Mengenang Komunitas Mahasiswa Prapatan-10 Penggerak Denyut Nadi Revolusi Kemerdekaan Indonesia

Bagikan artikel ini
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Siapa sangka, jika sebuah gedung yang berlokasi di jalan Prapatan No 10, yang terletak dekat pasar Senen pada Jalan kembar Prapatan Kwitang, pernah mengukir sejarah sebagai tempat penggemblengan para pemuda-mahasiswa yang membidani lahirnya para pemimpin bangsa yang kelak dikenal sebagai Angkatan 45. Para pemuda-mahasiswa inilah yang mendesak Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Para mahasiswa kelahiran dekade 2000-an yang hidup di era digital, android atau smart-phone, kiranya sulit membayangkan bahwa di Jakarta sekitar 1945, beberapa aktivis mahasiswa kedokteran Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) dan Sekolah Perobatan (Yaku Gaku), pernah memainkan peran yang cukup penting dalam merintis terbukanya pintu gerbang menuju Kemerdekaan Nasional Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Masyarakat Prapatan 10/1945, merupakan sebuah komunitas pemuda dan mahasiswa yang sejatinya terdiri dari dua kelompok kecenderungan. Yang satu terhimpun dalam asrama Ika Daigaku, yang berpusat di Prapatan 10 dan yang satu lagi berkumpul di Baperpi (Badan Perwakilan Pelajar Indonesia) yang berpusat di Cikini 71. Namun para mahasiswa kedokteran Ika Daigaku inilah yang punya ikatan organisasi yang solid dan jadi pendorong di kalangan pemuda-pemuda dan mahasiswa pada umumnya.
Yang unik dari mereka yang menamakan dirinya sebagai Masyarakat Prapatan 10/1945 itu, para anggotanya merasa terikat oleh suatu ideology yang telah meresap di dalam kalbu masing-masing. Ideologi yang yang mereka anut itu disebut “Reine Jurgend Ideologie,” cita-cita Pemuda Murni, suatu ideologi tanpa pamrih, anti-kehdoliman terhadap rakyat, anti perongrongan material/moral terhadap rakyat, dan anti penginjak-injakan hak asasi rakyat.
Inilah landasan ideologi para pemuda-mahasiswa Angkatan 45 yang kemudian membakar jiwa mereka yang mencapai kulminasinya saat runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda dan fasisme Jepang pada 1945. Bagi para pemuda-mahasiswa Prapatan 10/1945, Reine Jurgend Ideologie ini dipandang paralel dan senafas dengan Semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Bahwa hanya melalui persatuan bangsalah kemerdekaan baru dapat diraih.
Sungguh suatu paham yang cukup inspiratif bagi para mahasiswa kita sekarang, yang notabene terkotak-kotak dalam berbagai organisasi ekstra maupun intra kampus dengan kepentingna kelompoknya masing-masing.
Para pemuda-mahasiswa kedokteran Ika Daigaku ini ditempatka di sebuah asrama yang berlokasi di Prapatan 10, dekat Senen. Di sinilah para mahasiswa mengalami masa penggemblengan dalam suasana persatuan yang erat sekali. Tak heran jika para mahasiswa Ika Daigaku Prapatan 10 kemudian menjelma sebagai kesatuan ampuh yang punya kepercayaan teguh atas kemampuan diri sendiri untuk ikut serta menggerakkan roda revolusi, memelopori dan membakar semangat rakyat untuk berjuang.
Selama di asrama Prapatan 10 ini, mereka dibekali dengan ceramah-ceramah politik dan agama, selain memperoleh latihan-latihan fisik secara teratur oleh pemerintahan kolonial Jepang.
Tak heran jika beberapa eksponen mahasiswa Prapatan 10 kemudian bergabung dalam Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) ketika perang kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Karena sejak dini mereka memperoleh pelatihan dari Daidan PETA Jagamonytet, sebuah batalyon PETA terkemudka di Jakarta, dalam hal disiplin militer, kemahiran menggunakan senjata serta cara-cara melaksanakan dan memimpin pertempuran.
