Ketika pada 2 April 2025 Presiden AS Donald Trump merilis daftar baru barang-barang impor yang kemudian dikenakan kenaikan impor hingga 50 persen pada hampir semua negara mitra dagangnya, Bahkan Indonesia pun dikenakan kenaikan tarif impor sebesar 32 persen. Kalau menelisik kembali alasan Trump mengenaikan kenaikan tarif impor gila-gilaan ke pelbagai kawasan, rasa-rasanya tidak masuk akal.
“Untuk negara-negara yang memperlakukan kita dengan buruk, kita akan menghitung tarif gabungan dari semua tarif mereka, hambatan non-moneter, dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.” Begitu alasan Trump yang disampaikan seturut pengumuman kenaikan tarif impor tersebut.
Frase kata yang sangat mengganggu negara berkembang, setidak-tidaknya Indonesia, adalah istilah yang kemudian dikumandangkan secara serentak oleh para pejabat senior pemerintahan Trump: Kecurangan. Apa iya, negara-negara mitra dagang AS yang baru saja dikenakan sanksi kenaikan tarif impor gila-gilaan itu telah mencurangi AS di bidang perdagangan. Bukannya justru AS dan sekutu-sekutu-nya di Eropa Barat yang tergabung dalam Uni Eropa yang selalu mengeksploitasi ketergantungan ekonomi negara-negara berkembang atau negara-negara miskin untuk kepentingan negara-negara maju tersebut?
Pada 4 April 2025, dengan maksud untuk memberi alasan pembenaran kepada Trump setelah merilis kenaikan tarif impor kepada negara-negara mitra dagangnya pada 2 April 2025, penasehat Gedung Putih Stephen Miller melontarkan pernyataan yang cukup kontroversial: “Para pemimpin kita (maksudnya AS) membiarkan negara asing mengatur aturan permainan, menipu, mencuri, merampok, dan menjarah.” Wow. Apa bukannya pernyataan Stephen Miller tersebut sejatinya merupakan proyeksi dari pola pikir, pola sikap dan pola tindak AS selama ini dalam menerapkan Neokolonialisme dalam menjalin kerja sama perdagangan dengan negara-negara lain, terutama yang masuk kategori negara berkembang atau masih terkebelakang?
Lebih buruk dari itu, penasihat Gedung Putih Peter Navarro, yang selama ini dikenal berhaluan politik sayap kanan, dan pernah menulis buku yang sangat anti-Cina, The Coming of China War, juga sempat mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Fox News pada 6 April 2025: “Semua hal yang dilakukan negara-negara asing tersebut dirancang secara eksplisit untuk menipu kita dan dikenai sanksi oleh Organisasi Perdagangan Dunia.”
Sekali lagi, pertanyaan krusialnya di sini, benarkah negara-negara yang terkena kenaikan tarif impor itu, termasuk Indonesia, memang benar-benar menipu AS dalam perdagangan.
Sayang sekali, sampai detik ini AS, utamanya Gedung Putih di tempat mana Trump sehari-sehari mengemudikan arah kebijakan luar negeri negaranya, sama sekali tidak bisa memberikan bukti apapun.
Masalah pokok di sini, aa dua isu krusial yang perlu telaah secara mendalam, untuk mengetahui latarbelakang di balik manuver Trump. Pertama, AS merasa terganggu akibat mengalami defisit perdagangan barang secara bilateral dengan negara-negara lain bukan saja dengan Cina atau Jepang, bahkan juga dengan Korea Selatan maupun negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN. Sepertinya inilah yang mendorong para pejabat senior dan penasehat Gedung Putih mengklaim hal meningkatnya defisit perdagangan bilateral dengan negara-negara lain sebagai kecurangan.
Kedua, AS merasa terancam dengan kemunculan Cina sebagai Kekuatan Global Baru di bidang ekonomi. Dengan Cina, AS bukan saja merasa terganggu dalam urusan defisit perdagangan bilateral, bahkan merasa terancam karena Cina berhasil muncul sebagai negara adikuasa ekonomi baru yang setara dengan AS dan Uni Eropa, namun tidak berdasarkan skema ekonomi-politik Konsensus Washington yang berbasis Neoliberalisme, Perdagangan Bebas dan Pasar Bebas.
