—negara pendukung utama Rezim Zionis—dimiliki oleh para pengusaha Zionis. Mereka melebarkan bisnis ke berbagai penjuru dunia dan dengan cara-cara yang curang, mengeruk uang dari negara-negara berkembang. John Perkins, penulis buku Confessions of an Economic Hit Man menceritakan modus operandi lembaga-lembaga keuangan AS dalam mengeruk uang:

Salah satu kondisi pinjaman itu –katakanlah US $ 1milyar untuk negara seperti Indonesia atau Ekuador—negara ini kemudian harus memberikan 90% dari uang pinjaman itu kepada satu atau beberapa perusahaan AS untuk membangun infrastruktur—misalnya Halliburton atau Bechtel. Ini adalah perusahaan yang besar. Perusahaan-perusahaan ini kemudian akan membangun sistem listrik atau pelabuhan atau jalan tol, dan pada dasarnya proyek seperti ini hanya melayani sejumlah kecil keluarga-keluarga terkaya di negara-negara itu. Rakyat miskin di negara-negara itu akan terbentur pada hutang yang luar biasa besar, yang tidak mungkin mereka bayar.

Keuntungan besar yang mereka peroleh itu, ujung-ujungnya, digunakan untuk menopang kelangsungan hidup Rezim Zionis. Sejak tahun 1973, AS telah mengirimkan bantuan keuangan untuk Israel senilai lebih dari 1,6 trilyun dollar! (dan dari sudut ini, rakyat jelata AS pun sebenarnya terjajah: uang pajak mereka yang harusnya digunakan untuk peningkatan kesejahteraan justru disumbangkan secara rutin ke Israel).

Ketika orientasi pemerintah bukan pada rakyat, tetapi pada kekuatan tiran (perusahaan transnasional, IMF, Bank Dunia, dll), tak heran bila sedemikian banyak kesengsaraan ada di negeri ini. Maka, yang harus dilawan pertama-tama adalah kekuatan tiran itu. Inilah yang diingatkan oleh Imam Khomeini lebih dari 20 tahun lalu: Israel itu bagai tumor ganas dalam ‘tubuh’ dunia. ‘Penyehatan’ dunia hanya bisa dilakukan dengan mencerabut pangkal masalahnya.

Jadi, tak perlu kita pertentangkan pembelaan kepada Palestina dengan membantu saudara-saudara kita di Lapindo. Justru keduanya harus sama-sama kita perjuangkan. Dan media, seharusnya konsisten dalam hal ini, berita yang mengawal Century dan Lapindo tetap gencar; begitu pula berita Gaza. Jangan jadikan Gaza sekedar alat untuk mengalihkan perhatian publik dari kebobrokan pemerintah negeri ini.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com