Kontak dengan para pemimpin pergerakan nasional dirajut melalui pendidikan dan kursus politik bagi mahasiswa yang tentunya diharapkan sebagai pemimpin-pemimpin masa depan. Para pengurus Asrama menghadirkan para pemimpin pergerakan nasional yang dari segi umur jauh lebih tua untuk  memberikan wawasan politik seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sukarjo Wiryopranoto, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, dan lain-lain.
Rupanya karena ikatan batin yang terjalin melalui pendidikan dan kurusus politik inilah, beberapa pemuda-mahasiswa Prapatan 10 ini pula yang merasa terdorong ikut memotori aksi mendesak Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secepatnya, menyusul informasi yang mereka peroleh pada 15 Agustus 1945 bahwa Jepang sudah menyatakan menyerah kalah terhadap tentara Sekutu. Sehingga para pemimpin mahasiswa, termasuk yang tergabung dalam Masyarakat Prapatan 10, bersama-sama berkumpul di Pegangsaan Timur No 17 menekan Bung Karno dan Bung Hatta agar selekas-lekasnya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia ketika terjadi vacuum of power menyusul menyerahnya Jepang terhadap sekutu.
Satu lagi, peran penting para pemuda-mahasiswa Prapatan 10 dalam masa peralihan menyusul Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan masa-masa konsolidasi nasional beberapa hari sesudahnya, mereka ikut serta dalam :
  • Penyusunan dan pembinaan kelompok-kelompok pemuda rakyat seluruh kota Jakarta
  • Pengambil-alihan gedung-gedung penting beserta peralatannya dan alat angkutan
  • Aksi tulisan/corat-coret slogan-slogan di jalanan, tembok-tembok, angkutan umum dan lain sebagainya.
  • Penyusunan Aparatur Negara, seperti Komite Nasional Indonesia Pusat dan Badan Keamanan Negara (cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia, TNI). Pemerintahan di Ibukota Jakarta
  • Pengiriman kelompok-kelompok kecil ke berbagai penjuru Tanah Air baik di Jawa maupun Luar Jawa.
  • Penyusunan organisasi pos-pos Palang Merah Indonesia di dalam maupun luar kota Jakarta, dan usaha-usaha lainnya.
Salah satu tokoh mahasiswa kedokteran yang tergabung di asrama Prapatan 10 yang cukup menonjol adalah Eri Sudewo, yang kelak di era pemerintahan Suharto pernah menjadi Rektor Universitas Airlangga Surabaya dan Duta Besar RI untuk Swedia. Dalam masa-masa genting ketika Indonesia dijajah Jepang, dalam susunan Pengurus Asrama Prapatan 10, Eri Sudewo memegang ketua biro kemahasiswaan. Posisi ini sangat strategis karena melalui Eri Sudeta inilah dalam memberikan arahan politik dan aksi perjuangan kemerdekaan tanah air.
Apalagi pada kenyataannya, para pimpinan asrama selain merupakan korps yang punya tugas mengelola hal ihwal asrama, pada perkembangannya kemudian jadi inti gerakan bawah tanah dalam menghadapi fasisme Jepang.
Hal ini terbukti munculnya gerakan-gerakan yang terkoordinir di kalangan mahasiswa dalam gerakan melawan Jepang, meskipun para mahasiswa kedokteran bertempat tinggal terpencar di beberapa asrama seperti Cikini 71, di asrama puteri dan yang di luar asrama.
Penggemblengan di asrama Daigaku dan Yakugaku adalah yang paling ketat, meskipun yang mengelola dan memimpin adalah para mahasiswa itu sendiri dan tidak ada pengawasan ataupun pembinaan dari pihak Jepang. Karena Jepang hanya melihat dari luar saja, mereka tidak menduga bahwa para mahasiswa betul-betul menaati ketentuan-ketentuan yang mereka buat, sebab para mahasiswa kelihatannya berdisiplin. Pihak Jepang tidak menduga mahasiswa di dalam asrama digembleng untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan nasional, yang kelak terbukti para eksponen Prapatan 10 menduduki posisi-posisi dan peran-peran strategis pasca proklamasi 17 Agustus 1945.