Makanya pernyataan Trump maupun para penasehat Gedung Putih seperti Stephen Miller dan Putih Peter Navarro, sangat lemah validitas ekonominya. Sebab seperti diutarakan oleh Kent Jones, profesor emeritus ekonomi di Babson College, yang mengkhususkan diri dalam kebijakan perdagangan, Sekilas, definisi ini tidak memiliki validitas ekonomi, karena neraca perdagangan bilateral umumnya ditentukan bukan oleh perdagangan dan kebijakan pemerintah lainnya, tetapi oleh pola perdagangan khusus berdasarkan komoditas.”
Baca juga :
Fact check: Are other countries ‘cheating’ the US on trade?
Pandangan Profesor Kent Jones, saya kira tepat. Bukan praktik perdagangan yang tidak adil, yang membuat mereka rentan dikenakan kenaikan tarif impor gila-gilaan. Negara-negara yang jadi korban pemberlakuan kenaikan tarif impor tersebut sebagian besar merupakan negara-negara berkembang yang masih miskin. Mereka tidak mampu. Jadi, Presiden Trump maupun para penasehat Gedung Putih seperti Stephen Miller maupun Peter Navaro, tahu persis bukan soal kecurangan inti soalnya. Tapi karena negara-negara berkembang, apalagi yang masih tergolong negara miskin itu, telah mengekspor sumberdaya alam strategis negaranya ke negara-negara lain, atas dasar skema yang dipandang Trump dan Gedung Putih melawan Skema Neokolonialisme Ekonomi AS.
Sekarang, apa yang sesungguhnya dimaksud dengan menipu atau kecurangan dalam perdagangan? Ross Burkhart, seorang ilmuwan politik Universitas Negeri Boise yang mengkhususkan diri dalam kebijakan perdagangan, pandangannya mungkin bisa membantu kita memperoleh pencerahan.
Menurut Ross Burkhart, ada beberapa cara yang dapat dilakukan suatu negara untuk “menipu” perdagangan, dengan mengabaikan aturan dan norma kebijakan perdagangan internasional.
Salah satu caranya adalah dengan “dumping”, yang berarti menjual suatu produk kepada mitra dagang dengan harga yang didiskon secara artifisial. Cara lainnya adalah melalui subsidi pemerintah yang berlebihan kepada produsen, sesuatu yang dituduhkan AS dan negara-negara lain dilakukan oleh China. Beberapa keluhan ini telah dikabulkan ketika dibawa ke WTO.
Dokumentasi dari Timothy A Clary/AFP.Dalam kasus ini, mitra dagang dapat mengenakan bea masuk – pajak atas barang impor – untuk mencoba membatalkan distorsi. Jika proses ini tidak dapat diselesaikan secara damai, para pihak dapat mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
Contoh yang baik dari hal ini adalah sengketa perdagangan kayu lunak selama puluhan tahun antara Kanada dan AS, di mana AS mengklaim bahwa Kanada secara tidak adil mensubsidi industri kayu lunak mereka melalui biaya yang ditentukan secara administratif, sementara Kanada membalas bahwa hampir semua kayunya berada di tanah publik provinsi dan dengan demikian harus berada di bawah peraturan provinsi.
Jenis kecurangan lainnya melibatkan manipulasi mata uang, di mana suatu negara mengganggu nilai tukar mata uangnya dengan cara yang membuat ekspornya lebih murah bagi pembeli asing. Ini adalah sesuatu yang dituduhkan AS dan negara-negara lain dilakukan oleh Cina.
Padahal, tidak jarang ada beberapa negara yang menuduh AS yang justru telah melakukan kecurangan dalam perdagangan. Misalnya, ketika AS melarang perdagangan produk tertentu dengan alasan yang dibuat-buat bahwa produk tersebut akan mengancam keamanan nasional. Bukankah hal ini merupakan indikasi jelas bahwa AS selalu menerapkan Skema Neokolonialisme sebagai bingkai dalam menjalin hubungan dagang dengan negara-negara lain?
Trump juga sebenarnya seringkali bertindak curang dengan misalnya, dengan mengenakan tarif baru pada Kanada dan Meksiko, sehingga Trump punya alasan untuk mengingkari Perjanjian AS-Meksiko-Kanada yang dinegosiasikannya selama masa jabatan kepresidenannya yang pertama dulu.
