Mengkritisi Kebencian Terhadap Megawati

Bagikan artikel ini

Derek Manangka, Wartawan Senior

Diukur dari postingan-postingan media sosial, Facebook misalnya, ada kesan, cukup banyak rakyat Indonesia yang tidak suka atau lebih tepat disebut membenci Megawati Soekarnoputri, putri Proklamator Soekarno sekaligus Presiden Pertama RI.

Rasa benci itu nampaknya dipicu oleh sikap Megawati selaku Ketua Umum DPP PDIP terhadap Presiden Joko Widodo.

Di Kongres PDIP Bali, awal tahun ini Megawati dianggap mempermalukan Presiden Joko Widodo. Presiden RI-ke7 ini diundang, tapi tidak diberi kesempatan berpidato. Selain itu Joko Widodo disebut-sebut sebagai “petugas partai”.

Acara pembukaan kongres itu nyaris menjadi semacam tempat pelecehan terbuka kepada Jokowi. Sebab kader-kader PDIP tidak ada yang berani membela Jokowi, sebagai bukti mereka takut terhadap Ketum Ibu Megawati.

Akan tetapi belakangan, rasa benci itu semakin melebar. Apa-apa yang dilakukan oleh Megawati selalu dianggap salah. Orang yang dianggap dekat dengan Megawati pun terkena getah kebencian.

Megawati dan Jokowi terus dipertentangkan atau diadu domba.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi melakukan perombakan kabinet Rabu kemarin dan Puan Maharani, putri tunggalnya Megawati dengan almarhum Taufiq Kiemas, tidak terkena pemecatan. Lagi-lagi Megawati dituding bersalah atau berperan besar. Mega diangap mendikte Presiden Joko Widodo dan membela Puan Maharani.

Bahkan kehadiran Megawati dalam acara pelantikan kabinet baru tersebut dipersoalkan. Secara sarkartis beberapa Facebooker menilai Megawati tidak punya hak untuk hadir di acara kenegaraan seperti itu.

Banyak yang lupa bahwa secara protokol, Megawati berhak mendapatkan perlakukan sebagai VVIP.

Sebagai warga yang agak mengerti tentang protokol kepresidenan, etika, tata krama dan ‘sedikit’ tentang percaturan politik nasional plus global, sikap para pembeci terhadap Presiden RI ke-5 tersebut, saya nilai sudah berlebihan.

Bahkan terkesan, para pembenci ini merasa sudah seperti manusia paling hebat atau lebih hebat dari Megawati.

Para pembenci Megawati lupa, di balik ketidak sukaan mereka, Megawati merupakan seorang Ketua Umum dari partai politik yang memiliki jutaan anggota.

Artinya masih ada jutaan orang yang mendukung dan mencintainya. Hanya saja selama ini mereka masih diam.

Tidak sedikit di antara mereka tergolong pendudkng fanatik.

Demikian fanatiknya, sampai-sampai ada di antara mereka yang secara demonstratif meminum air bekas kubangan Megawati.

Oleh karena itu yang saya khawatirkan kalau para pembenci Megawati merasa sang idola mereka terus diolok-olok, bukan tidak mungkin terjadi tindakan reaktif. Terjadi persinggungan antara para pembenci dan para pencinta fanatik Megawati.

Jangan sampai terjadi gara-gara Facebook timbul konflik yang tak teratasi.

Adalah hak azasi setiap orang untuk menyukai ataupun membenci. Tetapi semua harus ada takaran, terukur dan kepatutan.

Mengumbar kebencian terhadap seseorang apalagi seorang pemimpin politik seperti Megawati, bukan sebuah cara elegan. Juga kontra produktif serta tidak mendidik.

Suka atau tidak suka terhadap Megawati, dia seorang yang punya jasa terhadap bangsa dan negara RI.

Tak perlu dihitung statusnya sebagai wanita pertama yang menjadi Presiden RI. Cukup dilihat Megawati merupakan simbol perlawanan terhadap rezim totaliter.

Boleh jadi Indonesia tidak bisa menjadi sebuah negara demokrasi, jika di tahun 1990-an Megawati tidak tampil sebagai kekuatan oposisi.

Megawati lebih berhak mendapat label sebagai pejuang demokrasi. Dan bukan para pembencinya.