Ada sebuah cerita menarik. Suatu ketika, Bung Karno, berceramah dalam pertemuan dengan para pemimpin mahasiswa di Cikini 71 untuk memecahkan persoalan pemogokan para mahasiwa terhadap kebijakan fasisme Jepang yang memberlakukan penggundiulan Mahasiswa. Dalam pertemuan itu, Bung Karno menghimbau para mahasiswa untuk menghentikan pemogokan dan kembali kuliah atas dasar pertimbangan strategi dan taktik perjuangan. Namun himbauan Bung Karno mendapat bantahan dari Sudarpo Sastrosatomo dan Sujatmoko. Meskipun akhirnya keduanya bisa memahami sikap Bung Karno.
Menariknya, ketika meninggalkan pertemuan di Cikini 71, Bung Karno sempat menyatakan bahwa Darpo dan Koko itu nanti akan menjadi “orang besar.” Dan ternyata memang benar. Sudarpo kelak merupakan salah satu pengusaha sukses pribumi. Sedangkan Dr Sujatmoko kelak dikenal sebagai salah seorang cendekiawan Indonesia yang sempat menjadi rujukan para mahasiswa pada dekade 1960-an hingga 1980-an.
Nampaknya, para mahasiswa kedokteran Ika Daigaku Prapatan 10 dan Cikini 71, merupakan kelompok mahasiswa yang paling radikal dalam melawan sepak-terjang fasisme kolonial Jepang. Terbukti beberapa mahasiswa yang kemudian ditangkap oleh Polisi Militer Jepang (Kempetai) sebagian besar merupakan mahasiswa kedokteran seperti: Sujatmoko, Sujono, Didi Jayadiningrat, Kurniawan, Wibowo, Mukiman, Sanyoto, Utaryo, Daan Yahya, Suwadi, Petit Muharto, Eri Sudewo, Purwoko, Tajuludin, Sayoko Sastrokarono, Karimudin, dan Suwito.
Penangkapan tersebut bukan saja akibat pembangkangan mahasiswa dalam latihan kemiliteran di lapangan Boxlaan (sekarang jalan Prambanan), tetapi juga adanya berita radio Australia yang ditangkap oleh penguasa Jepang, mengatakan para mahasiswa Indonesia akan mengadakan pemogokan lagi sebagai protes terhadap tindakan kejam penguasa Jepang.
Para mahasiswa Iga Daigaku inilah yang paling merasakan kekejaman tentara Jepang yang diterapkan di kampus mereka. Selain mengalami siksaan fisik, beberapa di antaranya setelah ditahan selama 20 hari, kemudian ada yang dipecat dan tidak boleh ikut kuliah lagi di Sekolah Tinggi Kedokteran. Seperti Sudarpo, Suroto, Subianto, Margono, Sujatmoko dan beberapa mahasiswa lainnya. Sedangkan Eri Sudewo, salah seorang pimpinan mahasiswa yang cukup menonjol serta beberapa mahasiswa lainnya di kalangan Prapatan-10, diskors selama satu tahun tidak boleh kuliah.
Namun sejarah nampaknya cukup adil bagi mereka kelak. Mengingat kenyataan bahwa kala itu tenaga dokter sangat dibutuhkan karena masih langka, maka Eri Sudewo dan sektiar 30 orang mahasiswa lainnya, dibolehkan menyandag gelar dokter tanpa ujian. Karena mereka ketika dikenakan skors oleh pihak Jepang, sudah menduduki tingkat akhir fakultas kedokteran.
Alhasil, Eri Sudewo dan 30 rekannya itu tercatat sebagai lulusan pertama Jakarta Iga Daigaku, yang kelak setelah Indonesia merdeka diambil-alih oleh pihak republik.Yang sekarang lebih kita kenal sebagai Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, di Salemba, Jakarta Pusat. Beberapa pengalaman buruk ini, tak heran jika para eksponen Prapatan-10 pada perkembangannya selain menaruh antipati yang besar kepada fasisme Jepang, sehingga secara garis politik lebih sehaluan dengan Sutan Sjahrir, yang kelak merupakan Perdana Menteri Indonesia Pertama, dibandingkan dengan Sukarno-Hatta yang cenderung lebih kooperatif menghadapi pemerintahan fasisme Jepang ketika itu.
