“Ngaji (Geopolitik) Kasih Sayang”

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Kumpulan huruf disebut kata, disana ada ”arti”. Rangkaian kata dinamakan kalimat, disitu tersimpan ”maksud”. Kemudian, untaian (beberapa) kalimat diistilahkan bab atau paragraf, dan lainnya. Nah, dari sini (bab/paragraf) akan tersirat ”makna”. Entah soal apa, tergantung persepsi, nilai dan perspektif orang yang memandang. Itulah gambaran sekilas tentang arti, maksud dan makna. Maka entah sebuah syair, atau ujaran, local wisdom, pepatah, anekdot, dan lain-lain, manakala ia ditelaah dari sudut pandang berbeda niscaya diperoleh pula ‘pemahaman’ yang tak sama.

Contohnya jihad. Jihad itu kata berasal dari bahasa Arab, artinya “semangat”. Tidak lebih. Tetapi tatkala diimplementasikan pada kehidupan anak remaja misalnya, boleh di- “maksud”- kan sebagai anak yang tengah giat (semangat) belajar agar menjadi pandai, ia telah berjihad. Atau seorang bapak/ibu yang keras bekerja guna menyekolahkan anak-anaknya supaya menjadi manusia berguna di keesokan hari, mereka juga sudah berjihad. Berjihad di jalan Tuhannya. Pertanyaan menggelitik: bagaimana dengan bom sana-bom sisi, atau aksi bunuh diri selama ini? Atau tindak pengerusakan lainnya kok atas nama jihad? Dalam kajian (geopolitik) kasih sayang, itulah pendangkalan makna jihad —kalau tak boleh disebut penyimpangan atau penyesatan makna— daripada kata jihad itu sendiri.

Lalu, apa maksud ‘geopolitik’ dalam kalimat ‘kasih sayang’ sesuai judul artikel nyemprul ini —meminjam istilah M Djoko Yuwono— kalau tidak ketularan? Geopolitik dalam hal ini tidak diartikan ataupun dimaksudkan sebagaimana teori-teori dasar geopolitik yang dicetuskan para pakar seperti Prof Friedrich Ratzel (1844-1904), German, Prof Rudolf Kjellen (1864-1922), Swedish, atau Sir Halford Mackinder (1861-1946), dan lain-lain. Kita simpan dulu teori tersebut di bawah bantal. Geopolitik dalam tulisan ini silahkan dimaknai sebagai ke-uniq-an, kelebihan, atau bisa juga keunggulan makna “sesuatu” —sekali lagi, makna! — bukan maksud, tidak pula arti daripada ‘kasih sayang’ itu sendiri. Inilah yang hendak dikaji. Dapat dipahami?

Kasih sayang dalam Tauhid dikenal dengan ucapan: “bismillahirrohmaaniirrohiim”. Terjemahannya ialah: ”Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Akan tetapi perlu dicamkan, bahwa terjemahan itu cuma ARTI belaka. Ternyata ada tafsir lain tersimpan selain “arti” di atas tadi. Dengan kata lain, masih terdapat bahasan lain (Tauhid) yang lebih mengejar MAKSUD dari setiap kata, atau kalimat, bahkan hingga ke bab-bab daripada hanya mengurai sisi arti saja. Inilah uraiannya.

Mengawali semprulan ini, kok jadi teringat slogan dunia sales yang sering menggunakan idiom: “Tak Kenal Maka Tak Sayang”. Itulah sekelumit tafsir, dan sudah tentu ia akan berbeda dengan arti, maksud dan makna. Silahkan direnungkan sejenak, jangan lama-lama karena hanya prolog sepintas.

Mengurai maksud dan makna kasih sayang, sesungguhnya sederhana sekali — jika diurai berdasar tafsir, boleh diambil contoh dari situasi mungkin, atau siklus alam, peristiwa dan lainnya. Misalnya ada siang – ada malam, ada lelaki – ada perempuan, ada sedih – gembira dan seterusnya. Sudah tentu ada PENCIPTA dan yang DICIPTA — itulah pokok bahasan nanti. Menyimak keterangan di atas, boleh diambil kesimpulan (sementara) tentang dua kelompok area atau kawasan. Pertama, Kawasan Tuhan, dan kedua, Kawasan Manusia.

