Menggebuk Korupsi dengan Revolusi Industri

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

“Hakiki revolusi apapun, dimanapun dan hingga kapanpun, terutama revolusi industri ialah menguntungkan orang (rakyat) banyak kendati situasi negara pasti “terkapar”, bangkrut atau dirugikan. Ingat! Sekali lagi, revolusi industri membuat negara terkapar namun rakyat diuntungkan pada satu sisi, sangat berbeda dengan korupsi, selain negara dan rakyat (terkapar) dirugikan, korupsi merupakan “cermin buruk” sekaligus potret memalukan sebuah bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia”

Revolusi adalah perubahan secara cepat pada sendi dasar atau pokok-pokok kehidupan, terutama aspek sosial dan budaya di tengah-tengah masyarakat. Ia dapat direncana atau diluar rencana, bisa dilakukan tanpa kekerasan tetapi sangat mungkin dipenuhi kekerasan. Kalaupun marak kekerasan pada sebuah revolusi, harus dipahami dan dimaklumi sebagai dampak kekosongan nilai-nilai dalam masyarakat akibat perubahan mendadak yang ditimbulkan oleh situasi yang berkembang.

Hal lain yang mutlak dicermati —meskipun relatif— adalah kecepatan perubahan sebagai “ruh” revolusi. Artinya bila situasi yang diinginkan tidak kunjung datang, maka kembali pada topik, tema ataupun momentum. Mungkin terlalu melambung. Revolusi industri di Inggris misalnya, dianggap lama karena memakan tempo bertahun-tahun, namun juga dipersepsikan cepat karena mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan rakyat.

Geliat revolusi akan terkait dengan upaya-upaya merobohkan sistem atau tatanan lama, lalu (mengubah) menjadi tatanan baru. Ia tidak bisa dilepas dari dialektika, logika, romantika, menjebol dan membangun. Dan revolusi jenis apapun bukanlah tiba-tiba, melainkan karena sebab akibat daripada proses sebelumnya.

Ya. Dialektika ialah perubahan yang ditunjang beragam faktor menuju kemaslahatan rakyat. Tidak hanya figur pemimpin, tetapi juga sarana serta segenap elemen perjuangan. Bagaimana ia dikerjakan secara cermat lagi matang. Tak boleh dipersingkat, diperlambat, atau dipaksa cepat-cepat. Para kader harus dibangun penuh kesadaran dengan kondisi riil sekeliling. Lakukan proses dengan baik jangan melihat hasil, maka akan tiba pada saatnya. Itulah logika revolusi.

Sedang romantika merupakan seperangkat nilai yang hidup dan berkembang. Ia perlu dibangun serta diperingati agar hikmah revolusi kelak bisa dipetik oleh generasi mendatang. Adanya museum dan tugu peringatan misalnya, selain untuk mengenang dahsyatnya power revolusi, membuktikan capaian terhadap kemaslahatan rakyat, dan yang pokok adalah menginternalisasi semangat revolusi menjadi nilai-nilai kehidupan bagi warga kini dan esok. Maka menjebol dan membangun ialah bagian integral yang tidak terpisah. Tatanan lama yang cenderung menyengsarakan rakyat mutlak harus diganti tatanan baru yang secara signifikan berperan bagi kesejahteraan rakyat. Itulah bukti fisik revolusi.

Secara umum, revolusi mencakup perubahan apapun yang memenuhi persyaratan yaitu mengubah (wajah bangsa bahkan dunia), sementara dalam arti sempit sering dimaknai sebagai perubahan politik. Kharakteristik setiap revolusi pun seringkali berbeda. Di Prancis misalnya, tidak sama dengan kharakter revolusi di Rusia, Cina, India dan lainnya. Revolusi di Prancis dianggap sebagai gerakan kelas menengah yang ingin mengubah sistem kerajaan menjadi republik. Berbeda dengan revolusi di Amerika, Vietnam dan lainnya yang merupakan gerakan “merebut kemerdekaan”. Yang membuat berbeda adalah kharakter kerakyatan. Di Prancis dianggap sebagai revolusinya kaum borjuis, sementara di Rusia disebut perjuangan kaum proletar atau komunis, atau dikenal sebagai revolusi bolshevik. Di Indonesia tempo doeloe disebut perang kemerdekaan.

