Menulis Ulang

Bagikan artikel ini

Resensi Buku Neo Kolonialisme AS Di Asia, Persfektif Indonesia, Oleh Giri Basuki. 

Penulis:
Hendrajit
Rahadi Teguh Wiratama
Abriyanto
Satrio Arismunandar
Agung Marsudi D. Susanto
Dina Y. Sulaeman

Diterbitkan oleh: Indonesia Consulting Group

Cetakan Pertama, November 2024
410 Halaman, 14,8x21cm

Editor: Eka Hindra

Periset: Rusman Rusli

Sampul Buku dan Tata Letak: Dedi Triyono

 

Sebuah Scene Pembuka. Berdasar kisah nyata.

RUANG KERJA

(Jam tangan Navy Seal itu bergetar menyalakan alarm perintah. Wanita perwira menengah- Letkol,  berhenti dari aktivitasnya merapikan berkas laporan inteljen terbaru. Membetulkan letak headset wireless di telinga kirinya. Kemudian menekan layar jam yang melingkar dipergelangan tangan kanannya)

Letkol              :Yess Sir.

Suara               : Letkol, siapkan ruang virtual meeting, teruskan perintah kepada komandan Home Base Indo Pasifik dalam sepuluh menit lagi kita akan meeting.

Letkol             : Yess Sir. (Memasukannya berkas laporan kedalam map)

(Bergegas menuju ruang virtual meeting)

(Sebuah mobil SUV  memasuki gerbang komplek markas bertuliskan: United States Naval Forces. Head Quarters. Central Command . Plat mobil itu bercap United States Navi. Diikuti  kode angka dua digit. Mobil melaju memasuki area Naval Home Land).

RUANG  MEETING VIRTUAL

(Dalam layar besar terbagi tiga frame kamera. Tampak dalam layar ; Para Komandan Home Base Indo Pasifik; Guam Home Base, Darwin Home Base dan Yokosuka Home Base)

Letkol                     : Sir. Laporan Inteljen terbaru. (Menyerahkan map)

Laksamana      : (Membuka map, sebentar memeriksa laporan, lalu berbicara pada layar).

: Gentelman…(membuang nafas)

Ini adalah bagian tersulit. Kita telah merencanakan misi, melatihnya belasan kali membekali  dengan keahlian-keahlian khusus. Kita telah menjelajah hampir semua tempat, bahkan ditempat yang salah. Dalam banyak operasi militer kita masih belum bisa melihat dengan tepat dan cermat variablenya, namun tetap saja sebuah operasi militer harus dilaksanakan. Lalu bagaimana dengan anggapan: Bisa dibilang pemerintah menghabiskan uang seperti orang mabuk. Tetapi ini tidak adil bagi pelaut yang mabuk, karena pelaut mengeluarkan uangnya sendiri. Seperti hal lain dalam hidup, kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Indo Pasifik, khususnya Laut China Selatan merupakan kawasan dimana negara dengan kekuatan sesungguhnya ada disana. Meskipun dikelilingi negara sekutu setia kita, tetapi harus selalu diingat ada negara netral di tengahnya. Pada akhirnya kalaupun operasi militer ini berhasil akan tetap saja berdampak sensitif secara politik. Apalagi kalau sampai gagal.

OK gentleman, sambil menunggu laporan perkembangan dari data inteljen terbaru dari pengintaian satelit, dan menunggu kode operasi, pengarahan selanjutnya 30 menit lagi dari sekarang.

CUT TO

Kiranya seperti itulah salah satu gambaran suasana kebatinan petinggi AS terutama para  pengambil keputusan untuk kawasan Indo Pasifik.

Dengan data yang ditulis M. Abriyanto di Bab IV (sebanyak 33 hal) tulisan diawali dengan:

Kejadian dini hari pukul 03.00, waktu setempat, pada 19 Agustus 2024. Kapal berbendera Filipina bersenggolan dengan Kapal berbendera Cina di Sabina Shoal, kepulauan Spratly laut Cina Selatan. Masing-masing negara mengklaim batas lautnya. Peristiwa ini bukan kali pertama terjadi, sebelumnya juga beberapa kali terjadi mesti tidak sampai menyenggol kapal penjaga pantainya.

