Jolly Horonis, Alumni Universitas Negeri Manado
Pengantar Penulis:
Ketika issu Tolikara Papua jadi hangat dibicarakan, saya teringat tentang diskusi tentang Papua yang diadakan di Tondano dan pesertanya adalah mahasiswa asal papua dan beberapa undangan lain dari organisasi kedaerahan mahasiswa tidore. waktu itu saya dan sahabat saya Saipul Lah jadi pemateri dalam diskusi ini. kami berbagi tugas untuk pemberian materi ini. kawan saya ipul memberi materi tentang REFERENDUM dan saya memberikan materi tentang NKRI.. beruntunglah materi saya ini masih tersimpan dalam komputer saya sehingga bisa dibagikan di sini…
Sangatlah menarik jika membahas tentang Papua dalam konteks NKRI. Alasan yang paling mendasar adalah selain wilayah yang terkenal dengang kekayaan alamnya ini juga wilayah di ujung timur Indonesia ini tidak sepi dengan issu—issu kekerasan bahkan konflik antarsuku dan agama (SARA) .
Di sisi lain, berbicara mengenai Papua ini sangatlah riskan juga, hal ini disebabkan dua sisi yang saling bersinggungan antara dua pihak, di satu sisi menyinggung NKRI seutuhnya (baca, pusat) jika pembicaraan menggugah semangat kepapuaan dan di sisi lain menyinggung kepapuaan Papua yang dalam hal ini sedang mencari jati dirinya sebagai masyarakat dan wilayah NKRI yang sama dengan masyarakt dan wilayah lainya di Indonesia.
Menarik memang bila melihat Papua sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah NKRI, sebagaimana ditegaskan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 bahwa Negara-bangsa Indonesia mewarisi wilayah Hindia Belanda.
Wilayah Indonesia yang dimaksud terdiri dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, NTB, NTT, dan Maluku. Pada waktu itu Papua merupakan bagian dari provinsi Maluku.
Papua memiliki pengalaman sejarah yang berbeda dengan daerah lain. Perbedaan ini ditandai dengan masih berkuasanya Belanda di Papua hingga 1962. Itulah sebabnya, perkembangan nasionalisme Indonesia di provinsi ini berbeda corak. Perbedaan ini mulai tampak sejak proses tersemainya nasionalisme Papua pada tahun 1925 dan nasionalisme Indonesia pada tahun 1945 di bumi Papua. (Bernarda Meteray, 2012 hal 11)
Menurut Audrey kahin (1985), akibat dari batasan wilayah Negara Indonesia yang didasarkan pada bekas wilayah Hindia Belanda, sering dibuat generalisasi yang dibuat berdasarkan tingkat revolusi sejarah nasional dan sejumlah pengalaman pemimpin Republik Indonesia di pusat pemerintahan yang menciptakan ketidakseimbangan gambaran tentang pengalaman revolusi. Menurut dia, generalisasi yang sering dilakukan para sarjana tidak dapat diterapkan untuk seluruh Indonesia.
Memang, harus diakui bahwa Indonesia merupakan satu bangsa dari Sabang sampai Merauke, tetapi harus juga diakui adanya pendapat bahwa bangktinya nasionalisme di Indonesia bervariasi dari satu daerah ke daerah lain.
Sebagai konsekuensi dari hasil KMB yang berlangsung pada 27 Desember 1949, Papua akan diserahkan kepada pemerintahan Indonesia setahun sesudah konferensi melalui negosiasi. Dengan demikian, penyerahan kedaulatan mencakup seluruh bekas jajahan Hindia Belanda tanpa Papua.
Tidak ada itikad dari Belanda untuk menyerahkan Papua ketangan pemerintahan Indonesia. Justru sebaliknya, Belanda berupaya untuk menghalangi dukungan rakyat di Papua kepada pemerintahan Indonesia, sejak 1950 Belanda menindak tegas kegiatan yang dilakukan rakyat, baik yang asli Papua maupun non-Papua dengan menangkap dan menahan para aktivis pro-Indonesia. (hal 163)
Selama periode 1945 – 1962 Indonesia tidak memiliki wewenang untuk mengindonesiakan orang Papua secara terbuka. dapat dikatakan proses pengindonesiaan orang Papua yang dilakukan tidak tuntas, baru tahap awal, dan tidak menjangkau sebagian besar masyarakat Papua di pedalaman.
