Myanmar dan British Geopolitics

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

The British Geopolitics di Myanmar lebih bahaya daripada Cina dan Rusia. Inggris jauh lebih tahu arti vital Birma mengingat kesejarahannya sebagai pemerintah kolonial di negri Pagoda itu.

Maka itu ketika muncul bocoran dokumen pemerintah Inggris yang memberi kesan berasal dari intelijen Myanmar, menurut saya malah mencurigakan.

Bocoran tersebut menggambarkan adanya desain besar untuk melakukan pembasmian massal terhadap penduduk Rohingya di Rakhine. Apakah ini murni sebuah bocoran? Harusnya kalau bocoran dengan terbongkarnya dokumen milik pemerintah Inggris dilakukan langkah-langkah pencegahan. Nyatanya bocoran ini malah memicu tragedi Rohingya.

Lantas Nafeez Ahmad yang digambarkan sebagai wartawan investigasi asal Inggris, melalui The Sydney Morning Herald dan The Age merinci rencana pembasmian massal itu seperti perkosaan, pembantaian, penyerobotan tanah, pembakaran rumah.

Sayangnya fakta-fakta ini kemudian dikembangkan sekadar untuk menjelaskan bahwa Myanmar telah menjadi perebutan pengaruh antara lnggris dan AS maupun blok Barat versus Cina.

Padahal angle menarik adalah mengapa dan apa agenda Inggris sesungguhnya dengan bocoran itu?

Anehnya lagi. Berdasarkan bocoran Oktober 2015 itu. Melalui International State Crime Initiative menyimpulkan adanya Genosida tahap akhir terhadap penduduk Rohingya.

Saya dapat kesan bocoran itu merupakan komando. Dan celakanya, berdasarkan hasil sidang tertutup PBB, Inggris terkesan jadi pahlwan dengan mendesak adahya tim pencari fakta. Dan Cina dan Rusia menolak.

Alhasil ketika terjadi tragedi Rohingya tangan Inggris bersih dari lumuran darah. Sebaliknya Cina jadi tokoh antagonis. Seakan gara-gara penolakan Cina dan Rusia di Sidang Umum DK-PBB, meletuslah Genosida terhadap penduduk Rohingya.

Inggris yang menjajah Birma antara 1826-1948, tahu betul perseteruan berabad-abad antara kerajaan Birma dengan suku Arakan. Pada abad ke-11 misalnya, ketika kerajaan Birma mulai menguat, mulai melakukan ekspansi ke beberapa negara sekitarnya, tak terkecuali Arakan. Pada 1044 ketika kerajaan Birma dipimpin oleh Anawrahta, mencaplok Arakan. Celakanya, selain penganut Budha, Anawrahta, juga raja yang kejam dan lalim. Inilah yang menjelaskan mengapa Budha yang mengagungkan cinta kasih seperti Budha Theravada, bisa begitu saja jadi alat xenophobia kerajaan Birma yang ekspansionis, militeristik dan sarat kekerasan.

Alhasil sejak Anawrahta inilah, Budha dijiwai oleh watak yang amat rasistik. Maka salah satu program utama kerajaan Birma ketika mencaplok Arakan adalah menyingkirkan pengaruh-pengaruh India di daerah Arakan. Seraya mendorong masuknya suku Tibeto Burman yang notabene masuk kategori ras kuning.

Inggris, ketika kekuasaannya semakin kuat di benua India kemudian menguasai Arakan pada 1824. Maka Inggris mulai membawa kembali Muslim, Hindu, dan Budha, kembali ke Arakan. Yang sebelumnya, sebagai akibat pembersihan etnik kerajaan Birma di era Anawrahta pada abad ke-11, berbondong-bondong mengungsi ke India, khususnya ke daerah Bengal yang sekarang merupakan Bangladesh.

Namun Inggris sebagai pemerintah kolonial, yang tujuannya adalah mengadu-domba antar suku di Myanmar agar tidak menyatu menjadi sebuah kekuatan perlawanan nasional, keputusan membawa tiga kelompok tadi itu (Muslim, Budha dan Hindu), justru memicu benih-benih kebencian dan benturan antar kelompok di kemudian hari.

Niat buruk Inggris semakin kelihatan ketika dengan sengaja mendatangkan warga Muslim Bengal, padahal Inggris tentunya tahu persis bahwa kedatangan warga pendatang dari negeri berpenduduk mayoritas Muslim, sedangkan di Arakan ada Hindu dan Budha, pada perkembangannya bisa memicu benturan rasial.

Benar saja. Menyusul kedatangan warga Muslim Bengal yang kemudian bergiat menggeluti tanah pertaniah di Arakan, telah memantik kebencian yang dimotori oleh Rakhine Budha terhadap warga Muslim Arakan.

Padahal kalau para Rakhine Budha tersebut punya kesadaran sejarah, harusnya ingat bahwa Rakhine Budha dan Muslim Rohingya pernah sama-sama jadi korban pembantian kerajaan Birma beberapa abad sebelumnya, akibat watak Xenophobia kerajaan Birma dan Suku Birma.

Sayangnya virus Xenophobia suku Birma yang ingin mem-birmakan Myanmar sejak awal kemerdekaan Birma pada 1948, nampaknya berhasil menembus pola pikir dan cara pandang para Rakhine Budha. Sehingga Budha dijiwai watak rasisme.

Inilah The British Geopilitics di Myanmar, yang buahnya kita saksikan sekarang. Menanam bom waktu di kalangan antar etnis Myanmar yang mencapai puncaknya pada 1930-an, yang sebenarnya tidak saja antara Birma versus Arakan/Rohingya, melainkan juga antara Birma versus suku Karen, Chin dan Kochin yang notabene sebagian besar memeluk agama Kristen.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com