Catatan ini tidak berpretensi membela Megawati sebagai pemimpin terbaik Indonesia.

Tetapi yang patut diakui, Megawati bisa menjadi pemimpin, Presiden RI (2001 – 2004), setelah melalui barikade politik yang sangat kokoh.

Tahun 2004 saya mewawancarainya dan salah satu pertanyaan keras yang saya ajukan soal ketidak mampuannya mempersatukan bangsa.

“Ibu Presiden, almarhum Soekarno terkenal sebagai pemersatu bangsa. Ibu merupakan anak biolgis Bung Karno. Tapi saya melihat, jangankan mempersatukan bangsa, mempersatukan keluarga saja Ibu tidak mampu…..”, saya bertanya, yang hasil wawancaranya disiarkan secara utuh oleh RCTI.

Maksud saya ketidak sukaan atau kebencian itu sebetulnya bisa dikemas. Kebencian tak harus disampaikan secara vulgar.

Megawati merupakan pejuang demokrasi di Indonesia yang paling lama dizolimi. Penzoliman, tadinya hanya ditujukan kepada mendiang ayahnya.

Tapi setelah ayahnya meninggal dunia, dia salah seorang yang menjadi sasaran.

Megawati, anak bekas Presiden di tahun 1970-an awal itu tergolong perempuan miskin. Kemana-mana hanya bisa naik angkutan umum. Pada suatu hari Mega naik bis kota dari Kebayoran Baru ke Jl. Thamrin, Jakarta Pusat.

Semua orang di dalam bisa memandinginya dengan tatapan tidak simpatik. Wanita lain diberi tempat duduk, tetapi Megawati yang mereka tahu anak Soekarno, mereka biarkan tetap berdiri. Mega tegar.

Di tahun 1990-an sebuah laporan intelejen menyebutkan Megawati nyaris dibunuh oleh sebuah plot politik.

Sebagai pimpinan partai, Megawati sudah ditawari untuk mengadakan pertemuan di Puncak, Jawa Barat. Tetapi berkat penciuman intelejens khususnya Jenderal AM Hendropriyono dan koleganya Jenderal Agum Gumelar, Megawati kemudian disarankan untuk tidak ke Puncak. Ia terhindar dari malapetaka tersebut.

Selama 3,5 tahun menjadi Presiden RI, memang tidak banyak hasil yang bisa dipresentasikannya kepada Indonesia.

Tetapi Megawati berhasil menciptakan sejumlah Legacy.

Misalnya dialah yang memutuskan pembelian pesawat tempur Sukhoi dari Rusia. Pembelian mana membuat Amerika Serikat mau tidak mau mengakhiri embargo militernya kepada Indonesia.

Moral cerita ini, Megawati memutus ketergantungan pada AS dan memperjuangkan martabat bangsa.

Megawati pula yang menyatakan “tidak” kepada Amerika Serikat ketika negara adidaya ini meminta Ustad Baasir dari pesantren Ngruki, diekstradisi ke negeri Paman Sam. Baasir dituduh AS sebagai bagian dari jaringan teroris Al-Qaeda.

Megawati menolak dengan alasan ia wajib memproteksi warganya. Sebuah keberanian yang belum tentu diimiliki oleh presiden lainnya.

Megawati juga menolak permintaan AS untuk mendukung invasinya di Irak pada tahun 2003. Mega jua menolak kehadiran armada perang AS melakukan penjagaan terhadap Selat Malaka. Mega pula yang memutuskan Indonesia harus keluar dari IMF.

Dan gara-gara semua penolakan itu, AS pun membencinya.

Kebencian AS terhadap Megawati berbuah baik bagi Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam Pemilu Presiden 2004, SBY terpilih sebagai Presiden.

Tapi sejumlah saksi memberikan testimoni, keberhasilan SBY memenangkan Pilpres tersebut tak lepas dari bantuan atau campur tangan AS.

Hasyim Nuzadi, yang menjadi pasangan Wakil Presiden Megawati dalam Pemilu Presiden 2004 itu antara lain mengungkapan, sebelum Pilpres digelar pihaknya sudah dilobi oleh utusan Washington.

Jika pasangan mereka setuju atas beberapa permintaan AS, maka dalam Pemilu nanti AS akan mendukung mereka (Mega – Hasyim).

