Dahnil Anzar Simanjuntak, Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah.
Disampaikan dalam Seminar Terbatas para ahli dengan tema “MEMBANGUN STRATEGI PERIMBANGAN KEKUATAN DALAM RANGKA MENGAKTUALISASIKAN KEMBALI POLITIK LUAR NEGERI RI YANG BEBAS DAN AKTIF”, yang diselenggarakan oleh Global Future Institute (GFI) bekerjasama dengan para mahasiswa Fakultas Ilmu Hubungan Internasional Universitas Nasional yang tergabung dalam Vox Muda, Senin 5 Desember 2016, di Jakarta.
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Terima kasih pak Hendrajit, saya kebetulan ndak share paper saya, tapi nanti saya emailkan. Karena saya ada tulisan yang berkaitan dengan OKI, di salah satu media kemarin, ketika ada konferensi luar biasa Muhammadiyah di Maret 2016 yang lalu. Judulnya OKI dan Mission Imposible Jokowi.
Bicara OKI ini complicated sekali. Sebab tidak ada satu pun keputusan-keputusan OKI yang bisa diambil secara bulat. Banyak sekali keputusan-keputusan yang salah satunya tadi seperti yang Pak Hendrajit katakan tadi. Adanya polarsasi yang luar biasa tajam di OKI. Namun saya mau bahas tentang keterlibatan Indonesia di OKI.
OKI ini yang berdiri pada 25 September 1969 itu juga dilatarbelakangi oleh kekalahan negara-negara Arab terhadap zionis Israel, yang mana kemudian ada peristiwa pembakaran masjid Al Aqsha oleh zionis Israel pada Agustus. Nah, kemudian yang muncullah gagasan membangun solidaritas arab, pada saat itu. Solidaritas ini yang kemudian melebar menjadi solidaritas Islam, maka mengingat awal pembentukannya sampai dengan sekarang, wajah OKI itu wajah arab.
Alhasil, dunia pun kemudian memotret OKI sebagai wajah Arab, tidak ada wajah Melayu di situ, tidak ada wajah Asia Tenggara di situ. Jadi, kalau bicara OKI bagi dunia internasional yang mereka potret adalah wajah Arab.
Nah, berangkat dari situ pun sejak berdiri OKI ini presiden Indonesia tidak banyak hadir. Presiden Suharto baru hadir sidang-sidang OKI baru pada tahun 1991. Sehingga Indonesia tidak banyak terlibat peran aktif Indonesia di situ. Baik peran aktif dalam konferensi OKI maupun dalam perumusan agenda-agenda strategis OKI. Waktu itu memang argumentasi Indonesia, secara konstitusional kita bukan negara agama, kira-kira begitulah alasannya. Bahwa Indonesia itu kan bukan negara Islam. Sehingga keterlibatan Indonesia di OKI hanya sebatas solidaritas, sehingga Presiden Suharto ketika itu tidak banyak terlibat di konferensi OKI ini. Baru pada 1991 Presiden Suharto terlibat dalam konferensi OKI ini.
Namun arena ketidakterlibatan Indonesia itulah, wajah OKI itu kemudian menjadi semakin kuat menjadi wajah Arab. Karena keikutsertaan Indonesia, Malaysia dan negara-negara berpenduduk Muslim lainnya di Asia Tenggara, saya pandang tidak cukup representative untuk menggambarkan Islam secara lebih utuh dan otentik. Karena bagaimanapun juga, Islam di Arab itu berbeda dengan Islam yang ada di Indonesia. Begitupula praktek Islam di Indonesia dan dan negara-negara non-Arab lainnya.
Nah, berangkat dari situ, di sinilah peran aktif yang bisa dimainkan Indonesia melalui forum OKI. Pentingnya Indonesia merevitalisasi peran Indonesia dalam forum OKI itu dimulai semasa kepresidenan Abdurrahman Wahid, di era Gus Dur. Pada masa pemerintahan Gusdur inilah baru mulai merevitalisasi peran Indonesia di OKI. Sejak era inilah Indonesia mulai memainkan peran penting.
Nah, kalau kita lihat misalnya berangkat dari situasi ini, OKI ini berdiri karena ada solidaritas yang luar biasa terhadap Palestina, dan solidaritas terhadap Palestina itu juga lah yang menjadi hutang Presiden Sukarno (Presiden Pertama RI), yang kemudian diulangi lagi misalnya melalui beberapa pernyataan Presiden Jokowi. Bahkan sudah beliau sampaikan berupa janji kampanye semasa Pemilu Presiden pada 2014 lalu.
