Mengintip Skema Geoekonomi yang Belum Digarap

Bagikan artikel ini

Prakiraan Situasi Geopolitik Pasca Pagebluk

Lockdown sebagai satu-satunya clue (petunjuk) yang ditawarkan WHO guna memutus matarantai coronavirus disease 2019 (Covid-19) di berbagai negara, secara tak sengaja telah berefek (langsung) negatif bagi kesehatan dan mental publik serta merusak perekonomian negara-negara yang terpapar dan terdampak Covid-19.

Ya. Selain menyerang kesehatan dan mental warga, secara (geo) ekonomi, dampak dimaksud berupa: (1) perlambatan pertumbuhan ekonomi; (2) menurunnya penerimaan kas negara; dan (3) kenaikan/peningkatan belanja negara dan pembiayaan program kegiatan.

Dari sudut ini, bisa dibaca bahwa entitas apapun entah negara maju, separuh maju, apalagi dunia ketiga yang cadangan devisanya cekak atau pas-pasan dipastikan tergagap dalam membiayai program (rutin) ke depan, rencana pembangunan, dan terutama pembiayaan atas kontinjensi keadaan akibat wabah alias pagebluk.

Sudah barang tentu, salah satu jalan bagi negara terdampak serta terdesak oleh keadaan selain harus melakukan rasionalisasi (pemotongan) biaya di setiap program, mencabut subsudi dan seterusnya, juga utang, utang dan utang. Kenapa? Oleh sebab bila memaksa untuk mencetak uang tanpa jaminan (emas) justru bisa timbul masalah lain yang lebih besar berupa hiperinflasi, contohnya, sebagaimana kasus di salah satu negara Afrika dimana harga sebutir telor mencapai 1 (satu) miliar rupiah (?). Lantas, kepada siapa harus berutang?

Ya, seperti halnya vaksin anticorona kelak, secara geopolitik, utang juga merupakan skema ekonomi (praktis) yang hingga kini belum juga tergarap. Mengapa? Disinyalir ada tarik menarik di antara aktor global secara senyap. Pertanyaan selidiknya, “Siapa kelak mengelola dua proyek (utang dan vaksin) sejagat tersebut: IMF atau AIIB, atau fifty-fifty; dan apakah kelak proyek vaksin akan diraih Cina atau jatuh ke tangan Amerika?” Mari kita lanjutkan diskusi ini.

Nah, dua skema ekonomi itulah yang hingga kini belum terkelola dan tampaknya tengah diperebutkan secara silent oleh kekuatan-kekuatan global baik non-state actor maupun state actor seperti Amerika, Cina, dan lain-lain.

Sekarang kita telusuri apa skema geoekonomi nonpraktis alias proyeksi jangka panjang.

Tidak boleh dipungkiri, ketetapan lockdown selain memaksa publik meninggalkan kebiasaan offline yang bising lagi polutif, ia juga mendorong paksa publik agar familiar dengan aktivitas online. Ini mungkin tahapan skenario menuju digitalisasi budaya.

Di sini mulai terbaca sebagai konsekuensi lockdown, benak publik tidak sekedar disuguhi agenda social and physical distancing, stay at home dan lain-lain yang mengikis daya spiritual hampir semua religi, menggerus local wisdom, merapuhkan tali silahturahmi, dan tak hanya itu saja. (Publik) seperti digiring pada digitalisasi keseharian yang diduga berujung pada perubahan radikal di publik terutama mengubah alat transaksi/pembayaran dari fiat money (uang kertas) ke crypto currency (uang digital).

Geopolitik mensinyalir, terdapat kekuatan – kekuatan global terutama non-state actor di bidang online, atau bidang farmasi dan seterusnya meremot dari kejauhan supaya lockdown dijadikan satu-satunya clue yang ditetapkan WHO dengan segala konsekuensi keprotokolan.

Akhirnya, entah benar atau tidak, catatan singkat ini cuma prakiraan situasi di tengah semarak wabah dan/atau ramalan keadaan pasca pagebluk bertitel Covid-19.

Sengaja penulis hanya mengurai pola dan trend geopolitik terkait isu coronavirus tanpa menyebut siapa nama-nama di balik non-state actor, hal ini guna menghindari diskusi berkepanjangan.

Retorika pamungkas pun muncul, selama dua skema geoekonomi tadi belum juga digarap oleh siapapun, apakah berarti lockdown akan terus “diperpanjang”?

Retorita memang tidak untuk dijawab, ia hanya butuh permenungan.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com