Mengepung Cina, Memecah-belah Islam! (Bag 2-Habis)

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Tampaknya, tertundanya “pemanasan” di Semenanjung Korea kemarin, dilanjutkan kembali di Laut Cina Selatan. Diawali klaim-klaim kecil atas Kepulauan Spratly dan Paracel oleh kelompok negara satelit AS seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam dan lainnya. Bahkan Philipina berani mengklaim Laut Cina Selatan sebagai Laut Filipina Barat, juga Vietnam pun menyebutnya Laut Timur.

Termasuk rencana membangun pangkalan militer di Singapura, semakin terbaca sebagai sikap AS menahan gerak laju Cina melalui penguasaan Selat Malaka, yang merupakan lintasan kapal-kapal dari Laut Cina Selatan menuju Teluk Benggala, Myanmar dan Samudera Hindia. Itulah langkah-langkah nyata mengepung Cina. Sekilas terlihat penerapkan PNAC di tengah terpaan krisis ekonomi sepertinya membabi-buta bahkan terkesan nekat, tetapi sudah barang tentu, niscaya AS memiliki hidden agenda yang lebih besar daripada terlihat.

Merujuk awal tulisan ini, memang terdapat unsur lain tidak terduga bahkan mengendala dalam implementasi PNAC. Ya, unsur lain itu adalah Islam. Bermula dari tesis Samuel P Huntington soal Clash of Civilization (benturan peradaban) menganggap Islam itu ideologi. Inilah titik awal. Ketika dianggap ideologi maka ia diletakkan selaku kompetitor oleh kaum kapitalis. Usai Perang Dingin, Islam dihadapkan dengan kapitalis. Lalu para muslim dengan aneka atribut budaya dicap bar-bar dan dianggap ancaman. Sedang Islam merupakan agama langit – rahmat seluruh alam. Inilah kesalahan terbesar Huntington merumus benturan peradaban, sebab konsepnya justru menjadi penyebab pokok kebangkrutan kapitalisme. Istilahnya kualat, sebab menghadapkan agama langit (wahyu Ilahi) dengan hasil olah (ideologi) pikir manusia!

Alhasil otak-atik konsep Huntington oleh think thank Gedung Putih di era Bush Jr, melahirkan tiga alur (skenario) dan skema besar pada abad ini, yaitu pre-emtive strike doctrin, Whorld Trade Centre (WTC/911), dan al Qaeda atau terorisme.

Sebagaimana diketahui bersama, melalui ketiga skenario tadi, Afghanistan (2001) diinvasi oleh militer AS dan sekutu, kemudian Iraq (2003) dikuasai dengan beragam stigma bergerak. Ini terlihat nyata. Awalnya stigma Iraq (dicap) menyimpan senjata pemusnah massal, ketika telah diduduki dan ternyata tak terbukti stigma diganti melawan pemimpin tirani, tatkala Saddam tewas digantung stigma diubah lagi menjadi menjaga stabilitas keamanan. Entah esok stigma atau dicap apa lagi.

Akhirnya berkembang opini bahwa stigma AS terhadap suatu negara atau kelompok tertentu, sesungguhnya cuma dalih agar ia bisa mengobrak-abrik wilayah target (biasanya negara penghasil minyak, emas, gas bumi dan tambang lain) tanpa ia repot menuai protes dari kalangan internasional. Itulah pola yang digunakan dengan berbagai kemasan.

Selanjutnya, terlepas pro-kontra tewasnya Osama disebu Navy SEAL lalu konon dibuang ke laut, peristiwa itu disinyalir hanya “momentum” agar ia lepas dari tanggung jawab dari skema terdahulu (al Qaeda dan terorisme) baik yang sifatnya teknis, taktis, maupun capacity building — dan terlebih dalam hal pendanaan. Skema War on Terror (WoT) selesai atau tamat. WoT malah membikin hancur perekonomian AS dan sekutu. Sosok Bin Laden dianggap gagal memainkan peran, maka konsekuensi logis harus “dilenyapkan” sebagai tanda akhir cerita. Selamat jalan Osama!