Presiden Jokowi salah satunya menegaskan pelaksanaan politik luar negeri yang secara praksis diarahkan mendorong kemerdekaan bagi Palestina. Jadi, peran OKI yang tadinya dibangun dari solidaritas Palestina, bagi Indonesia sebenarnya sesungguhnya merupakan hutang sejarah bangsa Indonesia. Karena sejak awal kita memang sudah bicara soal ini.
Kemudian yang kedua, substansi dari kehadiran OKI sebenarnya yang harus kita tarik adalah bagaimana menghadiahkan kemerdekaan bagi banyak bangsa, bagaimana memastikan penjajahan atau kolonialisasi itu tidak hadir lagi di pelbagai belahan dunia. Itu sebenarnya yang harus diambil dan kita mainkan secara aktif melalui forum OKI.
Akan tetapi sayangnya yang diterjemahkan ketika zamannya Pak Harto sehingga Indonesia tidak banyak aktif itu adalah karena konstitusi kita itu mengatakan Indonesia bukan negara Islam ataupun berdasarkan agama. Bahkan, OKI ini kan merupakan satu-satunya, organisasi yang ada di PBB yang punya latarbelakang keagamaan kira-kira begitu.
Namun seperti saya kemukakan tadi, Gusdur menterjemahkan dengan cara yang bereda, dengan memanfaatkan kekuatan Indonesia sebagai wajah Islam yang bebeda dengan wajah Arab yang kebanyakan. Nah, di sinilah peran penting kita untuk hadir di OKI kemudian merubah wajah OKI secara keseluruhan bahkan menggunakan peran-peran Indonesia sebagai mediator. Katakanlah konflik yang ramai di Timur Tengah bahkan di negara lain. Bahkan Indonesia bisa membangun jembatan dialog antar negara-negara Arab. Misalnya menjembatani antara dunia Islam dengan dunia Barat atau dunia Timur lainnya. Nah, peran Indonesia itu bisa direvitalisasi melalui peran mediator itu. Menurut saya ada tiga alasan, kenapa pentingnya peran Indonesia dalam konteks menjadi mediator dialog antar peradaban ini.
Pertama saya bicara lebih praksis, berangkat dari pengalaman saya sebagai ketua Pemuda Muhammadiyah dan sebelumnya aktivis pemuda Muhammadiyah. Jadi, saya kebetulan menjabat sebagai Presiden Religion for Peace Youth interfaith Network Asia Pasifik, dan saya Presiden Religion for Peace. Terpilih waktu itu di Vienna. Sebelumnya presidennya itu berasal dari Amerika Serikat, seorang Yahudi, kemudian saya mewakili Islam dari Asia waktu itu. Tapi saya mau menggambarkan secara praktis begini, kenapa kita begitu strategis menjadi mediator penghubung, berdialog, kemudian memediasi dialog antar peradaban.
Pertama adalah kalau saya berangkat dari praksis itu Indonesia itu, saya kira menarik uraian dari salah seorang pembicara tadi, yang mengatakan bahwa dalam ,menterjemahkan konsepsi bebas aktif kita ini tidak jelas. Bebas aktif ini seringkali diartikan agar kita ini netral. Begitu kan?
Netral sehingga tidak pernah berdiri terang dan tegas, kan begitu. Padahal kalau kita terjemahkan cara berpikir Bung Karno tidak mungkin begitu, tapi sampai detik ini bebas aktif yang diterjemahkan itu selalu agar kita dalam posisi netral, berdiri tidak jelas, tidak punya sikap, begitu kira-kira. Itu mirip perilaku intelektual yang sok arif dan bijaksana, kira-kira begitulah wajahnya Indonesia itu.
Kan ada intelektual yang arif dan bijaksana meski tahu kalau itu salah, ini betul, tapi tetap saja mengajak “ayo kita damai saja.” Apa apa karakter kita harus seperti itu? Banyak intelektual kita kan sekarang begitu, padahal kan seharusnya berdri pada yang benar, tapi supaya kelihatan netral lalu kemudian berdiri di tengah tengah padahal yang netral di dunia ini kan cuma dua yaitu ban netral dan kopling, selebihnya tidak ada.
Jadi, bebas aktif kita ini harus dipertegas terjemahannya. Harusnya berdri atas kebenaran itu tadi, misalnya dalam masalah kemerdekaan, hak aasi manusia, harusnya berdiri menyikapi hal itu. Sayangnya kita sulit bersikap seperti itu di berbagai forum internasional. Termasuk di OKI, di PBB dan sebagainya. Kita selalu berpikir lebih praksis dan pragmatis, kira kira begitu. Misalnya, “Wah kalau kita melawan Amerika oh nanti kita bisa habis. Mas Dahnil bisa saja bilang begitu. Tapi ingat loh kita punya 250 juta rakyat,” dan macem-macem.”
