Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat telah menciptakan ketidakpastian dalam konstelasi politik internasional, mengingat fakta bahwa gaya kepemimpinan dan orientasi politik Donald Trump kerap sulit diprediksi dan tak terduga. Sehingga iklim ketidakpastian bukan saja melanda kawasan Eropa, melainkan juga di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Seturut dengan tren global dan perkembangan dunia internasional yang penuh ketidakpastian dan tak terduga itu, maka Indoneisa dan negara-negara yang tergabung dalam perhimpunan bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), sudah saatnya untuk semakin memperkuat persatuan dan kesatuannya sebagai kekuatan regional. Seraya mendorong ketahanan regional maupun masing-masing negara ASEAN untuk menghadapi iklim ketidakpastian dalam konstelasi geopolitik internasional.
Kalau kita telaah kembali masa pemerintahan Trump periode pertama, pendekatan Trump yang non-konvensional dalam bidang diplomasi perdagangan maupun beberapa perjanjian internasional, telah menyebabkan kondisi global yang penuh ketidakpastian, khususnya di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Maka negara-negara ASEAN, harus kompak menghadapi strategi global AS di era Trump 2.0 itu. Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan untuk merespons gaya kepemimpinan Trump yang tak terduga dan sulit diprediksi tersebut. Sehingga ASEAN kiranya perlu memperbarui arah kebijakan strategisnya sebelum menjalin interaksi dengan pemerintahan baru AS di bawah kepemimpinan Trump.
Memelihara stabilitas regional dan global dalam kerangka kerja sama internasional berbasis multi-polar, kiranya harus menjadi pedoman bersama negara-negara ASEAN, dalam menghadapi strategi global Gedung Putih di medan diplomasi.
Salah satu masalah krusial yang dihadapi ASEAN adalah, gaya kepemimpinan Trump yang secara terbuka dan blak-blakan mengecam dan melecehkan forum-forum kerja sama internasional berbasis multi-lateral. Trump nampak jelas lebih menyukai pendekatan bilateral untuk transaksi internasional yang menurut persepsinya punya nilai strategis alih-alih kemitraan strategis yang mensyaratkan adanya hubungan yang setara dan saling menguntungkan.
Maka itu, Trump lebih suka menjalin hubungan bilateral yang sejatinya bersifat berat-sebelah dan menguntungkan AS secara sepihak dalam transaksi internasional, dan menolak menjalin kemitraan strategis dengan negara-negara lain baik secara bilateral maupun multilateral yang mensyaratkan kerja sama yang setara, saling menguntungkan dan transparan.
Salah satu indikasi yang cukup mengkhawatirkan terlihat ketika secara tiba-tiba Trump membubarkan Kemitraan lintas Pasifik (Trans Pacific Partnership-TPP) sebagai kerja sama internasional berbasis multilateral.
Semula pelbagai kalangan menyambut baik keputusan Trump tersebut, mengingat banyak kalangan dari negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, menilai TPP merupakan agenda terselubung Washington di era Presiden Obama untuk mengondisikan negara-negara penandatangan TPP membuka ruang seluas-luasnya bagi kepentingan-kepentingan strategis korporasi-korporasi global AS di negara-negara penandatangan TPP. melalui pendekatan soft power AS di bidang ekonomi dan perdagangan.
Namun, Trump membubarkan TPP bukannya menghentikan skema korporasi global untuk menguasai sektor-sektor strategis negara-negara Asia Pasifik melalui ekonomi dan perdagangan, melainkan malah semakin memperkuat skema kolonialisme AS di Asia Pasifik. Bahkan kali ini, juga diperkuat melalui skema persekutuan militer. Begitu TPP dibubarkan, maka pada 2017 terbentuklah Strategi Indo-Pasifik AS (US Indo-Pacific Strategy) yang mengintegrasikan ekonomi, perdagangan dan persekutuan militer antara AS, Australia, Jepang dan India yang dikenal dengan persekutuan empat negara (QUAD).
Dengan itu, Strategi Indo-Pasifik dan Pakta Pertahanan Empat Negara (QUAD), semasa pemerintahan Presiden Joe Biden pun, masih tetap tidak diuabah. Malah dalam aspek pakta pertahanan ala QUAD, semakin diperluas lingkupnya ke pelbagai kerja sama militer seperti AS, Jepang dan Filipina. Sehingga saat ini tentara AS memiliki empat pangkalan militer di Filipina.
Menghadapi konstelasi global dan regional yang penuh ketidakpastian di kawasan Asia Pasifik, maka negara-negara ASEAN akan menghadapi ketidakstabilan politik di Asia Tenggara, ketika negara-negara ASEAN masih tergantung oleh pengaruh eksternal di bidang politik-keamanan, ekonomi-perdagangan dan militer-pertahanan. Jika di tiga ranah strategis tersebut negara-negara ASEAN tergantung pada pengaruh eksternal AS dan Uni Eropa, maka strategi global AS dan gaya kepemimpinan Trump kerap mengejutkan dan tak terduga, pada perkembangannya negara-negara ASEAN akan menjadi korban efek bola salju (efek berantai) akibat gaya kepemimpinan Trump yang berubah-ubah dan tidak stabil.
