Mewaspadai dan Menyikapi Titik Kritis Bangsa

Bagikan artikel ini
Bukannya terjebak, namun Indonesia hari ini tengah hanyut dalam sistem (negara) politik yang berbasis liberalisme akibat euforia reformasi usai Pak Harto mundur, pasca Orde Baru tumbang pada 1998.
Ya. Euforia tersebut berbunyi ‘Asal Bukan Soeharto’, tetapi praktiknya justru sikap serta tindakan yang cenderung destruktif lagi abai terhadap nilai-nilai leluhur yang digali oleh para Pendiri Bangsa dimana termuat dalam sila-sila Pancasila.
Dan sejak UUD 1945 diamandemen (1999-2002) kelompok reformis gadungan, lalu diubah menjadi UUD NRI 1945 atau kerap disebut oleh pegiat konstitusi sebagai UUD2002 alias UUD Palsu, meminjam istilah dr Zulkifli S Ekomei, sang penggugat UUD NRI 1945.
Menyitir apa kata (alm) Prof Dr Safii Ma’arif silam, “Nasib Pancasila, dimuliakan dalam kata. Diagungkan dalam tulisan. Dikhianati dalam perbuatan”.
Sila ketuhanan contohnya, ketika liberalisme masuk maka menghasilkan apa yang disebut sekularisme. Semua agama dianggap sama. Agama hanya boleh berinteraksi di ruang privat, tidak boleh di publik. Paham ini meski banyak menuai kritik serta penolakan publik, namun tidak sedikit pengusungnya.
Juga, sila kemanusian yang adil dan beradab. Tatkala liberalisme marasuki sila ke-2 ia menghasilkan HAM ala Barat copy paste dari UN Protokol. Plek. Tanpa revisi dan penyesuaian terhadap local wisdom leluhur. Atau, ketika liberalisme merembes ke sila persatuan. Maka merebaknya anasir perpecahan dianggap biasa, sah, dan wajar-wajar saja, Lho? Itu bagian demokratisasi dan/atau kebebasan, katanya.
Demikian pula manakala liberalisme merambah pada nilai musyawarah untuk mufakat (sila ke-4), maka voting alias banyak-banyakan suara (one man one vote) dianggap cara terbaik dalam hal apa saja terutama di ranah politik. Suara ulama misalnya, disamakan suara santrinya; suara profesor disamakan dengan mahasiwa dan lainnya. Itulah demokrasi kuantitas, bukan kualitas.
Kalau praktik sila pertama hingga keempat seperti uraian sekilas di atas, maka implementasi sila keadilan sosial (ke-5) akan jauh panggang dari api. Mimpi di siang bolong. Dan tanpa disadari, itulah yang kini masif berlangsung secara sistematis di republik ini.
Menurut Prof Maswadi Rauf dan Dr Mulyadi, dosen senior UI, yang mutlak dicatat oleh segenap anak bangsa ialah tiga bahaya dari paham liberal, antara lain:
1. Liberalisme yang masuk ke dalam dunia sosial menghasilkan individualisme (M. Rauf, 2002);
2. Yang masuk ke dalam dunia ekonomi akan menghasilkan kapitalisme (M. Rauf 2002); dan
3. Liberalisme yang masuk ke dunia politik akan menghasilkan demokratisme. Demokratisme adalah paham politik yang menganggap bahwa semua keputusan/kebijakan politik yang diambil oleh otoritas sipil dianggap absah meski terjadi penolakan secara luas oleh masyarakat (Mulyadi, 2005).
Apa hendak dikata. Semenjak UUD 1945 Naskah Asli diganti dengan UUD2002, wajah bangsa yang dahulu guyub, toleransi, tepo seliro, gotong royong, ramah, santun dst kini berubah menjadi individualis, liberal dan kapitalistik. Tak bisa dipungkiri. Secara geopolitik, “INILAH TITIK KRITIS BANGSA,” dimana nilai-nilai lama mulai ditinggalkan, tetapi nilai baru belum sepenuhnya melembaga, kurang bisa diterima, bahkan sejujurnya tidak cocok dengan tekstur tanah Pancasila.
Bagaimana riil contohnya?
Menyingkat catatan, kita ambil satu contoh di ranah politik, kenapa? Sebab, jangan pernah bermimpi bisa memperbaiki hukum, ekonomi, sosial, budaya, agama, keamanan, pertahanan, dan lain-lain tanpa terlebih dahulu memperbaiki politik (Mulyadi, 1988).
Misal. Katakanlah, Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 Produk Amandemen:
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” ***)
Dari pasal di atas bisa dibaca maknanya, bahwa: 1 kedaulatan rakyat telah berpindah/dibajak oleh partai politik (parpol), sebab hanya parpol yang berhak dan berwenang mengusulkan calon presiden dan wakil; 2 hanya parpol-lah sata-satunya entitas pemegang saham kekuasaan; dan 3 terjadi politisasi di semua lini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Ichsanuddin Noorsy (2004), politisasi di semua lini menimbulkan dua konsekuensi, yakni (1) komersialisasi, dan (2) kriminalisasi. Misalnya, yang pro diberi jabatan, atau dapat projek strategis, privilege dan lain-lain, itu komersialisasi; sedangkan kelompok yang kontra niscaya dijegal, dicopot, dipreteli, kalau perlu dipersekusi, dipidana dan seterusnya, ini bentuk kriminalisasi.
Tak boleh dipungkiri, dari rahim Pasal 6A Ayat (2) ini terbidani apa yang disebut kebijakan balas budi, atau politik sandera, politik dagang sapi, transaksional dan lain-lain.
Semakin kemari, percayalah bahwa kegaduhan di republik ini tidak bakal mereda bahkan justru diprakirakan kian menjadi-jadi selama sistem politik atau konstitusi kita berbasis UUD2002 yang liberal lagi kapitalistik.
Adanya kegaduhan dan keterbelahan berkala per/lima tahunan —pemilihan presiden— ataupun per/pilkada di setiap daerah. Tinggal menunggu kapan bangsa ini pecah menjadi beberapa negara seperti ramalan PW Singer dan August Cole dalam fiksi ilmiah bertajuk Ghost Fleet.
Sesuai judul tulisan, seyogianya kita wajib mengikhtiari sesuai ukuran dan kadar masing-masing dalam rangka menjemput takdir geopolitik Indonesia Emas 2045 atau Indonesia Mercusuar Dunia.
Bagaimana caranya?
Balikkan kedaulatan kembali ke tangan rakyat melalui mekanisme:
Minimal, MPR kembali menjadi Lembaga Tertinggi Negara. Sehingga yang tertampung bukan cuma suara, tetapi juga pikiran dan kehendak rakyat (GBHN) serta mampu mengkontrol langkah mandataris MPR (Presiden) entah lewat DPA yang sudah dihapus di UUD2002, atau kontrol melalui Sidang Istimewa;
Maksimal, kembali ke UUD 1945 sesuai Naskah Asli dengan teknik adendum. Hal-hal yang baik pada UUD2002 tetap dipertahankan, hal buruk dihapus. Namun, keduanya ditempatkan pada lampiran/adendum sehingga Naskah Asli tetap orisinal.
Demikianlah telaah kecil ini dibuat. Tak ada maksud menggurui siapapun khususnya para senior ataupun pihak berkompeten. Sekadar sharing wawasan. Diskusi, kritik dan saran kami terima dengan lapang dada.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com