Peristiwa saling senggol di sekitar Laut Cina Selatan juga dialami Indonesia. Pada April 2019. Ketika kapal TNI AL KRI Tjiptadi-381sedang berpatroli sesuai dengan peraturan  hukum Laut Internasional. Ketika kapal penjaga pantai Vietnam bergerak mendekati dan bahkan menyenggol KRI Tjiptdi-381. Untungnya pasukan TNI AL tidak terprovokasi untuk melakukan aksi balasan. Yang bisa berdampak pada hubungan bilateral Indonesia Vietnam.

Itu baru sisi dari dua cerita. Data dari Center for New America Security, publikasi Januari 2012, yang bertajuk Coorperation From Strenght ; The United States, China and The South China Sea, melaporkan temuan ilmiah; Gugus kepulauan Spratly dan kepulauan Paracel, menyimpan cadangan minyak 7 miliar barrel dan 900 triliun kubik gas. Ini berarti akan menjadi sumber energy terbesar kedua didunia  setelah kawasan Timur Tengah. Masuk akal apabila AS dan China sama-sama  memandang Laut China Selatan sebagai skala prioritas-isu paling high politic.

Klaim Cina atas Laut China Selatan dengan peta Nine-Dash Line berdasar rilis peta 1947, mengundang kekwatiran internasional dan menambah ketegangan dikawasan tersebut.

Amerikapun merasa perlu menulis ulang kembali mengenai lanskap geopolitiknya: Asia Pasifik menjadi Indo Pasifik  sebuah teritori  gabungan  antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump. (2017-2021). Di forum Internasional, nama Indo Pasifik mulai digunakan dalam  G20, APEC dan forum regional lainnya.

Sebagai reaksi atas fenomena peningkatan eskalasi militer China dan untuk membendung pengaruh China di Laut China Selatan.

Satrio Arismunandar dalam Bab V  (sebanyak 42 hal), menguatkan dengan informasi data yang lengkap mengenai kontrol AS di kawasan Asia Pasifik. Dimulai era Perang Dingin. Yang bertujuan mencegah penyebaran komunisme dikawasan tersebut. Dikenal sebagai “ Teori Domino”. Dengan membentuk sejumlah aliansi militer dan perjanjian keamanan bersama negara dikawasan Asia Pasifik.: ANZUS (Australia, New Zealand, United States of America Security Treaty) 1951, SEATO (Southeast Asia Treaty Organization)1954 dengan anggota AS, Australia, Perancis, Selandia Baru, Pakistan, Filipina, Thailand dan Inggris. Untuk memastikan keamanan maritim dan stabilitas politik dikawasan Asia Tenggara. Mengingat kawasan ini adalah jalur perdagangan laut tersibuk didunia. SEATO dibubarkan pada 1977. FVEY (Five Eyes) aliansi kerjasama Inteljen, dengan anggota lima negara: AS, Inggris, Kanada, Australia dan Selandia Baru. Dimulai dengan penjanjian UKUSA (United Kingdom-United States of America) 1946, Kanada bergabung 1948, diikuti Australia dan Selandia Baru 1956.

Membentuk Aliansi QUAD (Quadrilateral Security Dialogue) beranggotakan AS, Australia, Jepang dan India menurut strategi Indo Pasifik. Merupakan platform kerjasama keamanan dan diplomatik. Konsepnya muncul 2007, jeda beberapa tahun, dihidupkan kembali pada 2017. Pihak Cina menggambarkan QUAD sebagai “ NATO versi Asia”.AUKUS (Australia, United Kingdom dan United States of America) 2021.

