Negeri Autopilot: Kritik atau Propaganda?

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Coretan sederhana ini dilatarbelakangi keprihatinan atas semakin “liar dan panas”-nya suhu politik jelang pesta demokrasi 2014 yang disebabkan embrio gempita serta dinamika, entah mencuri start, entah membangun pencitraan si bakal calon, black campaign, mendulang simpati warga, atau lainnya. Tapi sering tanpa disadari oleh pihak-pihak tersebut bahwa apa yang dikerjakan seperti menepuk air di dulang. Syukur-syukur hanya memercik muka sendiri, ini membikin basah “wajah” bangsa dan negaranya. Artinya yang dikerjakan memiliki implikasi buruk atas citra bangsa di panggung dunia.

Ya. Merebaknya isue “negeri autopilot” di republik tercinta ini berawal dari Sarasehan Anak Negeri, tanggal 12 Januari 2012 bertajuk “PENYELAMATAN NEGARA AUTOPILOT”. Penyelenggaraannya dihadiri para pakar dan tokoh nasional oleh Metro TV, Jakarta. Acara yang dipandu Ali Muchtar Nagabalin dan Kania Sutisnawinata, mulanya membahas rencana pembatasan BBM bersubsidi, namun topik bergeser membahas kinerja pemerintah yang dianggap rendah. Lalu dilemparkan isue Indonesia sebagai negara autopilot. Permisalan sebuah pesawat tanpa awak (autopilot), begitulah anekdot beredar —cerita lucu kekuasaan— negeri berjalan otomatis seolah-olah tanpa pemerintah. Bahkan Lily Wahid, adik Gus Dur berkomentar lebay, kendali pesawat diserahkan pilot otomatis karena pilot yang asli asyik bernyanyi, main gitar atau mengarang lagu!

Pada sarasehan tersebut dicontohkan, bahwa pertumbuhan ekonomi 2011 yang mencapai 6,3% diraih secara autopilot. Artinya tanpa berbuat apa-apa pemerintah mendapat apresiasi investment grade (layak investasi) justru di tengah krisis global. Sebenarnya ini suatu prestasi, namun beberapa kalangan mensinyalir pertumbuhan terjadi seakan tanpa “sentuhan” pemerintah sama sekali. Tidak ada hal-hal signifikan yang dikerjakan oleh pemerintah terkait pembangunan infrastruktur misalnya, atau pemberdayaan, capacity building dan lainnya. Seharusnya pertumbuhan ekonomi bisa digenjot menjadi 8%  apabila negeri ini punya pilot atau pemimpin, kata sarasehan itu.

Sayangnya forum tersebut tak menguak, betapa dekade kini kali pertama penerimaan negara tembus di atas 1000 triliun, selain di tingkat internasional Indonesia masuk menjadi anggota G-20, serta sukses membawa trend ASEAN, aktif dalam diplomasi krisis global dan seterusnya.

Contoh lainnya, ketika pemerintah dianggap membiarkan pertumbuhan ekonomi bekerja sendirian, anehnya kemiskinan malah berkurang 0,13% melampaui target pemerintah yakni 1% per tahun. Termasuk “pembiaran” terhadap konflik-konflik agraria. Misalnya dari 22 kasus dengan 5 orang korban tewas (2010) menjadi 120 perkara dengan 18 orang korban tewas (2011). Hal ini tak lepas dari banyak perusahaan yang menyelesaikan persoalannya dengan cara sendiri via pamswakarsa. Pemerintah dituduh tidak selalu berada (existance) untuk menegakkan hukum di berbagai konflik tanah. Ataupun manakala ia hadir sebagaimana kasus Mesuji, Bima dan lainnya, justru tindakan aparat menimbulkan masalah baru yang lebih besar. Ironis memang, konflik bukannya rampung tapi tambah meluas bahkan semakin kompleks ketika negara campur tangan. Masalah kekerasan agama lain lagi, catatan Setara Institute (2010) ada sekitar 135 perkara kekerasan atas nama agama menumpuk karena tidak tuntas diusut oleh aparat negara.