 

Korupsi dan “Daftar Keprihatinan”

(“Korupsi sebagai ‘alat menyerbu’ Indonesia oleh kaum kolonial memang efektif, selain merusak sisi paling vital dalam kehidupan berbangsa yaitu mental, moral serta keuangan negara juga tersirat ruh adu domba disana-sini”)

Tak dapat dipungkiri, korupsi sebenarnya hanya sebuah modus, tema atau tata cara dari sebuah penjajahan model baru kaum imperialis. Korupsi di Indonesia memang diciptakan via sistem ketatanegaraan yang didukung aturan dan perundang-undangan (UU) negara yang sudah dirombak total, terutama awal-awal memasuki era reformasi dahulu.

Ketika sistem yang kini berjalan justru mendorong perilaku koruptif, seperti otonomi daerah, pemilu langsung, one man one vote, kentalnya pencitraan dalam pola kampanye, multi partai dan lain-lainnya, maka seribu pun — bahkan sejuta badan ad hock seperti KPK atau komisi-komisi lain tidak bakal mampu membendung korupsi. Global Future Institute (GFI), Jakarta akhir 2011-an menyatakan, bahwa model demokrasi Indonesia saat ini yang berkuasa adalah kaum pemodal. Ya, korupsi di Indonesia sengaja diciptakan melalui sistem!

Permasalahan bangsa ini ada di tataran hulu (sistem), akan tetapi segenap komponen bangsa selama ini “tertipu”, sibuk memerangi persoalan-persoalan hilir. Oleh media, khususnya media mainstream perhatian publik sering digiring dalam dinamika kasus-kasus, unjuk rasa, pola pemberantasan, seminar atau diskusi-diskusi di berbagai media penyiaran yang malah membuat “bingung” rakyat: mana yang salah dan siapa benar? Semua lupa dan tak peduli lagi apa learning point diakhir acara karena meriah tepuk tangan pemirsa.

Korupsi sebagai methode baru kolonialisme justru mampu menjadi infotaimen menarik berating tinggi di media, namun nihil atau nol besar dalam proses solusi berbangsa dan bernegara. Para tokoh, pakar dan pejabat-pejabat yang berkompeten terjebak dalam dialog-dialog emosi, saling memaki,  mengintimidasi, mengelak atau menyebar fitnah kesana-kemari. Korupsi sebagai “alat menyerbu” Indonesia memang efektif, selain menyentuh sisi paling vital dalam kehidupan berbangsa yaitu mental, moral dan keuangan negara, juga tersirat ruh adu domba disana-sini. Inilah yang kini tengah berlangsung.

Sebagai methode dari (sistem) kolonialisme gaya baru di tanah air, korupsi mutlak harus dikontra serentak, sistematis, dan dilakukan secara gegap gempita di berbagai lapisan masyarakat, bahkan pemerintah itu sendiri. Dengan demikian, pergerakan anak bangsa — tanpa mengurangi rasa hormat atas segala upaya selama ini memerangi korupsi, jika tanpa kontra skema yang jelas guna mendongkel modus baru tersebut, tak ubahnya seperti deret duka cita —“daftar keprihatinan”—. Artinya bahwa teriakan, keringat bahkan darah dan jiwa mereka bakal terbentur dinding bisu tak tergoyahkan. Bukannya sia-sia tapi mubazir tercecer di jalanan!

Tak bisa tidak. Sebuah revolusi apapun jenisnya, terutama revolusi industri adalah salah satu kontra atau anti tesis dalam rangka mencongkel skema kapitalisme gaya baru bermodus “debut” korupsi yang tertancap bahkan sudah dianggap sebagai budaya di republik ini.

