Manuver Amerika Serikat untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain, salah satunya dengan menempatkan staf diplomatik tingkat tingginya di kedutaan besar negara yang sedang jadi sasaran negara Paman Sam agar masuk dalam wilayah pengarunya (sphere of influence). Kasus terkini adalah Armenia, negara pecahan Uni Soviet. Ketika Washington mengangkat seorang duta besar yang punya rekam jejak aktif menggalang kekuatan anti-Rusia di pelbagai negara.
Baru-baru ini Washington mewartakan bahwa Presiden Joe Biden akan mencalonkan Christina Quinn sebagai Duta Besar baru di Armenia. Menariknya, dalam jabatannnya terdahulu, Christina merupakan diplomat karir yang bertugas sebagai Kuasa Usaha AS di Ukraina sejak Januari 2020. Adapun pos baru Christina di Armenia yang diusulkan Presiden Biden tersebut baru diharapkan akan mendapat persetujuan kongres pada September 2022 mendatang.
Baca:
Will Christina Quinn Impose US-style Democracy on Armenia?
Nampaknya keputusan Washington menempatkan Christina Quinn sebagai Duta Besar di Armenia, merupakan bagian integral dari strategi AS untuk melemahkan pengaruh Rusia di Armenia, sekaligus juga mengurangi pengaruh Rusia di wilayah Caucasus Selatan pada umumnya.
Betapa pentingnya bagi Washington untuk menempatkan seorang duta besarnya yang punya rekam jejak dalam kegiatan-kegiatan anti-Rusia terbukti ketika sebelum pencalonan Christina, Washington sempat mengajukan Wakil Duta Besar AS di Kedutaan Besar Ukraina, Alan Purcell. Menariknya, baik Christina maupun Alan Purcell bertugas di Kedutaan Besar Ukraina. Sehingga sulit menepis spekulasi bahwa Washington semakin agresif meningkatkan manuver diplomatik dan intelijennya di negara-negara eks Uni Soviet yang saat ini cenderung pro AS dan blok Barat. Sebagai misal. Armenia.
Pada 15 Juli 2022 lalu, Direktur badan intelijen AS CIA William Burns telah mengadakan pembicaraan yang cukup penting dengan Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan. William Burns punya pengetahuan dan pengalaman yang luas di wilayah Caucasus Selatan sehingga Presiden Biden sangat mengandalkan Direktur CIA itu untuk mengadakan pembahasan masalah-masalah strategis dengan perdana menteri Armenia di Yerevan.
Sepertinya Presiden Biden dan para penasehat strategis keamanan nasionalnya di Gedung Putih sangat kuatir dengan kecenderungan Turki untuk memihak Rusia dalam Krisis Rusia-Ukraina. Dan mengambil posisi abstain dalam pemungutan suara di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Keputusan Turki untuk bersikap netral dalam menghadapi krisis Ukraina-Rusia, telah mengacaukan strategi politik luar negeri Washington. Apalagi Turki sejatinya hingga kini masih tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Maka manuver yang ditempuh AS adalah mengadu-domba antara Rusia dan Turki. Maka isu paling sensitif bagi keduanya adalah konflik tentang Nagorno-Karabakh. Ketika eskalasi konflik di Nagorno-Karabakh semakin memanas, diharapkan Turki akan memihak Azerbaijan, sedangkan Rusia akan memihak Armenia.
Dalam grand strategi Washington inilah, peran dari Direktur CIA William Burns yang sangat ahli tentang kawasan Caucasus Selatan, akan memainkan peran yang cukup penting. Dengan situasi semacam itu, diharapkan Turki akan kembali merapatkan barisannya ke AS dan NATO. Sehingga menarik kembali politik luar negeri yang condong memihak Rusia dalam krisis Ukraina.
Kembali ke pencalonan Christina Quinn sebagai Duta Besar AS di Ukraina, nampaknya Washington sangat berkeinginan untuk menciptakan demokrasi ala Amerika di Ukraina. The US-style Democracy. Dan menurut Biden, sosok Christina Quinn merupakan pilihan yang tepat untuk mengemban misi tersebut.
Catatan mengenai latarbelakang pendidikannya juga mengindikasikan bahwa Christina bukan sosok yang patut dianggap sepele. Lulus dari Occidental College, California, juga pernah studi di the US Army War College, dan Universitas Stockholm, Swedia.
Menariknya lagi, Christina sebelum bergabung sebagai korps diplomatik di Kementerian Luar Negeri AS, sempat jadi wartawan di harian Los Angeles Times, salah satu yang cukup berpengaruh di AS. Sebagai diplomat karir, memulai debutnya sebagai staf konsulat kedutaan besar AS di Paris, Prancis. Setelah itu ditempatkan pada kedubes AS di Filipina menangani bidang masalah-masalah ekonomi.
Kembali ke Washington, Christina ditempatkan di biro Eropa Kementerian Luar Negeri AS, untuk menangani Uni Eropa dan the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Setelah itu Christina ditugaskan sebagai duta besar di Slovenia.
Ketika pada 2001-2005 Christina ditempatkan sebagai the US Mission di Uni Eropa yang bermarkas di Brussels, diplomat Wanita ini semakin meroket reputasinya. Apalagi ketika dialihtugaskan ke kedubes AS Rusia selama dua tahun.
Sosok Christina sebagai pemain kunci pada posisi strategis pembuatan kebijakan luar negeri dan keamanan nasional semakin terlihat ketika pada 2008-2010 ketika dirinya ditempatkan sebagai staf pada Dewan Keamanan Nasional untuk mengepalai departemen Uni Eropa dan Eropa Timur.
Setelah itu penasehat ekonomi di kedubes AS London, Inggris, dan tiga tahun bertugas sebagai Wakil Duta Besar AS di Thailand. Sekadar informasi, wakil duta besar biasanya punya wewenang yang lebih besar dan menguasai lingkup detail dari kedutaan besar dibandingkan duta besar yang hanya menguasai arahan strategis dan garis besar kebijakan.
Lebih mengesankan lagi, setelah itu Christina pada 2016 kembali bertugas di kedubes AS di Paris, dan kali ini sebagai wakil duta besar dan penasehat ekonomi.
Penugasan Christina di Ukraina bermula sejak 2019, sebagai wakil duta besar AS di Kiev.
Penugasannya ke Armenia yang diperkirakan akan mendapat persetujuan kongres pada September mendatang, nampaknya tidak lepas dari pengalamannya dalam Pendidikan militer. Sehingga selain pengalaman diplomatiknya yang beragam dan luas, pengalamannya dalam bidang kemiliteran(combat experience), khususnya di Ukraina, nampaknya jadi pertimbangan utama Washington untuk menjalankan misi diplomatiknya ke Armenia.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)