Merangkul Media Massa, Apa Tidak Boleh?

Bagikan artikel ini

Toni Ervianto, alumnus pasca sarjana Kajian Intelijen Strategik, Universitas Indonesia

Keberadaan media massa di suatu negara adalah faktor yang sangat penting bagi eksistensi atau tidaknya negara tersebut, apalagi di era digitalisasi dan demokratisasi sekarang ini, media massa seringkali memainkan peran penting dalam setiap detak perkembangan masyarakat dan bangsanya.

Karena pentingnya urgensi keberadaan media massa tersebut, maka seringkali media massa “diperebutkan” berbagai kalangan untuk memuluskan tercapainya kepentingan mereka, bahkan melalui “illusion of presence” media massa elektronik dianggap paling dahsyat menentukan kemenangan di detik-detik terakhir momentum politik melalui siaran iklannya yang dapat menembus ruang manapun juga termasuk ruang-ruang keluarga di setiap rumah, sehingga proses pendidikan politik yang seharusnya dilakukan oleh parpol sudah digantikan kedudukannya oleh media massa.

Sekarang ini muncul penilaian yang kurang berimbang terkait “upaya merangkul media massa”. Jika upaya tersebut dilakukan oleh pihak pemerintah, maka dinilai sebagai upaya “membeli dan memperlunak sikap kritis” media massa, sehingga mendapatkan resistensi dari berbagai kalangan. Sebenarnya, dalam konteks perkembangan demokrasi dan politik sekarang ini, sebenarnya esensi dari yang disebut pemerintah adalah pihak eksekutif, legislatif, yudikatif dan termasuk sekarang ini media massa masuk dalam konsep “kepemerintahan” karena melakukan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh pemerintah seperti fungsi mediasi, fungsi sosialisasi, fungsi pendidikan politik, fungsi edukasi, fungsi sosial bahkan fungsi menggelar entertainment yang mendidik. Oleh karena itu, “merangkul media massa” yang dilakukan pemerintah sebenarnya harus dipandang sebagai upaya memperkuat pilar-pilar penyelenggara negara.

Penulis agak tidak setuju dengan beberapa kalangan media massa ataupun pengamat yang menilai bahwa keberadaan Forum Pimpinan Redaksi (Forum Pemred) telah mendegradasi sakralitas tugas mulia pers, dengan anggapan keberadaan forum tersebut yang baru seumur jagung, dituding sebagai refleksi media  “telah terbeli dan melunak”  oleh   pemerintah untuk  membendung  dan mengendalikan pemberitaan. Bahkan, pimpinan Redaksi Parahyangan Post dan Anggota Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI), W. Suratman, menyatakan ada upaya penguasa (baca; pemerintah) mengendalikan media khususnya TV.

W. Suratman dalam www.indoleader.com menulis, Sebagai pilar ke empat dari demokrasi, pers harus tetap menjaga independesinya, pers tidak boleh memanipulasi data dan fakta. Amanat undang-undang dan berbagai peraturan terkait tentang pers, secara terang benderang mewanti-wanti mengenai independensi pers tersebut. Keberpihakan pers adalah untuk mengabdi kepada kepentingan publik, bukan kepentingan penguasa.

Tudingan bahwa “media massa telah dibeli dan melunak” mengacu kepada tulisan Presiden Konfederasi Serikat  Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengeluhkan  tidak adanya media televisi yang meliput aksi demo ratusan ribu buruh di Cikarang-Bekasi, Jumat (21/6/2013) siang, yang menolak kenaikan harga BBM dan suap LSM. Iqbal menulis, “Aneh banget, aksi ratusan ribu buruh di Cikarang Bekasi menolak kenaikan harga BBM, dan sekarang buruh sedang berhadapan dengan 6 water canon, 5 barakuda, ribuan tentara dan Brimob, tapi tidak ada satu pun TV yang meliput dan menyiarkan berita ini. Apakah ini intervensi pemerintah ke televisi jelang pengumuman kenaikan harga BBM?” tulis Said Iqbal yang disebarluaskan oleh Nelly staf media KSPI,  Jumat  (21/6/2013).