 

Revolusi Industri di India

(“Sejarah mengajarkan, bahwa kemajuan suatu negara diawali dari revolusi industri”)

Hakiki revolusi apapun, dimanapun dan hingga kapanpun, terutama revolusi industri ialah menguntungkan orang (rakyat) banyak kendati situasi negara pasti “terkapar”, bangkrut atau dirugikan. Ingat! Sekali lagi, revolusi industri membuat negara terkapar namun rakyat diuntungkan pada satu sisi, sangat berbeda dengan korupsi, selain negara dan rakyat (terkapar) dirugikan, korupsi merupakan “cermin buruk” sekaligus potret memalukan sebuah bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia.

Menyandingkan revolusi industri dengan korupsi memang tidak tepat, karena revolusi apapun merupakan gerakan (mulia) menuju keadaan lebih baik, sedang korupsi justru kebalikan. Ia seperti racun yang ditebar pada “sumur” negara, diminumkan setiap hari hingga bangsa tersebut secara perlahan menemui ajal. Ketika korupsi telah disebut sebagai debut, atau semacam budaya maka harus dirombak, diganti total hingga ke akar-akarnya.

Revolusi industri di India misalnya, seusai masa kolonialisme Inggris bangkit secara perlahan namun pasti. Kendati kini masih menyisakan paradoks seperti kemakmuran tidak merata, isue kemiskinan di tengah pertumbuhan ekonomi, permasalahan gender dan lainnya, namun sekurang-kurangnya telah menumbuhkan berbagai sektor industri termasuk menumbuhkan budaya cintai produk sendiri daripada produk asing. Ini memicu pasar domestik berkembang pesat. Disamping itu, keteladanan kesederhanaan para eksekutif India, membuat ia memiliki ketahanan budaya dan terlepas dari international demontration effect atau pameran penggunaan produk asing.

Misalnya Industri farmasi India, disamping kini bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri (95%) juga mampu memasok 40% kebutuhan dunia. Ekspor farmasinya tidak hanya ke negara-negara berkembang, namun telah melangkah ke Amerika Serikat (AS), Jerman, Prancis dan kelompok negara Amerika Latin. Pemberlakuan UU Paten tahun 1970 menjadi tonggak bagi revolusi industri (farmasi). UU ini melepaskan India dari ketergantungan asing dan menjadikan mampu swasembada obat-obatan. Belum lagi industri perfileman, industri mobil, teh, informasi, industri penerbitan dan lain-lainnya. Semua mengalami kemajuan signifikan akibat revolusi industri.

 

Revolusi Industri di Cina

(“Hampir semua sektor kini dirambah. Dari industri hulu sampai hilir, dari mulai barang keperluan rumah tangga hingga peralatan militer, bahkan industri informasi serta teknologi angkasa luar pun ia mampu. Dunia mengakui Cina sebagai adidaya baru di sektor ekonomi, teknologi dan militer”)

Di Cina lain lagi, awal revolusi industri dimulai dengan keberaniannya untuk “puasa panjang” ketika zaman Mao Zedong menutup diri dan dunia menyebutnya Tirai Bambu, negeri yang tertutup bagi dunia luar. Tatkala kini ia membuka diri dalam perdagangan internasional, Cina pun ibarat raksasa terbangun dari tidur. Hampir semua sektor dirambah. Dari industri hulu sampai hilir, dari mulai barang keperluan sehari-hari hingga peralatan militer bahkan industri informasi serta teknologi angkasa luar pun ia mampu. Dunia mengakui Cina sebagai adidaya baru di sektor ekonomi, teknologi dan militer.

Mesin uap sebagai pemicu revolusi industri di Eropa abad XIX dahulu, sesungguhnya sudah ada di Cina pada abad X, atau sekitar 600-an tahun sebelum James Watt mempublikasi “penemuan”-nya di Eropa. Pertanyaanya, kenapa pada abad itu tidak muncul revolusi industri di Cina?