Dari gambaran di atas kendati masih pro-kontra, ilustrasi “pembenaran” pun muncul di tengah forum sarasehan bahwa pesawat autopilot bakal jatuh karena kehabisan bahan bakar, demikian pula negara yang dibiarkan tanpa pemerintahan lama-kelamaan akan ‘jatuh’, jika rakyat sudah hilang kesabaran!

Agaknya santer isue bertitel “negeri autopilot” mendapat respon langsung oleh pemerintah juga beberapa pakar. Masih kontroversi. Tak kurang Menteri Agung Laksono meminta para elite politik agar menggunakan etika saat menyampaikan kritik kepada pemerintah, sehingga tidak vulgar dan provokatif. Pemerintah menjunjung tinggi demokrasi, tetapi lakukan secara santun dan tidak asal menuding saat menyampaikan aspirasi. Tudingan Indonesia tidak memiliki pemimpin sangat tidak beralasan. Oleh sebab upaya mensejahterakan rakyat terus dilakukan dengan mengurangi angka kemiskinan. Struktur pemerintahan itu berjenjang mulai dari kelurahan, kecamatan, kota, provinsi sampai ke presiden. “Sistem pemerintah sudah terorganisasi sehingga segala sesuatu berjalan dengan sendirinya. Saya tidak mengerti istilah autopilot seperti diistilahkan elite politik” tutur Agung.

Ikhsan, Direktur Eksekutif Financial Reform Institute mengatakan, tuduhan negara autopilot tidak berdasar dan sensasi provokatif dari mereka yang picik serta kebelet berkuasa. Ia menyatakan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,5 % pada 2011 tertinggi di ASEAN, sedang inflasi 3,7 % terendah di Asia Pasifik.

Lain pula respon Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Perekonomian: “Untuk negeri autopilot sendiri itu salah, tidak ada suatu negara tanpa pemerintahan, tidak mungkin negara tidak ada pemimpin, dan tidak ada pemimpin yang tidak bekerja untuk rakyatnya”. Jika ada yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negeri autopilot, maka sama saja mengatakan bahwa para camat, bupati, gubernur, bahkan presiden tidak bekerja. Bagaimana kita mengatur APBN. Jadi menurut saya itu sangatlah berlebihan, tanpa pemerintahan negara tidak bisa berjalan sendiri.

Sedangkan Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya lebih merujuk data, ia menyebut bahwa pasca reformasi ekonomi 1998 telah memunculkan kenyataan ganjil. Ekonomi nasional kerap dipuji di luar negeri dan lembaga internasional, tetapi miskin tepuk tangan dari publik di dalam negeri. Transformasi ekonomi telah menggeser peran sektor pertanian setahap demi setahap digantikan sektor industri dan jasa. Akibatnya saat ini 53% garam, 60% kedelai, 30% daging, dan 70% susu kita harus impor. Meskipun rata-rata inflasi sepanjang 2005-2010 dapat ditekan, harga beras naik 120%, kedelai 85%, telur 100%, cabai 120%, daging 90% dan jagung 700%. Itulah sekilas kontroversi para tokoh dan pakar.

Dalam terminologi ilmu sosial, baik bidang politik ataupun perspektif hubungan internasional tak pernah ditemui istilah “negara outopilot”. Jika “negara gagal” memang familiar. Sebuah negara dimana pemerintah pusat tidak mampu mengontrol atau menguasai seluruh wilayah. Ciri-cirinya pun jelas, yaitu tidak ada jaminan keamanan; tak bisa menyediakan kebutuhan pendidikan, kesehatan dan lainnya; korupsi dilakukan oleh lembaga yang seharusnya justru memerangi; hilangnya kepercayaan masyarakat selain terhadap pemerintah, juga kepada DPR, terhadap aparat penegak hukum dan hampir segala lini tak lagi dipercayai.