Berdasar tiga alur skenario besar di muka tadi, terbaca bahwa methode penjajahan AS terutama era Bush Jr, intinya selalu diawali tebaran stigma buruk bagi daerah target, kemudian dimunculkan pembangkang atau sosok hero yang melawan, dilanjutkan invasi militer melalui keroyokan bersama sekutunya (NATO dan ISAF) dan seterusnya. Contoh riil ialah perang Iraq dan Afghanistan yang hingga kini tak jua usai, kendati telah menghabiskan budget milyaran dolar namun hasilnya nihil. Perang tak membawa manfaat bagi ekonomi negara bahkan menimbulkan efek kehancuran di sektor lainnya terutama moral dan sektor sosial. Ya, WoT cuma mengenyangkan segelintir kotraktor perang saja!

Fenomena menarik muncul, ketika Tony Blair ex Perdana Menteri (PM) Inggris setelah turun jabatan 2007 membaca Al Quran setiap hari. Menurutnya, Al Qur’an membuatnya melek iman. Melek iman penting di era globalisasi seperti ini, sebagai upaya untuk mengerti apa yang terjadi di dunia dan karena sifatnya yang instruktif,” ujar Blair wawancara dengan majalah Observer.

Tak hanya itu, ia juga memuji Islam sebagai sebuah agama indah dan Nabi Muhammad dikatakan sebagai sosok yang kuat. Dan dekade 2006-an lalu, Blair pernah menyatakan bahwa Al Quran kitab yang terus bereformasi, praktis, dan seakan dibuat mendahului zamannya. Ia yakin pengetahuan tentang Islam akan membantunya sebagai Duta Besar Timur Tengah untuk Kuartet PBB, AS, Uni Eropa (UE), dan Rusia. Blair ingin membantu menyelesaikan konflik antara Palestina-Israel. Luar biasa! Melihat sepak terjang Blair bersama Bush Jr, terutama dalam perang di Afghansitan dan Iraq, maka sikap yang ditampilkan kini sungguh bertolak belakang dengan sebelumnya yang cenderung keras memusuhi Islam. Timbul decak kagum berbagai kalangan, karena ucapan Blair diliput oleh banyak media, bahkan mencengangkan kalangan Islam itu sendiri. Benarkah?

Bila merujuk asumsi Escobar, bahwa politik praktis memang bukan yang tersurat melainkan yang tersirat, maka fenomena Blair mengingatkan pada sosok Snouck Hurgronye, orientalis Belanda yang mempelajari dan pindah agama kemudian berganti nama menjadi Abdul Gaffar. Ternyata penitrasinya bermaksud memeta struktur kekuatan dan daya lawan rakyat Aceh saat itu. Setelah itu, dirumuskan trik pecah belah dari sisi internal dengan istilah “belah bambu”. Ketika teorinya dianggap berhasil memecah belah umat Islam di Aceh, konsepnya dipakai secara “nasional” oleh pemerintahan kolonial, bahkan disinyalir, implementasi siasat belah bambu terus berlanjut hingga kini  – terbukti dengan maraknya dinamika keagamaan dengan beragam aliran di bumi pertiwi, tetapi malah menimbulkan bentrokan, pertikaian, dan perpecahan umat Islam itu sendiri.

Uniq, memang uniq! Betapa pusat pergerakan paham dan aliran yang berkembang justru dari Barat. Selayaknya segenap komponen bangsa harus menyikapi, atau minimal berasumsi bahwa gerakan berbagai aliran bukanlah sekedar dakwah oriented, melainkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bentukan asing berkedok agama yang bertujuan menghancurkan Islam dari sisi internal. Hal ini pararel dengan tata cara Snouck dekade 1889-an doeloe.