Memang sebuah temuan  —apapun— akan menjadi emas karena dikenang sepanjang masa atau akan mati, tergantung kondisi sosial masyarakat dimana ia ditemukan. Meskipun Cina telah jauh lebih dulu menggunakan turbin air untuk produksi dan mekanisasi massal, tetapi saat itu bukan merupakan “temuan tepat” karena jumlah penduduk yang padat. Rakyat membutuhkan pekerjaan dan penghidupan. Penggunaan mesin uap sama dengan membunuh ribuan lapangan pekerjaan yang seharusnya disediakan pemerintah untuk rakyat, dan akan memicu ketidakstabilan negara. Pemerintah tidak akan membiarkan mesin ini mengganggu kestabilan sosial. Meskipun ia menyadari betapa efisiensi yang dihasilkan oleh mesin ini, namun manfaat yang diperoleh tidak setara dengan gejolak sosial yang bakal ditimbulkan.

Revolusi industri di Cina, dimulai ketika pemerintah telah mengantongi format terbaik dan cocok tentang kekayaan dalam mencapai stabilitas. Menurut George Friedman, ada tiga kepentingan inti yang dianggap strategis oleh Cina karena bermuara kepada perwujudan kesejahteraan (kepentingan nasional) di dalam negeri.

Stategi pertama ialah membangkitkan dan “membeli” loyalitas warganya melalui kerja massal; rencana ekspansi industri dengan cara memaksimalkan kerja sebagai tujuan namun sedikit pemikiran soal pasar, karena pemasaran menjadi domain atau urusan negara; tabungan swasta dimanfaatkan untuk membiayai industri, meninggalkan sedikit modal dalam negeri untuk membeli output; dan terutama ekspor harus sesuai permintaan pasar dunia.

Strategi kedua bahwa desain industri Cina berbasis produksi yang lebih daripada kebutuhan (konsumsi) nasional. Artinya kegiatan ekspor dilakukan setelah tercukupi dahulu konsumsi internal. Kemudian impor bahan baku dilakukan manakala ia mengekpor barang-barang ke seluruh dunia. Dengan demikian, Cina memastikan dahulu permintaan internasional atas ekspornya, termasuk berbagai kegiatan investasi uang di negara-negara konsumen guna membangun akses hingga ke jalur global.

Strategi ketiga ialah kontrol stabilitas atas empat “wilayah penyangga” yang meliputi Mongolia Dalam, Manchuria, Xinjiang dan Tibet. Mengamankan daerah penyangga identik dengan melindungi Cina dari serangan Rusia, India atau negara lain di Asia Tenggara.

Dengan demikian, hakiki revolusi industri sebenarnya adalah bagaimana pemerintah mampu menciptakan format atau strategi yang tepat bagi kemajuan bangsa dan negaranya di panggung global. Ia mampu mengelola geopolitik dan geostrategi yang merupakan takdir serta memanfaatkannya demi kepentingan nasional, bukan sekedar kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan. Merujuk India, faktor keteladanan para elit juga merupakan unsur vital dalam sebuah revolusi industri.

Uraian ini adalah “kegelisahan” terhadap kondisi yang tengah berlangsung di republik ini. Betapa negeri yang berlimpah sumber daya alam, serta memiliki geopolitik dan geostrategi melebihi daripada India dan Cina namun hanya sekedar “menonton” atas kebangkitan (revolusi) industri di kedua negara tadi, hanya dikarenakan debut korupsi yang tengah menggerogoti negara disana-sini.

Semoga tulisan tak ilmiah ini mampu memicu munculnya anti-tesis yang konstruktif dari segenap tumpah darah Indonesia terutama kontra skema, counter pola dan tesis-tesis (modus) kolonial model baru yang kini tengah mencengkram Ibu Pertiwi dengan berbagai format dan kemasannya.

Ayo, bangkitlah bangsaku!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com