Sebaliknya, berdasarkan pengalaman Belanda di Indonesia atau Hindia-Belanda dalam kemerdekaan tahun 1945, maka Belanda didalam menjajah Papua sangat hati-hati dalam meningkatkan kehidupan Masyarakat di berbagai bidang, dan Belanda sengaja memperlambat perkembangan di Papua/Nieuw Guinea sesuai dengan permintaan dan kebutuhan orang-orang Papua.
Katakanlah bahwa ini suatu bentuk “Etis-Politik Gaya Baru”. Termasuk didalamnya usaha untuk membentuk “Nasionalisme Papua”. Cara Belanda yang demikian itu menyebabkan orang-orang Papua tidak merasa bahwa mereka sedang dijajah sebab mereka hidup dalam suatu keadaan perekonomian yang baik dan tidak merasakan adanya penderitaan dan tekanan dari Belanda.
Sampai di sinilah masyarakat Papua terbelah menjadi dua: yang pro-Indonesia dan Belanda. Babak selanjutnya adalah “perebutan” Papua oleh Indonesia dan Belanda yang berakhir secara resmi melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang menggambarkan sebagian besar masyarakat Papua ingin berintegrasi dengan Indonesia
Kompleksitas perdebatan status politik integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia hingga kini menjadi perdebatan tanpa henti. Rakyat papua beranggapan proses integrasi dan Pepera 1969 menjadi salah satu contoh bagaimana “manipulasi” sejarah Indonesia merebut tanah Papua. Klaim yang berdasar pada legitimasi hukum PBB yang mengesahkan Pepera 1969 dan menyatakan Papua bergabung ke Indonesia seakan berbeda dengan rakyat Papua dan beberapa klaim penelitian yang menyebutkan bahwa Pepera 1969 hanyalah rekayasa
Walaupun hasil Pepera menunjukan bahwa Papua merupakan bagian yang sah dari wilayah NKRI, masalah Papua masih terus bergolak hingga dewasa ini. Munculnya keraguan terhadap hasil Pepera 1969 pada sebagian masyarakat di Papua mungkin dikaitkan dengan pernyataan Amir Mahmud sekembalinya dari peninjauan Pepera 1969, bahwa sebagian besar rakyat Papua belum sadar politik, maka penduduknya cukup menyebut “Soeharto, Merah Putih, dan Indonesia“. Dia juga menegaskan, “kenyataan menunjukan bahwa sebagian terbesar dari penduduk tidak bersimpati kepada RI”.
“tidak pernah orang Papua diterima sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Warga Papua dianggap sebagai binatang. Saya tidak jamin, warga papua masih menginginkan jadi bagian Indonesia. Lihat saja, bagaimana orang Papua ditembak atau dibunuh” tegas Ketua Gereja Baptis Papua, Pendeta Socrate Sofyan Yoman. Pernytataan ini memiliki dasar yang kuat sehingga sulit untuk disangga.
Kini nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia masih sebuah dilematis bagi rakyat Papua. IRIAN (Ikut Republik Indonesia Anti Nederland) adalah persoalan pengindonesian rakyat Papua yang tidak pernah tertuntaskan sampai sekarang sehingga dilema yang terjadi bukan lagi “ikut RI” atau “ikut Nederland” tetapi sudah pada mencari pilihan lain yaitu hak menentukan nasib sendiri alias MERDEKA.
Masalah Papua tak juga kunjung selesai sampai sekarang. Belakangan, berbagai peristiwa penembakan terhadap warga dan aparat sering kali terjadi. Keamanan dan stabilitas di Papua belum juga tercipta. Pendekatan militer yang ditempuh pemerintah Indonesia rupanya justru makin meningkatkan militansi dan perlawanan kaum separatis seperti yang dulu dicurigai sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, ketika pendekatan ini perlahan-lahan diubah dengan memberi Papua otonomi khusus, ternyata masalah juga tak kunjung selesai. Mengapa Papua terus bergolak?