Begitulah. Komunitas Mahasiswa Prapatan-10 merupakan salah satu dari kelompok pemuda-mahasiswa yang sangat aktif dalam persiapan jelang kemerdekaan Indonesia. Selain Kelompok Menteng 31, Cikini 71 dan Gang Bluntas.
Selain itu, rupanya di Asrama Mahasiswa Prapatan-10 ini pula, konsepsi dan gagasan bentuk negara Indonesia merdeka sempat digodok dan dibahas secara intensif oleh para pentolan pergerakan mahasiswa. Seperti apakah Indonesia merdeka kelak baiknya apa lebih pas dalam bentuk kerajaan, republik, dominion, atau negara kesatuan.
Gedung Prapatan 10 yang sewaktu pendudukan Jepang dipakai sebagai Asrama Jakarta Ika Daigaku
Dalam soal diplomasi pun, para pemuda-mahasiswa juga cukup piawai. Seperti misal dalam membangun kesepahaman dengan perbagai elemen pemuda lewat Sidang –sidang kongres maupun rapat-rapat umum. Sebelum Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dibentuk, elemen-elemen pemuda sudah melakukan Kongres Pemuda se-Jawa yang menyerukan persiapan diri bagi pelaksanaan Proklamasi. Bersama pemuda Menteng 31, eksponen Prapatan itu melakukan serangkaian rapat gelap dan mencetuskan Gerakan Angkatan Baru Indonesia.
Jadi jelaslah sekarang bagi kita, bahwa rapat BPUPK maupun Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) yang bermuara pada keputusan strategis 18 Agustus 1945, tidak datang ujug-ujug. Ada suatu kerja politik yang cukup lama. Melalui peran yang dimainkan oleh komunitas mahasiswa Prapatan-10 khususnya,  maupun elemen-elemen pemuda-mahasiswa lainnya seperti Cikini 71, Menteng 31 dan Gang Bluntas pada umumnya, nampak jelas pemuda-mahasiswa ternyata memainkan peran yang sangat penting dalam merintis Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Pada 7 Juni 1945, sebagai ilustrasi,  para pemuda-mahasiswa yang tergabung dalam Ika Daigaku, Yakugaku (Akademi Farmasi), dan Kenkoku Gakuin (Akademi Pemerintahan) menggelar rapat seluruh pemuda pelajar Sekolah menengah Tinggi untuk kemerdekaan Indonesia. Dan di sini lagi-lagi, terungkap betapa besarnya peran dan prakarsa pentolan-pentolan Prapatan-10.  Atas dasar prakarsa para pentolan Prapatan-10 itu pula, rapat kemudian mengeluarkan tuntutan, selain “Indonesia Merdeka Sekarang Juga”, pula mendesak diadakan latihan militer sempurna bagi pemuda-pelajar.
Tak aneh jika beberapa pentolan Prapatan seperti Eri Sudewo, kelak selain punya reputasi sebagai dokter ahli bedah dan paru-paru, juga merupakan perwira tinggi Angkatan Darat berpangkat Mayor Jenderal. Selain menjadi Rektor Universitas Airlangga antara 1966 -1974 dan Duta Besar RI untuk Swedia.
Sujatmoko, jebolan Ika Daigaku yang sayangnya harus dipecat oleh Jepang sehingga gagal jadi dokter, namum kelak dikenal sebagai salah seorang intelektual Indonesia caliber internasional. Selain pernah jadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat di era pemerintahan Suharto, juga pernah menjadi Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa di Tokyo, Jepang. Ironis bukan. Dipecat oleh Jepang sebagai mahasiswa, namun akhirnya menduduki posisi sangat terhormat di Jepang.