Jadi, terjemahan politik bebas aktif yang seakan diartikan harus berposisi netral inilah yang menjadi masalah buat kita. Sehingga katakanlah merasa aman dengan Indonesia, tadi disebutkan apa Indonesia itu punya kecenderungan tidak hegemonik, sehingga banyak negara-negara itu welcoming dengan Indonesia. Ramah, kenapa?
Contoh ini pengalaman praksis saya. Saya terpilih sebagai presiden religion for peace youth interfaith itu bukan Karena saya hebat, atau bukan Karena indoensia hebat, kenapa? Karena kita ramah, kita terbiasa membangun dialog, teribasa memediasi. Contoh, ketika yang dicalonkan itu Cina, itu teman-teman Korea Selatan, temen-temen Jepang langsung menolak. ketika yang dicalonkan temen-temen Amerika, itu temen-temen Cina pasti menolak. Ketika yang dicalonkan Korea Selatan, itu temen Cina menolak. India dicalonkan, Pakistan menolak, Bangladesh menolak, semua menolak.
Ketika dicalonkan Malaysia, Singapura tidak mau, yang lain tidak mau. Dianggap apa, kalau dia jadi pemimpin, Islam di Malaysia tidak diangap tidak modern dan segala macem, tapi ketika nama saya disebutkan, wakil Islam, wakil Indonesia, tidak ada yang menolak. Kenapa? Karena kita tidak dianggap hegemonik, diangap tidak mengancam siapapun. Menurut saya ini bias jadi kekuatan sekaligus kelemahan.
Ini sinyal kekuatan ini tapi juga sinyal kelemahan. Sinyal kekuatannya apa, ini menjadi kekuatan kita untuk memediasi dialog antar peradaban dan kita bisa memimpin proses dialog itu. Tapi ini sinyal kelemahan, kenapa? Karena orang kita tidak bisa menghegemoni orang lain, kenapa? Karena ini negara lemah, ini tidak akan mampu menghegemoni, dia akan tetap yaa ramah, terbuka, santun, kira kira begitu. Jadi, tidak ada satupun negara yang merasa terancam dengan kita. Nah, ini bisa jadi kekuatan tapi sekaligus ini menjadi sinyal bahwasanya kita lemah. Ini menjadi penting.
Nah, pengalaman saya di tingkat youth network itu ternyata dialami oleh Pak Din Syamsuddin. Pak Din kebetulan dipilih sebagai presiden for peace, Ketika calon-calon lain diajukan dan kemudian terjadi penolakan, nah giliran Indonesia tadi ternyata tidak ada yang nolak. Nah, itu tadi sinyalnya.
Jadi ini yang pertama, modal buat kita untuk menjadi mediator dan punya peran aktif di OKI dan sekaligus sangat penting menggambarkan wajah Islam yang berbeda. Karena wajah Islam itu di peradaban barat ditempelkan ya wajah Arab.
Wajah dan potret Islam Indonesia itu berbeda dengan potret Islam di Arab misalnya atau negara negara yang lainnya, kita dianggap sebagai negara yang paling sukses mensenyawakan Islam dan demokrasi. Kita adalah negara dimana Islamnya itu bisa menjadi inspirasi bagi penerapan demokrasi, Islamnya menjadi inspirasi bagi penyusunan konstitusi dan penyusunan dasar negara, sebutlah Pancasila dan segala macemnya itu. Nah, Islamnya Indonesia itu compatible dengan demokrasi. Jadi, kalaupun ada kelompok kecil di Indonesia misalnya berusaha mempertentangkan Indonesia dengan demokrasi itu pun biasanya yang impor dari Arab Saudi atau dari Timur Tengah. Tapi, kalau kita lihat aslinya wajah Islam Indonesia, ya wajah Islam yang sangat moderat yang compatible dengan demokrasi yang ramah terhadap kebhinekaan.
Bayangkan keberagaman Indonesia ini adalah kelompok-kelompok Islam yang besar. Saya berikan contoh lagi, kalau di banyak negara Eropa Amerika yang menjadi inisiator kelompok antar agama itu pasti kelompok minoritas, misalnya di Perancis itu ada teman-teman Muslim dan Yahudi yang aktif membangun dialog interfaith. Anak-anak muda ini yang membangun dialog antar agama.
Tapi, coba perhatikan yang terjadi di Indonesia justru kelompok mayoritas aktif membangun dialog antar agama, Muhamadiyah, kemudian kelompok-kelompok yang lain itu aktif membangun dialog antar agama. Bayangkan ketika kita menyusun BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1945 lalu, para tokoh pemimpin Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, ikut serta menyusun apa yang sekarang kita kenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945. Waktu itu ada penolakan dari saudara-saudara kita timur Indonesia dengan tujuh kata itu, kemudian dalam waktu lima menit saja, kata itu diubah menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Jadi, Islam di Indonesia itu sangat compatible dengan demokrasi, Islam Indonesia itu welcoming the other.