Dalam kasus ini, nampak jelas Trump yang justru telah bertindak curan. Betapa tidak. Dalam Perjanjian tersebut menetapkan aturan perdagangan di antara ketiga negara, dan dalam perjanjian tersebut Presiden Trump tidak boleh mengizinkan tarif tambahan dikenakan kepada kedua negara mitra-nya tersebut (Kanada dan Meksiko).
Mengelak dari kesepakatan perjanjian yang dibuat dengan mengajukan peraturan-peraturan baru sehingga perjanjian sebelumnya batal, bukankah itu juga kecurangan namanya?
Bagaimana Gedung Putih menentukan tarif baru?
Rumus Gedung Putih untuk menghitung rencana tarif 2 April berasal dari beberapa masukan numerik dasar. Rumus tersebut mengambil defisit perdagangan AS dalam barang (tetapi bukan jasa) dengan negara tertentu, membaginya dengan total barang yang diimpor dari negara tersebut, lalu membaginya dengan dua.
Meskipun perhitungan ini menghasilkan hasil yang kecil, setiap negara memulai dengan minimal 10 persen. Kendati beberapa pihak mengkritik rumus ini, rumus ini sebagian besar didasarkan pada seberapa besar defisit perdagangan AS dengan negara tertentu.
Tidak ada satu pun dalam rumus tersebut yang memperhitungkan tindakan yang secara umum dianggap oleh hukum atau norma perdagangan sebagai jenis “kecurangan”.
Banyak dari ketidakseimbangan perdagangan ini dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang tidak ada hubungannya dengan pelanggaran aturan. Berarti dengan kata lain, keputusan Trump sesungguhnya didasarkan rasa tidak puas akibat defisit perdagangan bilateral, namun menghukum negara mitra dagangnya itu justru dengan alat lain. Bahwa negara mitra dagangnya karena telah melakukan pelanggaran aturan.
Persis seperti kasus perjanjian segitiga AS-Kanada-Meksiko, hanya karena bermaksud untuk menghindari komitmen kesepakatan perjanjian itu, maka Trump mengelak dengan merilis kenaikan tarif impor, yang mana otomatis Trump menghindari untuk mematuhi perjanjian segitiga tersebut.
Sekarang marilah kita menelisik ke-10 negara yang menjadi obyek kenaikan tarif impor secara maksimum tersebut. Lesotho (50 persen), Saint Pierre dan Miquelon (50 persen), Kamboja (49 persen), Laos (48 persen), Madagaskar (47 persen), Vietnam (46 persen), Sri Lanka (44 persen), Myanmar (44 persen), Kepulauan Falkland (42 persen), dan Suriah (41 persen).
Satu hal yang sama di antara negara-negara ini adalah rasio ekspor ke AS yang tinggi dibandingkan dengan impor mereka dari AS. Misalnya, nilai ekspor Lesotho ke AS kira-kira 85 kali lipat nilai impornya dari AS. Rasio yang paling mendekati, untuk Suriah, masih 5 banding 1 untuk ekspor dan impor.
Secara karakteristik yang menyamakan di antara 10 negara tersebut adalah: mereka adalah negara-negara yang jauh lebih miskin daripada AS.
Dalam produk domestik bruto (PDB) per kapita, pengukuran umum pendapatan menurut negara, angka AS adalah 163 kali lipat angka Madagaskar. Negara yang paling setara adalah Vietnam, tetapi bahkan di sini PDB per kapita AS adalah 19 kali lipat angka Vietnam. Tetap saja AS sebagai negara jauh lebih kaya dibanding Vietnam.
Negara-negara ini juga berpenduduk sedikit. Populasi Amerika Serikat 100.000 kali lebih besar daripada populasi Kepulauan Falkland. Negara-negara ini memiliki populasi paling sedikit, yaitu Vietnam; AS sekitar tiga kali lebih banyak.
Sebagian besar negara-negara ini hanya menyumbang sebagian kecil dari keseluruhan volume perdagangan AS. Vietnam memiliki pangsa terbesar; ekspornya hanya menyumbang lebih dari 4 persen dari total impor AS. Sembilan negara lainnya jauh lebih kecil, tidak ada yang melebihi setengah persen dari pangsa perdagangan AS.
Para ahli mengatakan wajar saja jika negara-negara kecil dan miskin memiliki surplus perdagangan dengan Amerika Serikat.