Bisa disimpulkan bahwa Nasionalisme Papua terkonstruksi ole beberapa factor. Pertama, kekecewaan sejarah terhadap proses integrasi ke Indonesia. Kedua, elite papua yang mersakan persaingan dengan pejabat-pejabat Indonesia sejak penjajahan Belanda. Ketiga, pembangunan ekonomi dan pemerintahan yang timbang dan semakin menunjukan perasaan berbeda. Keempat, banyaknya pendatang ke Papua yang mendominasi kehidupan ekonomi politik yang semakin memperbesar perasaan termaginalisasi orang Papua di daerah sendiri (chauvel 2005; Widjojo dkk 2009:9)
Daripada terjebak pada interpretasi yang bertentangan terus menerus sepertia yang dialami sekarang ini, seharusnya kedua belah pihak dimungkinkan untuk menyetujui atau menyepakati elemen-elemen sejarah tertentu sebagai kebenaran yang diterima bersama. Jika itu dilakukan maka akan terbuka kemungkinan kesalahan-kesalahan pada masa lalu diperbaiki dan kekecewaan-kekecewaan yang sudah berlangsung lama dapat ditangani.
Secara khusus, pemerintah seharusnya bersiap-siap untuk mengakui memoria pasionnis orang Papua dan menyampaikan permohonan maaf kolektif secara bermartabat atas kesalahan dan penderitaan pada masa lalu, seperti pernah dilakukan untuk Timor Timur dan Aceh. Pemerintah seharusnya memeriksa kembali kejadian-kejadian di seputar pepera 1969 dan percaya diri dalam melakukan hal itu, tanpa dihantui ketakutan bahwa kedaulatan Indonesia atas Papua akan terganggu.
Menutup materi diskusi ini saya mengutip buku Meracik Wacana, Melacak Indonesia. Hasyim Wahid, dkk tentang What’s Next? Globalisasi:
“Globalisasi telah melanda Indonesia bagai air bah. Sekarang pilihannya adalah kita mau berenang atau tenggelam. Jika kita tidak memiliki kesadaran akan masa lalu, maka pengetahuann up to date untuk masa sekarang juga tidak ada.
Kita juga mesti memiliki kesadaran akan fakta sejarah mengenai terjadinya gelombang pembuangan sampah peradaban Eropa. Gelombang 1 pembuangan sampah peradaban ini ke ke benua Amerika telah mengakibatkan musnahnya jutaan suku Indian, penduduk asli Amerika yang telah memiliki peradaban tinggi. Kemudian gelombang 2 pembuangan sampah peradaban ke Asutralia telah menimbulkan pemusanahan pada suku Aborigin.
Dari fakta ini kita mesti menyadari bahwa mungkin saja mereka akan melakukan pembuangan sampah peradaban gelombang 3. Bisa saja Irian Jaya (Papua) dan Papua Nugini dimerger lalu dijadikan tempat pembuangan berikutnya, toh korbannya paling cuma 6 juta orang Papua saja.
Melihat hal ini, pemerintah Indonesia harus waspada atas setiap isu yang ada tentang Papua. Masyarakat Papua juga harus bisa bersikap dewasa. Jangan karena rezim Orba berbuat salah, kemudian kecewa dan melawan pemerintah NKRI. Karena bagaimanapun kekecewaan itu sangat rentan untuk ditunggangi oleh Barat agar Papua bisa pisah dari NKRI. Rakyat Timor-Timur yang kini menyesal setelah menjadi Timur Leste perlu menjadi pelajaran bagi orang Papua. Bahwa lepas dari NKRI bukanlah pilihan yang tepat. Jika orang Papua masih tetap ngotot merdeka, maka tunggulah saatnya mereka sebagai etnis akan lenyap bagaikan suku Indian dan Aborigin”.