Megawati sendiri tahu ketidak sukaan AS terhadap dia. Karena dia anak Soekarno, seorang nasionalis yang dimusuhi AS.

Oleh sebab itu Megawati tidak terkejut ketika dia diberi tahu oleh (calon) Dubes AS untuk Indonesia Ralph Boyce. Bahwa Washington tidak akan mendukung kepresidenan Megawati di tahun 2004 tersebut.

Hingga tahun 2009, Megawati berusaha “melawan” AS. Untuk itu dia berduet dengan Prabowo Subianto. Keduanya merupakan sosok yang tidak disukai AS.

Lagi–lagi Pilpres itu dimenangkan SBY – orang yang mengkleim AS sebagai tanah air keduanya. Suara yang diraih SBY sangat signifikan, 60 persen.

Tahun 2014, pendulum politik berubah. AS tak mungkin lagi menggunakan SBY sebab sudah dua kali berturut-turut menjadi Presiden.

Megawati didekati AS. Anak buah Megawati, Joko Widodo diminati oleh AS untuk menjadi Presiden. Di pihak lain AS tidak menghendaki Prabowo Subianto.

Berbagai utusan menemui Megawati menjelang Pilpres 2014. Mulai dari Dubes AS Scott Marcier maupun lobi Amerika di Indonesia yang berasal dari CSIS.

Sebuah dilema baru bagi Megawati. Kalau dia tidak menerima pendekatan AS, yang ingin menjadikan Joko Widodo sebagai Presiden, itu bisa berarti untuk ketiga kalinya dia berseberangan dengan AS.

Mega terpaksa menerima tawaran AS. Semata-mata agar PDIP yang sudah meraih suara terbanyak di Pileg April 2014, jangan sampai kalah di Pilpres Juli 2014.

Dus, keputusan Mega memilih Joko Widodo selaku kader PDIP menjadi capres, sejatinya bertentangan dengan naluri politiknya. Pada saat yang sama Megawati sadar, kolaborasi ataupun konspirasinya dengan AS tak akan bertahan lama.

Dan Megawati benar. Baru dalam hitungan minggu, Jokowi mulai digoyang. Semua goyangan, mengusung isu bahwa Jokowi hanya menjadi boneka Megawati. Padahal sejatinya Jokowi yang didukung oleh AS untuk selanjutnya hanya mau dijadikan boneka.

Kolaborasi AS dengan Mega sudah selesai, begitu Jokowi dilantik sebagai Presiden Oktober 2014.

Makin lama makin terlihat, AS bermain dalam perpolitikan Indonesia. Melalui kenaikan mata uangnya dolar, pembangkangan di Papua dan lain sebagainya.

Pernyataan dari AS pun, mulai memperlihatkan ketidak sukaan negara itu terhadap Presiden Joko Widodo, melalui Indonesianis Jefrey Winters.

Di pihak lain Joko Widodo pun mulai “menjauh” dari Megawati. Karena Joko Widodo menganggap Megawati terlalu mendiktenya.

Joko Widodo tidak sadar tentang yang dilakukannya. Terbentuklah friksi antara Jokowi dan Megawati.

Sementara itu Presiden Joko Widodo yang tengah limbung. Karena kader PDIP dan setia kepada Megawati, terus mencercanya,

Di sisi lain ia diganggu oleh Presiden RI ke-6, SBY melalui kicauan akun-akun twiternya. Berbagai cara yang dilakukan SBY, Presiden yang sangat disukai AS ini untuk menunjukkan berbagai kelemahan Jokowi.

Jokowi pun berusaha merapat ke Prabowo Subianto, sosok yang menjadi saingannya di Pilpres 2014.

Semua sajian di atas tidak berdiri sendiri. Jokowi – Megawati – Prabowo – AS dan SBY, saing berkait.

Sekalipun Megawati hanya seorang ibu rumah tangga, tetapi secara politik sudah makan garam, sehingga ia sangat peduli dengan situasi politik seperti ini.

Itu sebabnya Mega terus menempel atau memepet Jokowi yang secara faktual masih hijau dalam percaturan politik nasional apalagi global.

Namun para pembenci Megawati, tidak menyadari atau paham atas pertarungan ini.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com