Mengenal Reputasi Harry J Benda Sebagai Indonesianis

Bagikan artikel ini
Ada dua Benda. Yang satu kelahiran Prancis yang lain kelahiran Ceko. Benda Prancis selalu disebut jika orang bercakap perihal posisi kaum intelektual dalam pusaran kekuasaan. Benda Ceko sering disebut bila orang berbicara perkara politik dan sejarah Asia Tenggara. Julien Benda yang Prancis pasti senang melihat posisi intelektual Harry J. Benda yang Ceko sebagai sosok yang klop dengan tesis pokoknya.
Harry Benda, pakar studi Asia Tenggara Universitas Yale, Amerika, termasuk periset awal tentang hal ihwal kejadian di kawasan ini dan penulis hampir selusin buku yang fokus dalam wilayah kajiannya. Bersama pakar lain mereka menelaah peristiwa lalu lalang yang berlangsung di situ nyaris tanpa sisa dan tahu persis alpha omeganya melampaui pengetahuan komunitas lokal manapun.
Mungkin gambar 1 orang
Di Indonesia ilmuwan keturunan Yahudi itu dikenal terutama lewat salah satu karya unggulannya The Crescent and the Rising Sun, Indonesian Islam Under Japanese Occupation yang terbit tahun 1958. Puluhan tahun kemudian buku tebal ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam di Indonesia di Bawah Pendudukan Jepang (Pustaka Jaya, 1980).
Meski fokus pada masa Jepang bab pertama mengulas cukup detail dan memikat Islam di zaman Hindia Belanda dan bagaimana pemerintah kolonial memperlakukan agama dalam konteks politik penjajahan. Politik kolonial sedemikian jauh berhasil mendesak Islam ke sudut dan dengan begitu memaksa pilihan menjadi agama perlawanan.
Jika di zaman Belanda ada istilah kooperasi dan non-kooperasi (ko dan non-ko) di masa Jepang istilah oposisional itu diganti dengan sebutan baru yang lembut: kolaborasi. Jepang bermaksud merangkul dalam apa yang mereka sebut hokkoichiu (persaudaraan menyeluruh) dan memberi kado istimewa pada umat beragama dengan mendirikan Kantor Urusan Agama yang kelak setelah merdeka menjadi departemen permanen dalam kabinet pemerintahan.
Bulan Sabit dan Matahari Terbit terhitung buku ketiga dalam bahasa Indonesia besutan direktur pertama ISEAS (Institute of Southeast Asian Studies, lembaga riset besar yang didirikan tahun 1968 di Singapura) setelah Administrasi Militer Jepang di Indonesia (terbit 1965) dan Islam di Indonesia, Sepintas Lalu Tentang Beberapa Segi (kumpulan karangan yang diterjemahkan dan diberi pengantar yang luas oleh Taufik Abdullah, Tintamas, 1974).
Atas jasa-jasanya Southeast Asia Council (SEAC) memulai Harry J. Benda Prize untuk studi-studi Asia Tenggara sejak tahun 1977. Tahun 2022 ini pemenangnya Teren Sevea, asisten profesor Harvard Divinity School, untuk karyanya Miracles and Material Life: Rice, Ore, Traps and Guns in Islamic Malaya (Cambridge University Press, 2020).
Buku ini disebut sebagai a remarkable scholarly achievement dan breathest new life dalam tema-tema hibriditas budaya dan sinkretisme agama di Asia Tenggara. Studi Sevea menggabungkan kajian etnografi, sejarah lisan, riset arsip yang lengkap dan agaknya jarang di usut pakar lain.
Benda terlibat dalam studi Asia karena “kecelakaan yang pahit” tulis Ruth T. McVey dalam Harry J. Benda, An Obituary (1972). Ia harus meninggalkan negaranya untuk menyelamatkan nyawa ketika Ceko di invasi pasukan Nazi. Orang tuanya mengirimnya ke Jawa dengan memberinya pekerjaan di sebuah perusahaan di Hindia Timur. Sejak itu hubungannya dengan Asia Tenggara tak pernah renggang sampai meninggal tahun 1971.
Jika kepada Julien Benda ditanya apakah sosok Harry Benda memenuhi syarat disebut intelektual murni 24 karat rasanya tak mungkin ia menggelengkan kepala.
Darwati Utieh, wartawan senior. 
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com