Lain lagi kemunculan istilah negara berkembang, transisi, negara maju dan lainnya, dimana maksudnya cuma memudahkan sebutan saja. Secara yuridis definisi negara “maju” dan “berkembang” tidak tercantum dalam konvensi resmi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Menurut Divisi Statistik PBB: Penetapan “maju” dan “berkembang” hanya untuk kemudahan statistik dan tidak mengekspresikan penilaian terhadap tahap-tahap yang telah dicapai suatu negara atau wilayah dalam proses pembangunannya.

Secara resmi Bank Dunia menggolongkan negara dalam empat kelompok pendapatan. Kelompok ini diatur setiap tahun pada tanggal 1 Juli. Ekonomi yang terbagi menurut pendapatan nasional (PN) per kapita 2008 menggunakan tingkatan pendapatan sebagai berikut: (1) negara pendapatan rendah memiliki PN per kapita US$975 atau kurang; (2) negara pendapatan menengah bawah memiliki PN per kapita antara US$976 dan US$3.855; (3) negara pendapatan menengah atas memiliki PN per kapita antara US$3.856 dan US$11.905; dan (4) negara pendapatan tinggi memiliki PN per kapita lebih dari US$11.906.

Kembali pada bahasan di atas, sebagaimana isyarat Agung Laksono, autopilot memang cuma istilah elit politik saja. Tak pernah tercatat dalam ranah keilmuwan atau konsep tata negara dimanapun. Kemunculannya sendiri —meski cuma isue— masih menimbulkan pro kontra disana-sini baik kalangan pakar, tokoh dan terutama pihak pemerintah tatkala republik ini hendak disamakan dengan (autopilot) negara tanpa pemerintah.

Merujuk judul catatan ini, sekeras apapun statement bila koridornya kritik adalah demi perbaikan ke depan. Terlepas dianggap offbown critic (bersifat membangun) atau offdown critic (menjatuhkan) maka tergantung “tensi” politik kala itu. Akan tetapi tatkala negeri autopilot ditabur sebagai propaganda politik niscaya bakal ada agenda lanjutan. Hal ini yang perlu dilacak kemana ia melangkah. Esensi propaganda adalah “penyesatan”, memprovokasi khalayak agar tidak percaya terhadap rezim penguasa dan lainnya. Ujungnya ganti rezim. Contoh riil adalah “Musim Semi Arab”. Singkatnya, melalui isu bermuatan “adu domba” bertajuk korupsi dan kemiskinan yang ditabur oleh Wikileaks, rakyat pun bergolak atas nama revolusi. Dan Ben Ali di Tunisia, Abdullah di Yaman dan Mobarak di Mesir pun lengser dari kursi kekuasaan.

Ya. Politik memang banyak taktik. Dan pakar politik itu ibarat makelar kambing di hari raya korban. Tawar menawar seperti penjual dan pembeli mana lagi kambing yang bisa “dijual”, “disembelih” dan seterusnya. Ini hanya filsosofi kekuasaan yang dibungkus sastra. Bila negeri ini dikuasai oleh para politikus (bukan negarawan) maka fenomena jual beli kambing bakal terus berlangsung di negeri ini. Langkah sang pakar berbelit seperti simpul tali melingkar-lingkar, namun berujung bundel. Tak ada jalan. The way things are done around here. Geliatnya tak akan jauh dari kekuasaan, kekuasaan dan kekuasaan sebagai tujuan.

Sebagaimana tadi diungkap, setiap propaganda niscaya ada kelanjutan agenda. Persoalan apakah nanti sukses atau bahkan gagal, itu tergantung situasi dan terutama momentumnya. Sebagai contoh taburan propaganda kemiskinan dan korupsi di Libya guna memicu gerakan massa, boleh dikatakan gagal total sebab Libya ialah negeri sangat makmur. Lalu Barat pun mengubah methode propaganda melalui pemberontakan bersenjata (perang sipil). Juga di Syria polanya hampir persis, hanya Libya ada resolusi PBB nomor 1973 yang diperpanjang hingga Maret 2012, sedang Suriah belum ada resolusi sebab selalu kesandung veto Cina dan Rusia. Namun riilnya kini, di kedua negara tersebut terus berkecamuk pergolakan seru menginginkan ganti rezim.