Makanya saya termasuk yang sakit hati kalau ada yang kampanye ini orang Islam ini anti keberagaman, terus kampanye kebhinekaan, Islam Indonesia. Orang Islam di Indonesia itu tidak perlu diajarin tentang kebhinekaan. Kenapa? Karena justru para tokoh kepemimpinan Islam lah yang melahirkan kemerdekaan itu. Genuine, gitu loh. Nah, apalagi kalau sudah ada yang menuduh, kalau takbir itu radikalis, itu menyakitkan.
Menyakitkan bagi Islam Indonesia, masalahnya anak muda sekarang itu literasi sejarahnya rendah. Tidak melihat bagaimana kontribusi atau sumbangan besar kelompok kelompok besar umat Islam, seperti Muhammadiyah dan sebagainya. Nah, jadi Islam dan demokrasi dan Islam yang compatible ini menjadi modal mempertemukan peradaban Timur dan Barat maupun Islam itu sendiri. Inilah modal kita yang kedua.
Kemudian yang ketiga tentu adalah kekuatan tadi yang saya sebutkan. Karena sulitnya di OKI ini Pak Hendrajit, untuk membuat satu kesepakatan tunggal, itu tidak pernah terjadi selama KTT OKI hingga sekarang. Kecuali kemarin ketika Indonesia menjadi salah satu mediator dalog Israel dan Palestina. Ini kan sudah banyak yang menjadi mediator, mulai dari Amerika serikat, Rusia pernah, tapi kan kita tahu Amerika Serikat keberpihakannya ke siapa. Rusia juga begitu keberpihakannya siapa.
Walaupun Indonesia ketika menjadi mediator jelas keberpihakannya kepada Palestina, kira-kira begitu. Tetapi setidaknya Indonesia itu bisa memediasi sikap kebanyakan dari negara negara Arab itu sendiri, Karena Mesir bisa berbeda dengan Turki, misalnya dengan Palesina dan sebagainya.
Jadi, karena polarisasi itu, pentingnya OKI dipimpin oleh Indonesia. Jadi kalau Arab yang memimpin OKI, Iran kurang senang. Sedangkan Indonesia welcoming dengan banyak mazahab yang ada di Islam itu sendiri.
Jadi, Pak Hendrajit dan bapak ibu sekalian, tiga hal inilah yang bisa digunakan oleh Indonesia untuk memimpin OKI sebagai mediator dialog membangun peradaban yang lebih baik.
Terakhir, kita itu kurang mengkapitalisasi modal sosial, bahwa Islam Indonesia yang compatible dengan demokrasi ini ke luar negeri. Padahal Indonesia berhasil mempersenyawakan Islam dan demokrasi. Missalnya bapak-bapak dari kementerian luar negeri, kami dari religion for peacekami melakukan hubungannya itu kan people to people bukan G to G.
Jadi, hubungan dialog yang rutin kami lakukan semuanya people to people, tidak ada yang G to G. Sehingga yang kami lakukan tentu adalah pertukaran peradaban. Toh nanti ketika kami kembali ke negara kami, apa, political pressure nya itu justru dilakukan di tingkat ormas kami, misalnya saya di Muhammadiyah. Political pressure-nya ke mana, ke kementerian luar negeri dan seterusnya.
Agaknya yang dibutuhkan dialog berdasarkan people to people ini memang harus lebih banyak, kenapa? Karena dialog people to people ini akan efektif mendorong political pressure terhadap negaranya masing-masing.
Kenapa? People ini kan voters, nah voters ini bisa menentukan sikap secara politik. Jadi, ketika voters-voters setiap negara itu terkoneksi atau terhubung satu sama lain, misalnya dalam menyikapi berbagai isu penting maka voters di Indonesia itu terkoneksi dengan voters di Malaysia itu bisa membangun sikap bersama, sehingga bisa memaksa pemerintah. Sehingga tidak hanya solusi untuk menghindari atau bahkan melawan sikap netral dengan dalih politik bebas aktif tadi, yang disebut tidak berpihak itu.
Sehingga bebas aktif itu sering dijadikan dalih untuk tidak berpihak pada kebenaran, tidak berpihak pada kedzoliman. Maka melalui political pressure yang dibangun melalui people to people dialog tadi, maka voters-voters berbagai negara tersebut terhubung secara luas dan punya jejaring di luar negeri.
Saya kira itu, kurang lebihnya terima kasih.
Wassalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh