Keputusan Donald Trump saat masih menjabat presiden AS untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, jelas dimaksud untuk menciptakan destabilisasi di Timur Tengah. Dan Israel, sebagai ujung tombaknya. Sebaliknya bagi warga Arab Palestina yang tinggal di Yerusalem Timur, Gaza dan Tepi Barat, berada dalam berbahaya.
Dalam skema geopolitik Israel, yang sejatinya mencerminkan tujuan strategis AS-Inggris untuk melestarikan hegemoninya di Timur Tengah, Israel mengklaim seluruh Yerusalem sebagai ibu kotanya, status yang umumnya tidak diakui secara internasional. Sebalikya Palestina, menginginkan Yerusalem Timur – yang direbut oleh Israel dalam perang Arab-Israel 1967, sebagai ibu kota negara masa depan.
Inilah yang menjadi sumbu pertikaian dan konflik Arab-Israel yang berlarut-larut hingga sekarang. Apakah Israel dan Palestina bisa menyepakati pembagian Yerusalem menjadi dua? Rasanya sulit dibayangkan dalam konstelasi global maupun regional Timur Tengah saat ini.
Yang tak kalah krusial untuk bisa mencapai kesepakatan damai antara Israel dan Palestina adalah, mungkinkah negara Palestina merdeka yang didirikan bisa berdampingan secara damai dan saling menghormati satu sama lain dengan negara Israel yang berarti mencapai kesepakatan solusi dua negara?
Kiranya sulit selama Israel yang didukung penuh Washington dan London, tetap mempertahankan ambisi geopolitik yang disebut “Proyek Israel Raya.” Ini menurut saya segi paling krusial dalam mencapai solusi damai Israel-Palestina. Mengapa? Sebab Proyek Israel Raya sejatinya selain untuk memperlemah dan memecah-belah kekompakan negara-negara Arab di Timur Tengah, lebih dari itu juga ditujukan untuk melanggengkan ekspansi AS-Israel di Timur Tengah, dengan didukung pula oleh negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Dengan kata lain, Proyek Israel Raya sesuai dengan Grand Design Ambisi Geopolitik AS/US Imperium. Lantas, seperti apa gambaran Proyek Israel Raya secara geopolitik? “Israel Raya” terdiri dari daerah yang membentang dari Lembah Nil sampai ke Efrat. Menurut Stephen Lendman, “Sekitar satu abad yang lalu, rencana Organisasi Zionis Dunia untuk sebuah negara Yahudi termasuk: Palestina yang bersejarah; Lebanon Selatan sampai Sidon dan Sungai Litani; Dataran Tinggi Golan Syria, Dataran Tinggi Hauran dan Deraa; dan tentu mengendalikan Kereta Api Hijaz dari Deraa ke Amman, Yordania dan juga Teluk Aqaba.”
Baca: Menguak Motif di Balik Konflik Israel-Palestina
Bahkan bukan itu saja. Ada yang menginginkan lebih, dengan juga mencakup anah dari Sungai Nil di Barat sampai ke Sungai Efrat di Timur, yang terdiri dari Palestina, Lebanon, Suriah Barat dan Turki Selatan.” Maka itu, Sudah waktunya bagi dunia dan organisasi internasional serta pembela hak asasi manusia untuk membungkam rezim kriminal Zionis dan bergegas mendukung rakyat Palestina yang tertindas dan tak berdaya dengan bantuan praktis dan efektif, terutama untuk memutuskan hubungan dengan rezim Israel.
Ilan Pappe, sejarawan berpengaruh asal Israel dalam bukunya bertajuk Palestine, The Biggest Prison on Earth, Proyek Israel Raya sejatinya merupakan daftar panjang daerah-daerah koloni Israel terhadap bangsa Palestina, yang sudah direncanakan sejak 1967. Jauh sebelum Israel membenarkan kolonisasinya di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Ada dua upaya ditempuh Israel, menurut Ilan Pappe. Eksternal dan internal. Upaya eksternal adalah dengan menyayat Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan menyisipkan pasak-pasak koloni ke dalamnya. Adapun upaya internal adalah penerbitan dekret yang terus-menerus dan tidak pernah berakhir, yang tujuannya adalah mengambil-alih tanah Palestina untuk kolonisasi masa depan. Seraya membatasi pertumbuhan alami serta organik komunitas Palestina dengan mencegah pembangunan dan perluasan baru.
Salah satu contoh nyata adalah, ketika membangun pemukiman di Wilayah Pendudukan, Israel menggunakan praktik hukum yang sama seperti yang diterapkan di Israel sendiri pada 1948 hingga 1967. Praktik tersebut dilakukan secara frontal dan terang-terangan di Yerusalem Timur karena wilayah ini secara resmi dianeksasi ke Israel. Dengan demikian hukum Israel berlaku di sana sejak 1967 dan seterunya. Selain itu, pada 1970 pemerintah Israel mengaktifkan kembali undang-undang Pemerintah Mandat Inggris tahun 1943 yang telah digunakan untuk mengambil alih tanah di Israel, dan sekarang menerapkannya pada wilayah Pendudukan Yerusalem yang dianeksasi pada 1967.
Terkait cara-cara utama yang digunakan memperluas wilayah pasak Yerusalem Timur adalah perampasan tanah secara sistematis kolonisasi, penunjukan kawasan tertentu sebagai ruang hijau, paru-paru ekologi kota metropolitan baru–yaitu kawasan terlarang bagi warga Palestina– melakukan pembongkaran rumah, dan penolakan berulang-ulang untuk mengizinkan perluasan bangunan yang ada bagi warga Palestina.
Sepertinya jalan yang ditempuh menuju penyelesaian damai antara Israel dan warga Palestina yang dikolonisasi daerah-daerahnya sejak 1948-1967 masih perlu waktu yang cukup panjang. Namun setidaknya saya sepakat dengan Noam Chomsky dan Ilan Pappe, bahwa rakyat Palestina jika maju ke meja perundingan untuk penyelesaian damai menuju Palestina Merdeka, tahun 1948 harus jadi dasar menuntut pengembalian wilayah-wilayah Palestina yang dikolonisasi Israel atas dukungan Amerika Serikat, Inggris dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NATO.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)