Ujud “penghancuran umat” sekarang bisa dalam bentuk membenturkan sesama umat padahal cuma beda budaya, atau mendangkalkan ajaran, menyimpangkan makna ayat, atau pengaburan agama dan lainnya. Itulah legenda taktik adu domba kolonial yang tengah berlangsung di bumi pertiwi. Sungguh banyak anak bangsa ini larut oleh “arus belah bambu”-nya Snouck lagi tidak menyadari, atau ada yang mengerti namun pura-pura tidak memahami!

Mengenang warna Snouck memang penuh corak. Bagi Belanda, ia adalah pahlawan pemeta struktur perlawanan rakyat Aceh, lalu mematahkan via teori hasil penelitiannya; bagi golongan orientalis dianggap sarjana sukses, sedang bagi rakyat Aceh sendiri, ia merupakan pengkhianat tanpa tanding – sebab memanipulasi tugas keilmuan untuk kepentingan politik.

Kendati tak ada catatan yang pasti, kemungkinan teori Snouck merupakan embrio Devide et Impera yang melegenda hingga kini. Inti teorinya adalah:

Tahap pertama, memecah “kotak kekuatan” Aceh melalui perang kontra-gerilya. Mematahkan perlawanan ulama. Dimulai melempar isue bahwa yang berhak memimpin Aceh bukanlah uleebalang tetapi ulama yang dekat dengan rakyat kecil. Tatkala komponen paling menentukan itu telah pecah dan rakyat berdiri di belakang ulama, kemudian mengerasi ulama dengan harapan rakyat yang sudah berposisi menjadi takut. Untuk waktu singkat, methode ini berhasil.

Tahap kedua, mendekati ulama untuk bisa memberi masukan materi fatwa agama. Tetapi materi fatwa-fatwa tersebut sudah berisi “ruh” adu domba. Ia berkotbah, demi kepentingan agama supaya  memisahkan antara agama dan politik (negara). Ya, agama tidak boleh memasuki koridor negara. Agama hanya boleh berinterakasi di ruang-ruang privacy saja. Disinyalir, model trik kedua ini merupakan benih sekularisasi yang kini marak dan mengglobal serta banyak dianut berbagai agama atas nama reformasi. Intinya jelas, pisahkan agama dari negara!

Tahap ketiga, mematahkan perlawanan secara keras walaupun akhirnya diubah, oleh karena pelumpuhan melalui kekerasan justru melahirkan implikasi yang sulit diredam. Kendati akhirnya taktik Snouck mampu menaklukkan kesultanan Aceh era 1903-an, tetapi pokok permasalahannya belum selesai. Ia menyarankan, agar di Aceh diterapkan kebijakan praktis yang dapat mendorong hilangnya rasa benci masyarakat akibat penaklukkan bersenjata. Snouck menyatakan bahwa takluknya kesultanan Aceh bukan berarti seluruh Aceh takluk.

Membaca fenomena Blair, memang tak elok bila menganalogkan dengan petualangan Snouck. Terlalu dini. Namun mendengar jabatannya Dubes Besar untuk Timur Tengah mewakili kuartet kelompok yang berdasarkan catatan, adalah kelompok negara yang pernah dan sedang mengeksploitasi (minyak) di negara Islam, mungkin sama dan sebangun dengan cerita Snouck dahulu. Memang, pengulangan sejarah dan peristiwa sering terjadi tanpa disadari kendati ruang serta waktunya berbeda, tetapi isi dan intinya ternyata sama!

Demikian adanya, demikian sebaiknya.

Daftar bacaan :

http://id.berita.yahoo.com/foto/tony-blair-saya-baca-al-quran-setiap-hari-foto-033000208.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Christiaan_Snouck_Hurgronje

http://www.theglobal-review.com/

http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=33882%3Apembangunan-pangkalan-militer-as-dekat-indonesia&catid=15%3Alintas-warta&Itemid=58

Kompas, 14 Juni 2011, halaman 9, Laut China Selatan : Vietnam Gelar Latihan, China Marah

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com