Selanjutnya, menyinggung “bocoran” Wikileaks tentang Kabinet Jilid II Pemerintahan SBY yang dianggap pro AS, maka kegelisahan Hendrajit, Direktur Eksekutif GFI, Jakarta sangat beralasan, karena terkait dengan prediksi persaingan kepemimpinan nasional tahun 2014.  Yang mutlak dicermati, ini bocoran sungguhan atau jangan-jangan hanya dis-informasi yang sengaja disebarluaskan dengan menerapkan model bocoran ala Dokumen Gilchrist (DG) 1964-1965 zaman Orde Lama doeloe.

Sekilas inti DG adalah: Andrew Gilchrist melapor ke atasannya di Kemlu Inggris, mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Saya kutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian: rencana ini cukup dilakukan bersama ‘our local army friends‘.

Isyarat Hendarajit, penulis buku Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman di Pelbagai Belahan Dunia, dan buku Japanese Militarism And Its War Crimes in Asia Pacific Region, bahwa DG sejatinya merupakan dis-informasi yang sengaja disebar-luaskan dengan tujuan mengkristalkan polarisasi antara kelompok pro Amerika versus pro Komunis. Kemudian berhasil memprovokasi PKI untuk bergerak mendahului Angkatan Darat. Sehingga akhirnya terjebak dalam perangkap CIA, yang tujuan sebenarnya justru menggulingkan Presiden Sukarno (Baca:  Bocoran Wikileaks Tentang Anatomi Pemerintahan SBY, Penyesatan Informasi ala Dokumen Gilchrist? Di web GFI, www.theglobal-review.com).

Merujuk asumsi Hendrajit, maka bocoran Julian Assange, operator Wikileaksjelas-jelas merupakan propaganda. Maknanya, selain tersirat “ruh” pecah belah atau adu domba di suatu negeri yang ditarget, disinyalir bakal ada episode lanjutan dan agenda-agenda lain meraih tujuannya. Pertanyaan nakal, apakah isue negara autopilot bagian kelanjutan dari “agenda khusus” yang kini tengah digarap oleh Assange di Indonesia? Yang jelas. Wikileaks cuma wayang penabur provokasi di sebuah pagelaran, masih ada dalang di atasnya dan pemilik hajatan di balik layar.

Tercetus kritik membangun dalam sebuah syair:

Dewan Pemeras Rakyat sudah mencuat

Di permukaan banyak contoh dan faktual

Bagaikan amuba menggerogoti di daerah-daerah

(Ger = Gerogoti, In = Di, Da = Daerah)

Hati Nurani Rakyat (Ha-Nu-Ra)

Perikemanusiaan yang adil dan beradab

Hampir tak tampak, gemercik api (Nar-Quba)

Bunga-bunga api semakin jelas

Aliran gelombang semakin tinggi

Perlawanan rakyat (Wan-ra)

Hiruk-pikuk dan gempita disana-sini

Demokrasi Liberal gagal total

Hembusan angin reformasi tak ada lagi

Out pilot, out pilot! (Negara Tak Terkendali)

Bunga Sedap Malam berbisik, jangan begitu kawan!

“Masih banyak orang baik di negeri ini!”

Lalu, Kembang Sore pun berseloroh:

“Persembahkan yang terbaik buat negara dan bangsa!” 

Ya. Tulisan tidak ilmiah ini bukanlah sebuah kebenaran, apalagi bermaksud “pembenaran”. Tak ada niat untuk itu. Namun sebagai leverage (daya ungkit) menuju dialog serta diskusi dalam forum lebih luas lagi. Silahkan dicermati, dan semoga segenap anak bangsa ini waspada!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com