Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Futute Institute (GFI) Jakarta
Sepak terjang AS yang kian mempertajam permusuhannya dengan Cina adalah karena kekhawatirannya atas geliat pertumbuhan kekuatan ekonomi, keuangan, dan militer Cina.
Sekali lagi, ini erat kaitannya dengan tujuan-tujuan imperial Washington, yang menginginkan dominasi atas negara-negara lain, penentangannya terhadap kerja sama timbal balik dan polaritas multi-dunia, juga ambisinya untuk menjajah planet bumi. Selain itu, juga upaya AS untuk mentasbihkan dirinya sebagai polisi dunia atas semua negara, terutama dalam kontrol atau pengendalian atas kebutuhan sumber daya juga populasinya. Dengan kata lain, tujuan-tujuan imperial ini menandai adanya strategi perang tanpa akhir dalam mengejar tujuan hegemoniknya.
Beijing dituduh berusaha melemahkan rezim Trump secara politik, ekonomi, dan perdagangan, serta campur tangannya pada pemilihan paruh waktu bulan November di Amerika – meski tidak ada bukti kuat atas keterlibatan Cina seperti yang dituduhkan pejabat AS.
Pada Senin lalu, juru bicara Departemen Luar Negeri Heather Nauert membahas kunjungan Pompeo ke Beijing, mengatakan pihaknya “secara langsung membahas daerah-daerah di mana AS dan Cina tidak setuju, termasuk di Laut Cina Selatan dan hak asasi manusia.”
Nauert menyitir pandangan Pompeo yang menekankan pentingnya menjaga perdamaian dan stabilitas lintas-Selat, meski tidak juga menyinggung apa pun tentang perang perdagangan yang dilancarkan Trump dan operasi laut AS yang provokatif dekat dengan perairan dan wilayah Cina.
Peluncuran Armada Pasifik AS yang akan datang di Laut Cina Selatan dan Selat Taiwan akan semakin memperuncing hubungan bilateral kedua negara adidaya tersebut.
Pompeo sendiri secara salah menyalahkan Tiongkok karena hubungan yang memburuk dengan AS. Setelah pertemuan mereka, Menlu Cina Wang Yi berkata:
“AS telah … mengambil serangkaian tindakan mengenai Taiwan dan hal-hal lain dan menggarisbawahi adanya tuduhan tanpa dasar terhadap kebijakan domestik dan luar negeri Cina.”
Bahkan menurut Wang Yi, tindakan yang dilakukan pemerintah AS telah merusak kepercayaan Beijing serta membayangi masa depan hubungan Cina-AS, dan bertentangan dengan kepentingan rakyat kedua negara.
Dalam konteks ini pula, Cina mendesak pemerintah AS untuk segera menghentikan komentar dan tindakan sesatnya. Mengingat, Cina dan AS harus tetap pada jalur yang benar dalam kerjasama yang saling menguntungkan dan menghindari potensi memburuknya hubungan kedua negara, baik dalam konflik atau konfrontasi yang lain.
Sebaliknya, Pompeo malah menuding Cina karena dinilai telah menyulut sumbu api ketegangan dengan pemerintahan Trump dan menyebut adanya “kekhawatiran besar tentang tindakan yang diambil Cina …”
Ketegangan selama kunjungannya di Beijing menunjukkan semakin memburuknya hubungan bilateral kedua negara. Ketidakpuasan publik Wang Yi menunjukkan kemarahan pemerintahnya terhadap kebijakan rezim Trump yang tidak dapat diterima.
Bukti lebih lanjut akan ketegangan itu adalah penolakan Presiden Cina Xi Jinping untuk bertemu dengan Pompeo yang terkesan tidak seperti sebelumnya pada bulan Juni lalu.
Global Times Cina secara lugas mempertanyakan apakah Beijing harus menahan “penghinaan” yang dilakukan AS? Tentunya tidak. Justru harian terkemuka China tersebut memastikan bahwa Tiongkok akan tetap menjaga hak dan kepentingannya yang sah mulai dari perdagangan hingga pertahanan dan mengambil tindakan penanggulangan terhadap provokasi AS.
“Kita tidak bisa membiarkan konflik dengan AS mendominasi hubungan luar negeri Cina atau mengarahkan ke mana pemerintahan Cina akan menuju.” “Cina bukan Uni Soviet. AS tidak bisa berurusan dengan Cina seperti yang terjadi dengan Uni Soviet,” tulis kantor berita tersebut.
Menurut mantan pejabat Departemen Luar Negeri / Presiden Institut Kebijakan Masyarakat Asia Daniel Russel, “pendekatan konfrontatif” Trump … jauh lebih mungkin menyebabkan Cina pasang badan dari pada mendiamkan.
Russel bahkan mengindikasi adanya potensi Cina untuk ambil bagian dalam atas kebijakan Korea Utara. Sebagaimana diketahui, Washington dan Beijing menyetujui adanya denuklirisasi di semenanjung Korea. Namun, pendekatan mereka untuk mencapainya, harus diakui, sangat berbeda.
Cina lebih menyukai pendekatan timbal-balik yang bertahap terkait denuklirisasi sepihak yang dituntut oleh rezim Trump – sehingga tidak mau membuat konsesi sampai semua tuntutannya dipenuhi, prosedur yang ditolak oleh Pyongyang.