Madagaskar, negara kepulauan di lepas daratan Afrika, “memiliki sekitar 80 persen pasokan vanili global”, kata Burkhart. “AS tidak dapat memproduksi vanili, tetapi membutuhkannya dalam bentuk bahan pangan, jadi AS membelinya. Madagaskar adalah negara yang relatif miskin, jadi tidak dapat mengganti vanili yang diekspornya dengan pembelian.”
Jadi nampak jelas watak Neokolonialisme AS dalam hubungan dagang dengan negara-negara mitranya. Jadi ketika kepada ke-10 negara tersebut dikenakan kenaikan tarif impor secara maksimum, sulit dibantah bahwa ini justru eksploitasi dan negara kuat terhadap negara lemah. Kecurangan hanya sekadar dalih permukaan untuk menutupi agenda AS sesungguhnya: Melestarikan hegemoninya sebagai negara adikuasa di bidang ekonomi.
Betapa tidak. Saint Pierre dan Miquelon, wilayah Prancis di lepas pantai Kanada, mengekspor tangkapan ikan halibut dalam jumlah besar ke AS pada tahun 2024 sebagai bagian dari sengketa perikanan teritorial”, kata Burkhart. Namun, dengan hanya 5.500 orang, wilayah pulau itu “sangat kecil sehingga hampir tidak membeli apa pun dari AS.
Contoh lain. Lesotho, negara yang terkurung daratan oleh Afrika Selatan, “mengekspor berlian dan tekstil dan tidak mengimpor banyak barang AS yang mahal dan padat modal serta teknologi. Mana mungkin membeli sedangkan Lesotho masih tergolong negara miskin? Maka benarlah pertanyaan sinis Profesor Kent Jones: “ketika kondisi antara AS dan Lesotho jelas-jelas timpang dan tidak setara, mengapa perdagangan bilateralnya dengan AS harus seimbang?”
Mari kita simak pandangan Douglas Holtz-Eakin, presiden American Action Forum yang berhaluan kanan-tengah, merujuk pada SUV buatan AS yang harganya bisa mencapai $87.000 hingga lebih dari $160.000. Rasanya tidak realistis untuk mengharapkan tarif akan mengubah ketidakseimbangan perdagangan di negara-negara ekonomi kecil ini. Tidak mungkin penduduk Madagaskar pada umumnya mampu membeli Cadillac Escalade. Yang benar saja.
Sebaliknya, negara-negara ini memainkan peran ekonomi yang diberikan oleh iklim, lokasi, dan sumber daya alam. Di Sri Lanka, ekspor utamanya adalah teh; di Suriah yang dilanda perang, minyak zaitun; di Laos, salah satu ekspornya adalah kalium, bahan baku pertanian.
Lebih lanjut Douglas Holtz-Eakin mengatakan, bahkan jika negara-negara ini mencapai keseimbangan perdagangan dengan AS, hal itu tidak serta merta menyelamatkan mereka dari tarif.
Pada tahun 2024, AS memiliki surplus perdagangan dengan negara-negara seperti Belanda, Hong Kong, Uni Emirat Arab, Australia, Inggris, Panama, Brasil, Belgia, dan Republik Dominika, namun negara-negara ini tetap saja akan dikenai tarif minimum 10 persen.
Dengan begitu, para ahli sepakat bahwa 10 negara yang terkena kenaikan tarif impor maksimum tersebut tidak mungkin berbuat curang dalam perdagangan. Seakan bermaksud menawarkan sebuah kesimpulan, professor Kent Jones berkata: Jika Trump ingin menyatakan bahwa tarif mereka terhadap barang-barang AS terlalu tinggi, atau mereka memanipulasi nilai mata uangnya, atau mereka melakukan dumping, atau mereka menggunakan sistem dan peraturan pajak internal yang gelap untuk merugikan ekspor AS, dia dapat mendokumentasikan praktik-praktik ini dan menggunakan undang-undang perdagangan AS untuk membenarkan pembatasan perdagangan administratif guna memperbaikinya.”
Namun, di sini pula masalah yang terkandung dalam usulan Kent Jones. Masalah intinya, bukan soal ketimpangan perdagangan atau defisit perdagangan bilateral dengan negara-negara tersebut. Ini adalah bukti nyata AS bermaksud melanggengkan Neokolonialisme Ekonomi dan Perdagangannya di pelbaga belahan dunia.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)