Mewaspadai Ancaman Frontier Di Perbatasan

Bagikan artikel ini

Telaah Kecil Geopolitik Pasca Pilkada 2024

Ada 4 (empat) pisau bedah dan dimensi dalam geopolitik, antara lain: 1 teori ruang atau living space atau kerap disebut lebensraum; 2 keamanan negara dan bangsa; 3 politik kekuatan; dan 4 frontier.

Sejatinya, inti geopolitik adalah (teori) ruang alias living space, namun pada catatan ini —sesuai judul— akan fokus membedah frontier.

Pertanyaannya ialah, “Apa makna frontier dari sisi geopolitik?”

Frontier itu istilah dalam bahasa Inggris yang artinya perbatasan antara dua negara atau wilayah; dan/atau daerah terdepan alias terjauh dari suatu negara atau wilayah.

Dalam perspektif geopolitik —ilmu negara— frontier dimaknai sebagai batas imajiner antara pusat dan daerah. Atau, menurunnya pengaruh pusat (akibat pengaruh asing) di suatu perbatasan karena faktor ekonomi, sosial dan budaya (ekosob). “Ini yang mutlak harus diwaspadai bersama”. Apabila pengaruh ekosob dibiarkan berlarut serta menebal maka dapat merambah ke ranah politik, dan ia bisa berdampak lepasnya wilayah tersebut dari negara induk.

Indonesia memiliki pengalaman pahit terkait frontier, misalnya, lepasnya Sipadan Ligitan dan Timor Timur dari bingkai NKRI. Ya, meski modus kedua isu di atas berbeda tapi polanya nyaris sama yakni pembiaran atas pengaruh asing serta penebalan ekosob, kemudian merambat ke ranah politik di kedua wilayah. Pada akhirnya, keduanya pun lepas. Apabila Sipadan Ligitan melalui keputusan Mahkamah Internasional, sedangkan lepasnya Timor Timur via jajak pendapat.

Secara kausalitas, jika boleh membandingkan bahwa frontier di era Orde Baru karena faktor kelalaian pusat mengantisipasi pengaruh ekosob yang menebal di perbatasan, sedang di era sekarang (“reformasi”) timbul varian frontier justru disebabkan faktor struktural kebijakan, contoh, penyewaan pulau-pulau kepada swasta/asing; atau, pembangunan pulau reklamasi yang kerap membidani pemukiman eksklusif; muncul koloni pengungsi Ukraina di Bali (baca/googling: Waspadai Raksasa Asimetris di Bali); dan paling aktual lagi unik adalah varian frontier yang dihasilkan dari pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Frontier lewat Pilkada, contohnya bagaimana?

Dekade 2021-an lalu, jagat politik Indonesia sempat heboh oleh isu Warga Negara Asing (WNA) terpilih sebagai kepala daerah di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT). Gempar! Entah faktor politik uang; lemahnya seleksi; atau sekadar ‘cek ombak’ pihak asing; atau, dampak UUD NRI 1945 Produk Amandemen (1999-2002) sehingga WNA bisa lolos seleksi, bahkan memenangkan Pilkada. Namun syukurlah, kasus di NTT batal demi hukum.

Seandainya WNA tadi menjadi Bupati di NTT, misalnya, boleh jadi, selain politik projek APBN/D condong ke inner circle-nya; jangan-jangan kelak malah dibangun pemukiman eksklusif warga dari negeri asal si Bupati? Inilah salah satu prakiraan ancaman frontier karena faktor Pilkada.

Agaknya dalam Pilkada 2024 kemarin, ada sekitar 9 (sembilan) kepala daerah yang dimenangkan oleh etnis Cina. Maaf ini bukan rasis. Sebenarnya tidak masalah. Namun, jika dilihat dari sisi geopolitik cq frontier kemudian dikaitkan dengan kebijakan “Dwi Kewarganegaraan”-nya Cina dan program Belt and Road Intiative (BRI), seyogianya perlu kewaspadaan khusus dalam hal geopolitik, terutama wilayah perbatasan seperti Pulau Natuna, Pulau Anambas, Batam, Bitung, Belitung, Maluku Utara dan seterusnya yang pada Pilkada 2024 dimenangkan kandidat dari etnis Cina. Sekali lagi, mohon maaf sebesar-besarnya. Catatan ini bukan diskriminatif berbasis sentimen ras dan golongan, tapi semata faktor geopolitik. Kenapa? Bahwa ancaman frontier selalu datang di daerah atau wilayah terjauh/perbatasan lewat pengaruh ekosob dan asing.

Dengan demikian, pemerintah pusat ke depan harus mencermati secara khusus terhadap beberapa wilayah perbatasan tersebut atas tebal tipisnya frontier, terutama pengaruh ekosob oleh asing di perbatasan.

Sekali lagi, tulisan ini bukanlah rasis tetapi merupakan implementasi bela negara dan kewaspadaan nasional berbasis geopolitik. Tidak ada maksud menggurui siapapun, terutama para senior dan pihak-pihak yang berkompeten. Sekadar sharing pemikiran demi Indonesia yang lebih baik. Indonesia Emas 2045.

Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.

M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com