Selain kerjasama aliansi, AS membuat kerjasama bilateral:  Perjanjian keamanan AS-Jepang, awal ditanda tangani pada 8 September 1951 di San Francisco. Perjanjian Keamanan AS-Korea Selatan 1953, Perjanjian Keamanan AS- Filipina ( Mutual Defense Treaty) 1951, VFA (Visiting Forces Agreement) 1998, dan EDCA (Enhanced Defence Cooperation Agreement) 2014. Perjanjian Keamanan AS-Thailand 1962. Dikenal dengan Thanat-Rusk Communique. Thailand merupakan negara yang dinyatakan oleh AS sebagai MNNA (Major Non-NATO Ally) 2023.

Selanjutnya Satrio Arismunandar menutup tulisannya dengan menyoroti bisnis senjata oleh AS dikawasan ini.

Memasuki Bab VI, adalah tulisan Agung Marsudi D. Susanto (sebanyak 31 hal) dengan judul Geopolitik Sumber Daya Alam Di Asia; Amerika Serikat hanya bisa aman jika kawasan Asia aman.

Salah satu pembahasannya mengenai The Seven Sisters, sejarah awalnya merupakan istilah yang diciptakan pengusaha Enrico Mattei, yang menjabat sebagai kepala perusahan minyak negara Italia.Ketujuh perusahaan itu adalah Anglo-Persia (sekarang BP), Gulf Oil, Standard Oil of California (sekarang Cevron), Royal Dutch Shell, Standar Oil of New Jersey (Esso), Texaco, Standar Oil Company of New York atau Socony (sekarang Exxon Mobil).

Dalam konteks Indonesia, jejak “The Seven Sisters” menyisakan Exxon Mobil, Chevron, British Petroleum (BP) dan Shell. Media Financial Times menggunakan label “ New Seven Sisters” untuk menggambarkan sekelompok perusahaan migas nasional paling berpengaruh yang berbasis di negara-negara diluar OECD (Organisation For Economic Co-operasian and Development). Meraka adalah National Petroleum Corporation (China), Gazprom (Rusia), National Iranian Oil Compny (Iran), Petrobaz (Brazil), PDVSA (Venezuela), Petronas (Malaysia) dan Aramco (Saudi Arabia). Dalam daftar UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development). Perusahaan-perusahaan energi tersebut masuk dalam daftar 19 perusahaan minyak terbesar didunia.

Michael T. Klare dalam bukunya, “ Rising Powers Shinking Planet The Geopolitic of Energy” terbitan 2008, mengungkapkan bahwa minyak bukan saja menjadi sumber kekayaan, tetapi juga sumber kekuasaan. Siapa yang menguasai dan mengontrol minyak, ia akan memperoleh keduanya.

Pada bagian akhir tulisan Agung Marsudi D. Susanto juga menyertakan 120 Tahun Exxon di Indonesia, 97 Tahun Chevron di Blok Rokan, serta Gunung Emas Papua.

Sedangkan tulisan Hendrajit pada Bab I (sebanyak 37 hal), memandu pembaca sejak awal, dengan judul Indo Pasifik: Momentum AS Mengubah Peta Geopolitik Asia Pasifik.

Sejak pemerintahan Cina mencanangkan BRI (Belt and Road Initiative) ada 2013. AS dan sekutunya dari Eropa Barat, terutama Inggris mulai khawatir dan memandang BRI sebagai kontra skema terhadap hegemoni AS di bidang politik, ekonomi dan militer.

Kekhwatiran itu muncul pada laporan utama CFR (Council of Foreign Relations) yang dirilis Mei 2001. Isi laporannya, “Waktunya tepat sekali bagi pemerintahan anda. Untuk memfokuskan perhatian terhadap suatu kawasan, yang selama ini acapkali terabaikan dari perhatian kita, yang akibatnya selalu menimbulkan bencana bagi kita”.yang ditujukan untuk Presiden George Herbert Walter Bush.

Juga laporan dari Rand Corporation yang merupakan lembaga think thank yang dibiayai oleh Pentagon pada 2000, yang secara lugas dan tegas menekankan, “ Munculnya Cina sebagai kuasa regional yang baru, dalam tempo 10-15 tahun kedepan, akan meningkatkan persaingan AS dan Cina di Asia Tenggara, sehingga berpotensi menimbulkan konflik bersenjata. Istilah Hedging Srategy dimunculkan dalam laporan. Yang berarti “Strategi Memagari”

Laporan CFR dan Rand Corporation menemukan momentumnya dan direalisasikan pada pemerintahan Donald Trump. (2017-2021). Tulisan Hendrajit juga menelisik lebih dalam mengenai kebangkitan konsepsi Karl Haushofer dan konstruksi geopolitik Indo Pasifik. Juga menggarisbawahi, Asean adalah jantungnya Indo Pasifik, seperti kutipan diawal tulisan, “ Indonesia maupun negara-negara yang tergabung dalam Asean, dipandang sebagai jantungnya Indo Pasifik, dalam skema geopolitik As dan ketiga sekutu strategisnya yaitu Australia, Jepang dan India.

Sementara tulisan Hendrajit dalam Bab VIII (sebanyak 41 hal) dengan judul Politisasi Demokrasi dan HAM : Kamuflse melancarkan Aksi Distabilisasi Politik Terhadap Negara-Negara Sasaran. Dengan kutipan pembuka tulisan, “ Strategi AS dan sekutu-sekutunya dari Eropa Barat untuk mempengaruhi berbagai forum di kawasan Asia Pasifik. Seperti Forum Democracy Summit ( Korea Selatan, 29-30 Maret 2023 dan Bali Democracy.(2008. ). Agar skema demokrasi versi Barat diadopsi di negara-negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia.”

Hendrajit menguraikannya dari lanskap demokrasi versi Barat, sistem politik koruptif, Perintis Partai Liberal Demokrat Jepang, Area bermain pihak Barat, hingga praktek HAM, Demokrasi dan Neoliberalisme. Lalu menutup tulisannya dengan Mahzab Chicago. Analisanya didukung dari tulisan komprehensif As’ad Said Ali. “ Pergolakan di jantung Tradisi, NU Yang Saya Amati. (2008). Jakarta : LP3ES.

Dalam prolog, tulisan Hendrajit sebanyak 43 halaman, diantaranya menceritakan pengalamannya ketika berdiskusi dengan almarhum Hasyim Wahid (Gus Im) adik kandung eks Presiden Abdurrahman Wahid. Saat itu Gus Iim menunjukkan dua buku, “ The Private Army” (1950) karya Vladimir Peniakotif, dan satu bukunya, karya Thomas G, Weiss (2012), yang berjudul “ The Humanitarian Intervention”. Untuk  membaca  fenomena Vinell Corporation, anak perusahaan dari Northrop Grumman. Salah satu perusahaan penyewaan polisi global. Perusahaan yang pernah menyumbang dana kampanye Presiden George Herbert Walter Bush dan George Walter Bush sebesar US$ 8,5 juta. Lalu apa kompensasinya? Hendrajit telah menulis rinciannya.

Sampai disini, saya teringat The Whistleblower, film garapan sutradara Larysa Kondracki 2010. Dibintangi Rachel Weisz dan Monica Bellucci. Kisah nyata seorang polisi wanita penjaga perdamaian yang membongkar praktek perdagangan manusia yang didukung petinggi DynCorp Intrnasional, di masa pasca perang Bosnia dan Herzegovia 1999. Meskipun beritanya sudah diangkat dalam wawancara BBC News Inggris, tetapi seperti yang bisa diduga kasusnya malah berakhir pemecatan polisi wanita tersebut. Sementara perusahaan DynCorp International melanjutkan proyeknya yang bernilai milyaran di Irak dan Afganistan.

Rahadi Teguh Wiratama pada Bab II, (sebanyak 29 hal), dengan judul, Strategi AS Usai Perang Dingin di Asia.

Dimulai dari Dokumen Pembendung Pengaruh Rusia, disusul Strategi Global AS di Asia Masa Perang Dingin, ditutup pembahasan  mengenai AS-Asia Setelah Perang Dingin.

Usai penarikan bertahap pasukan AS dari wilayah Irak pada 2014, pada 2017diplomat dari negara lain mengembangkan taktik baru untuk merespon sikap nasionalisme AS ala Presiden Donald Trump (2017-2021). Jurnalis Peter Baker dari New York Times melaporkan, pada malam perjalanan luar negeri pertamanya sebagai presiden, komunitas diplomatik global telah menyusun strategi untuk menjaga interaksi tetap singkat, memujinya secara basa basi dan memberinya sesuatu yang dianggapnya sebagai “kemenangan”.

Sebelum masa pemerintahan Donald Trump, kebijakan luar negeri AS merupakan hasil konsensus bipartisan tentang agenda memperkuat posisinya sebagai kekuatan nomor satu di dunia. Namun konsesnsus tersebut telah retak, sehingga Partai Republik dan Partai Demokrat semakin menyerukan pendekatan yang lebih terkendali.

Memajukan Indo Pasifik yang bebas dan terkendali, telah menjadi inti dari strategi keamanan nasional AS telah dianut pda masa pemerintahan Demokrat dan Republik. AS mengakhiri perangnya di Timur Tengah, dengan penarikan pasukan dari Afganistan, 31 Agustus 2021.

Rahadi Teguh Wiratama mengakhiri tulisannya dengan analisa mengenai selain perkembangan dalam Perang Rusia, bangkitnya Rusia dan Cina sebagai negara adikuasa.

AS dipaksa melihat kenyataan, bahwa dirinya tidak sendirian dalam konstelasi politik global, khususnya di Asia. Posisi Cina dan India di kawasan Asia Timur tampak semakin menguat, dalam percaturan politik di kawasan ini.

 “ If you ever feel useless, just remember USA took 4 Presidents, thousands of lives, trillion of dollars and 20 years to replace Taliban with Taliban”

Kalimat di atas tersebar luas di media sosial, menyusul angkat kakinya AS dari Afganistan.

Demikian Dina Y. Sulaeman membuka tulisan di Bab IX (sebanyak 20 hal).  Judul tulisan: Afganistan; Perang Tanpa Akhir Untuk Para Elit.

Jika Anda pernah merasa tidak berguna, ingatlah saja bahwa Amerika membutuhkan empat Presiden, ribuan nyawa, triliunan dolar dan 20 tahun untuk mengantikan Taliban dan Taliban.

Perang Afganistan adalah perang terlama yang pernah dilakukan oleh AS. Membutuhkan empat presiden berasal dari Partai Republik dan Demokrat yang berakhir berakhir dengan penarikan mundur tentara AS dari negara yang dijuluki “ kuburan bagi imperium-imperium”. (graveyard of the empires).

Perang dimulai dengan serangan pertama 7 Oktober 2001untuk memburu Osama bin Laden pasca 911 dan menyingkirkan kelompok Taliban. Taliban mundur dari Kabul cukup cepat, tetapi butuh waktu sepuluh tahun untuk menemukan dan membunuh Osama bin Laden. Dan tujuan perangpun berubah ubah. 20 tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2021, Taliban masuk ke istana kepresidenan, berpose didepan meja kerja. Sebutan yang banyak dipakai oleh media atas kejadian itu : “ The Fall of Kabul”.

Dina Y. Sulaeman menulisnya seperti layaknya novel. Mengalir dan membuat pembaca betah menyelesaikan bacaanya. Mengulas dari sub judul  Penyebab Kekalahan AS DI Afganistan, Taliban dan Perjanjian Doha,dan menutupnya dengan MIC (Military Industrial Complex) Pemenang Perang Sesungguhnya.

AS terbukti telah berdusta. Dari buku “ The Afganistan Papers: A Secret History of the War”, karya Craig Whitlock, yang mengungkap bahwa para pemimpin militer dan politisi senior AS, secara rutin berbohong kepada publik.

Dengan mengutip penjelasan Julian Assange jurnalis asal Australia dan pendiri Wikileaks. Pada 2011 ia berkata: “ Tujuan perang ini bukanlah untuk menaklukan Afganistan sepenuhnya: tujuannya adalah menggunakan Afganistan untuk mencuci uang dari basis pajak AS dan Eropa melalui Afganistan dan kembali ke tangan elite keamanan transnasional. Tujuannya adalah perang tanpa akhir, bukan perang yang berhasil ”

Dina Y. Sulaeman dalam Bab X, yang merupakan bab terakhir (sebanyak 30 hal)  yang berjudul: Iran dan Poros Resistensi Melawan AS: Ideologi dan Kepentingan Nasional.

Saat tulisan ini dibuat, Timur Tengah semakin membara. Demikian Dina mengawali tulisannya.

“ Mengapa Israel setega itu, membombardir puluhan warga sipil, sebagian besar anak-anak, dengan bom seberat nyaris 1ton per unit: dan mengapa elit AS terus berkeras menyuplai bom tersebut?”

Selama periode Oktober 2023-April 2024, menurut Euro-Med Human Rights Monitor, Israel telah menjatuhkan lebih dari 70.000 ton bom di Jalur Gaza. Jumlah ini jauh melampui jumlah gabungan bom yang pernah dijatuhkan di Dresden, Hamburg (Jerman) dan London (Inggris) selama Perang Dunia II.

Dina menguraikanya  dari sub bab; Akar Perlawanan Iran, Ideologi Revolusi : Barbarisme versus Peradaban, Sejarah Perlawanan Iran terhadap AS, Kebijakan Luar Negeri Iran Melawan AS-Israel dan Kepentingan Realis-Idealis.

Poros Resistensi terdiri dari pejuang Palestina (Sunni), pejuang Hizbullah (Syiah), pejuang sukarelawan Irak (Syiah, Sunni dan Kristen), militer Yaman (gabungan Sunni dan Syiah), militer Suriah (gabungan Sunni, Alawi dan Kristen), serta Iran (gabungan Syiah, Sunni dan Kristen). Yang dipersatukan bukan oleh ideologi agama, melainkan oleh ideology perlawanan (resistensi) terhadap penjajahan.

Sebaliknya, poros anti-Resistensi terdiri dari “ AS (Mayoritas Kristen), Israel (mayoritas penduduk Yahudi) dan teman-teman Arab. (Muslim). Mereka tidak dipersatukan oleh ideology agama, melainkan oleh persekutuan patron-klien antara kekuatan neo-kolonialisme AS-Israel dan rezim-rezim Arab.

Lalu bagaimana menjelaskan bergabungnya negara-negara Arab dengan kubu AS-Israel?.Jawabanya dapat kita temukan dalam buku karya Hinnebusch, “ International Politic of Middle East”. Demikian Dina Y. Sulaeman, Mantan jurnalis yang pernah bergabung selama 5 tahun di Islamic Republic of Iran Broadcasting  menuliskannya.

Sebagai penutup saya  kembali tuliskan kalimat terakhir dari kutipan perkataan Julian Assange  :…” bukan perang yang berhasil, tetapi perang tanpa akhir.”

Dan pernyataan seorang bankir dimasa perang Eropa :

“ Tidak ada bisnis yang paling menguntungkan kecuali bisnis; Perang! “

Buku ini sangat rommended buat kalangan studi Hubungan Internasional dan peminat kajian geopolitik. Semoga bermanfaat.

Bogor, 6 Juni 2025.

GIri Basuki merupakan seorang seniman lukis sekaligus juga budayawan. Alumni Fakultas Seni Rupa, Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang sekarang Universitas Negeri Jakarta. 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com