Sudarpo Sastrosatomo kelak merupakan pengusaha sukses di bidang perkapalan baik di era Sukarno maupun Suharto. Sehingga tepatlah prediksi Bung Karno bahwa Sujatmoko dan Sudarpo kelak bakal jadi “orang besar.” Tentunya, di bidang dan bakat khususnya masing-masing. Dan uniknya, meskipun dalam perkembangan sejarahnya kemudian, Bung Karno berseteru dan bermusuhan dengan Sutan Sjahrir dan Partai Sosialis Indonesia, di mana Sujatmoko dan Sudarpo lebih segaris secara ideologis dengan Sjahrir dan PSI, namun Darpo dan Koko tetap menjalin hubungan pribadi yang baik dan akrab dengan Bung Karno. Bahkan melalui mediasi mereka berdua, komunikasi tak langsung antara Bung Karno dan Bung Sjahrir tetap terjalin.
Barang tentu, komunitas Prapatan-10 bukan satu-satunya elemen mahasiswa yang cukup menonjol semasa transisi dari pemerintahan Jepang menuju Indonesia merdeka. Selain Prapatan-10, ada juga kelompok pemuda yang tergabung dalam Asrama Angkatan Baru Indonesia, yang berpusat di Menteng 31. Mulanya, kelomok ini dibentuk oleh sejumlah pemuda yang bekerja pada bagian propaganda Jepang (Sendenbu). Secara resmi pendirian asrama ini dibiayai oleh Jepang dengan maksud menggembleng para pemuda untuk menjadi alat Jepang. Akan tetapi pada perkembangannya kemudian tempat ini oleh pemuda dimanfaatkan secara diam-diam untuk menggerakan semangat nasionalisme dan persiapan menuju Indonesia merdeka.
Beberapa pentolannya adalah Ir Sakirman, DN Aidit, dan AM Hanafi. Mereka bertiga ini kelak dikenal sebagai pentolan-pentolan penting Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mereka ini mengorganisir Barisan Pelopor, termasuk tukang becak dan buruh kendaraan. Pada perkembangannya kemudian ketika Jepang mulai tanda-tanda akan kalah dari sekutu, kemudian membentuk Gerakan Indonesia Merdeka(Gerindom) dengan diketuai oleh DN Aidit, MH Lukman dan Kertapati.
Mereka ini membentuk sel-sel kerja dan menjalin kontak dengan pemuda-pemuda dan golongan lain secara diam-diam. Di antara para pentolan Menteng 31 adalah Adam Malik (kelak Menteri Luar Negeri RI di era Suharto). Chairul Saleh (terakhir Wakil Perdana Menteri III di era Bung Karno), Subadio Sastrosatomo (kakak kandung Sudarpo yang merupakan pentolan Prapatan-10), dan BM Diah (kelak merupakan pemilik dan pemimpin redaksi Harian Merdeka).
Meski Aidit, Lukman dan Hanafi waktu itu sudah dipandang berhaluan komunis, namum pada prakteknya mereka ini tetap berkomitmen demi kepentingan nasional dan tidak ekslusif untuk kepentingan partai komunis. Apalagi waktu itu kan PKI belum ada. Fokus waktu itu, bagaimana agar secepatnya mengusir pemerintahan fasisme Jepang, dan secepatnya memproklamasikan Indonesia merdeka. Tak pelak lagi, baik komunitas Prapatan-10 maupun Menteng 31, hakikinya merupakan kelompok pendobrak.
Setelah menyerap kembali kisah mereka, saya jadi berpikir, jangan-jangan tanpa desakan dan tekanan para pemuda-mahasiswa ini agar secepatnya memproklamasikan kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta bakal dilanda keragu-raguan dan mungkin juga kekhawatiran, untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Yang tak kelah penting dalam memainkan peran merintis kemerdekaan Indonesia adalah Badan Permusyawaratan Pelajar Indonesia (BAPERPI). Salah satu pimpinannya yang menonjol adalah Supeno (kelak jadi Menteri Pemuda di masa awal Kemrdekaan), Burhanudin Harahap dan Kusnandar. Kelompok persatuan mahasiswa ini, seperti juga Prapatan-10 dan Menteng 31, sangat anti fasisme Jepang. Sehingga praktis BAPERPI dan Prapatan-10 pada perkembangannya lebih menganut garis politik Sutan Sjahrir.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com