Kecenderungan Trump yang terlihat jelas pada masa pemerintahannya yang pertama dulu adalah: Negosiasi ulang dalam kerja sama perdagangan, berikut turunannya, yaitu mengubah kebijakan pengenaan tarif barang-barang impor yang selama ini menjadikan AS sebagai pasar. Selain itu, dalam perang diplomasi di bidang perdagangan dengan Cina, meski hal itu bersifat bilateral, namun efek berantai-nya bisa mengimbas ke negara-negara ASEAN juga, termasuk Indonesia. Salah satunya adalah berkurangnya pasokan beberapa komoditas ekonomi vital dari Cina. Bagi ASEAN, termasuk Indonesia, jika modus operandi Trump itu terulang kembali, pertumbuhan ekonomi, maupun pemulihan ekonomi pasca pandemi ASEAN, bisa terhambat dan dalam bahaya.
Dalam hal politik dan keamanan, utamanya di bidang militer, skema persekutuan militer di Asia Pasifik ala QUAD, jika tetap dipertahankan dan bahkan semakin diperluas lingkupnya, sudah bisa dipastikan kondisi kawasan Asia Tenggara akan mengalami peningkatan eskalasi militer yang semakin tajam dan memanas. Apalagi ketika skema Indo-Pasifik maupun QUAD sejatinya dibingkai oleh strategi pembendungan pengaruh Cina di Asia Pasifik. Ketika AS menyadari mengalami kekalahan dalam persaingan ekonomi-perdagangan di ASEAN (pendekatan soft power), maka Trump akan berupaya membuat strategi perimbangan kekuatan dengan mengondisikan pentingnya pengerahan kekuatan militer AS di Asia Pasifik untuk membendung Cina melalui pendekatan Hard-Power.
Pertanyaannya adalah, meski kali ini Trump kembali berkuasa di Gedung Putih sebagai presiden, apakah Trump masih tetap menerapkan modus yang sama? Masalah jadi semakin krusial, ketika Trump di periode jabatannya yang kali kedua ini, secara tak terduga menerapkan jurus-jurus baru yang tak terduga. Meskipun skema dan strategi global-nya tetap ditujukan untuk mencapai tujuan strategis yang sama. Yaitu penguasaan ekonomi dan sumberdaya alam-sumberdaya alam strategis dan vital di negara-negara Asia Pasifik seperti minyak dan gas bumi, tambang-batubara, emas, nikel, dan lithium, demi kepentingan korporasi-korporasi global AS dan beberapa negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
Akar masalah krusial dalam menghadapi era kepemimpinan Trump di fase kedua kepemimpinannya saat ini, meski Trump bisa jadi akan membuat kebijakan luar negeri yang berubah-ubah dan naik-turun, namun sejatinya Strategi Global AS masih tetap sama. Yaitu tetap menerapkan pendekatan Neokolonialisme melalui kebijakan luar negerinya terhadap negara-negara di kawasan Asia Pasifik, Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Dengan itu, tiada lain Indonesia dan negara-negara ASEAN harus semakin bersatu dan solid, terutama dalam membangun ketahanan regional (kolektif) namun berbasis ketahanan nasional masing-masing negara ASEAN. Sehingga ketahanan regional ASEAN yang berbasis ketahanan nasional masing-masing negara ASEAN, mensyaratkan adanya kemandirian dan independensi dari segala macam pengaruh dari kekuatan-kekuatan eksternal (negara-negara adikuasa) baik AS maupun Cina.
Dalam ranah ekonomi, dengan berpedoman pada Komunitas Ekonomi ASEAN, seharusnya skema Integrasi Ekonomi ASEAN dapat semakin diperkokoh. Terkait hal itu, adanya prakarsa Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) kiranya harus semakin dipercepat perwujudannya untuk menangkal ketergantungan ekonomi-perdagangan dengan AS dan blok Barat.
Selain itu, kerja sama perdagangan intra regional antar sesama negara-negara ASEAN harus semakin kondusif dan makin solid. Dengan begitu, integrasi ekonomi ASEAN selain semakin solid dan kongkret dalam praktik, pada perkembangannya dampak pengaruh kebijakan AS di ASEAN pun dapat dinetralisasikan. Sehingga kerangka Pembangunan Ekonomi ASEAN yang mandiri dapat tercipta dan kondusif.
Jika ASEAN dapat solid dan kompak secara internal, mandiri dan mampu menangkal tekanan politik dan ekonomi AS, maka Indonesia dan ASEAN akan cukup kuat untuk tetap memaksa AS dan negara-negara adikuasa agar tetap mengembangkan kerja sama internasional dan regional berbasis multilateral, mengingat kenyataan bahwa ASEAN sejatinya merupakan kekuatan regional yang saat ini semakin kokoh dan solid.
Maka itu, meski AS masih tetap bertumpu pada Rule based order dalam menjalin kerja sama luar negeri dengan negara-negara berkembang sekaligus sebagai mekanisme untuk mengatur-atur kedaulatan nasional negara-negara berkembang di bidang ekonomi, perdagangan dan militer, maka ASEAN harus mampu menciptakan Strategi Perimbangan Kekuatan, dengan mengundang negara-negara lain di luar kawasan ASEAN seperti Uni Eropa, Rusia, Jepang, dan Australia, sehingga ASEAN mampu menciptakan Balancing Strategy di tengah-tengah persaingan antar negara-negara adikuasa di kawasan Asia Pasifik.
Dengan memperluas keterlibatan aktor-aktor yang bermain di mandala ASEAN, dominasi dan hegemoni AS di Asia Pasifik khususnya Asia Tenggara, dapat dibendung.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)