SeIanjutnya Iqbal  menulis mempertanyakan independensi televisi dan wartawan di negeri ini. “Padahal, potensi kekerasan aparat terhadap buruh sedang di depan mata, kok gak diliput TV ya? Juga kemana teman-teman Kontras dan lain-lain apa mau hadir tidak ya di kawasan industri Ejip Cikarang Bekasi? Aparat seperti mau perang di sana melawan buruh yang sedang aksi menolak kenaikan harga BBM,”  tulisnya.

Langkah “merangkul media massa” terutama yang dilakukan pemerintah selalu dikritisi dengan alasan demi stabilitas, pers mau digiring untuk tidak kritis. Disamping itu, secara jujur ada pengakuan bahwa suara pers saat ini lebih berpengaruh ketimbang penguasa atau politisi, dengan demikian mereka merasa ketakutan karena rakyat lebih percaya kepada pers.

Kebebasan Pers Jangan Disalahgunakan

Kepercayaan masyarakat yang tinggi kepada media massa (pers) dibandingkan terhadap pemerintah ataupun lembaga civil society lainnya, hendaknya tetap dipertahankan dan dijaga oleh kalangan pers dengan membuat berita dan menganalisis berita secara lebih cermat, sehingga peran pers yang sangat mulia sebagai “titik equilibrium” terwujudnya masyarakat yang kritis dan demokratis dengan kebutuhan terjaganya kepentingan nasional serta clean and good government dapat diwujudkan.

Penyalahgunaan kebebasan pers dapat berangkat dari adagium “bad news is a good news”, karena apabila hal ini tidak dilakukan melalui checkcrosscheck dan recheckoleh kalangan media massa, maka akan menjadi palu godam kematian pers itu sendiri, karena pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa dapat menuntut mereka melalui jalur hukum. Salah satu media massa internasional yang bangkrut karena terlalu rigid menerapkan “bad news is a good news” adalah The New York Times yang akan mengalami kebangkrutan.

Penulis dan juga mungkin publik agak kaget dengan sikap beberapa media massa yang memiliki kecenderungan sulit diatur atau mengabaikan saran atau rekomendasi/peringatan yang dikeluarkan Dewan Pers, Komisi Informasi Publik (KIP) dan organisasi yang menaungi media. Kondisi ini jika berlanjut dapat menggerus kepercayaan dan simpati publik terhadap media massa.

Jika pers tidak meliput aksi unjuk rasa kalangan buruh yang “dikoordinir” KSPI dalam rangka penolakan penaikan harga BBM, mungkin ada benarnya karena pers dengan jejaringnya yang meluas dan mendalam, mungkin sudah mulai mengevaluasi bahwa unjuk rasa penaikan harga BBM tidak murni lagi atau sudah dipolitisasi kalangan tertentu untuk Pemilu 2014 atau kalangan media massa menyadari bahwa penaikan harga BBM sudah tidak dapat dihindarkan lagi, karena berbagai indikator mulai dari kenaikan rerata harga BBM di tingkat internasional, ancaman pelambatan ekonomi global serta kenaikan harga BBM juga dipandang relevan sebagai ekses positif dibalik tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap tinggi (bahkan diantara negara ASEAN), sehingga sudah dapat dipastikan untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut diperlukan energi (BBM) yang tinggi. Kemungkinan inilah yang menyebabkan beberapa pers termasuk media televisi kurang begitu menaruh prioritas meliput unjuk rasa yang dinilai “unreasonable”.

Oleh karena itu, jika ada langkah pemerintah “merangkul pers” ataupun kalangan pers membentuk Forum Pemred sebenarnya adalah wajar saja asalkan untuk kepentingan nasional, bukan hal-hal yang mendegradasikan kredibilitas pers ataupun negara.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com