Kawasan Tuhan ialah kawasan yang tak dapat dijamah oleh manusia, sedang kawasan kedua bisa dirambah. Maksudnya adalah, bahwa semua itu merupakan bukti kebesaran Dia, Yang Maha Perkasa! Sementara area kedua tentang Kawasan Manusia duduknya sebagai pemimpin di alam semesta ini — modalnya kasih sayang. Dengan kata lain, semua itu untuk membedakan antara pemimpin dan yang dipimpin sesuai kadar dan kemampuan masing-masing. Kemampuan Maha Besar (Akbar) milik Allah, Tuhan kita semua. Kemampuan kedua paling besar ialah kemampuan kasih sayang manusia.

Selanjutnya — kendati hewan pun memiliki kasih sayang, tetapi tidak sama seperti yang diberikan Tuhan kepada manusia. Apa boleh buat, kasih sayang keduanya berbeda. Kasih sayang binatang adalah pengorbanan dirinya kepada Tuhannya dan kepada manusia.

“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus” (Huud: 56).

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Al Baqarah: 30).

Maka seorang pemimpin tanpa kasih sayang adalah OMONG KOSONG!  Itulah arti kasih sayang berdasarkan tafsir dan maksud – kiranya agar menjadi tentram jiwa ini.

Filsafat kasih sayang dalam kehidupan pujangga, tampak tertuang dalam sastranya: ”Menang tanpo Perang, Kalah tanpo Ngasorake, Nglurug tanpo Bolo, Sakti tanpo Aji”. Bapak dan ibu-ibu sekalian, begitu indah namun betapa bersahaja ucapan sang pujangga tadi: adakah ia diantara kita ini? Mudah-mudahan saja.

Dan tampaknya, unsur kasih sayang hampir punah dari habitatnya di segala lini kehidupan. Ya, ia tak terlihat jelas — ditengarai banyaknya muncul sifat dalam denyut dinamika, seperti  sopo siro – sopo ingsunadigang adigung adiguno. Menggejala rasa tak peduli terhadap lingkungan sekitar, hingga semakin menambah beban hidup serta kehidupan.

Pertanyaannya: kepada siapa lagi rakyat kecil hendak bernaung, berharap dan mengadu, tatkala “kasih sayang” hampir-hampir tak ada sama sekali. Maka mengucurlah air mata ibu pertiwi, sedang suara hati cuma boleh bergumam saja. Ibarat bunyi lebah kehilangan induk, atau bakal berpindah di jalan-jalan? Entahlah.

Ketika aroma aji mumpung menyengat di segala penjuru. Katanya sich lagi musim “kara-oke”! Alias keruk sana – keruk sini: OKE. Betapa negeri ini seperti tidak ber-Tuan, atau mungkin sudah tak ber-Tuhan. Itulah perlunya Ilmu Tauhid dalam Tata Negara. Semua terjadi karena setiap diri sadar bahwa penghormatan telah punah, hingga menyeruak kental rasa takut, lalu ketidakpastian muncul disana-sini.

Agaknya kasih sayang terhadap sesamanya kini berubah remang, tak jelas bahkan kabur. Akibatnya banyak orang bingung menghadapi masalah. Sedang ajaran leluhur di jauh hari telah mengingatkan anak bangsa ini melalui sastranya: lha ngopo ngurusi wong lali, wong lali kuwi bingung atine amergo nuruti bener karepe dewe sing bener nurut marang Pengerane (buat apa mengurusi orang yang lupa, orang lupa itu bingung hatinya karena menurut benarnya sendiri padahal yang benar menurut tata cara Tuhannya).

Penghormatan kepada pahlawan pun hampir punah. Bila dahulu sang pahlawan ditaburi bunga dibawakan bokor kencana, namun kini pepatah bergeser kepada siapa yang mampu menabur ‘bokong’ dan uang demi sebuah pencitraan. Silahkan teliti untaian syair-syair ini. Semoga dipahami. Dan ingat, hidup ini seperti itu saja, tidak ada yang bergeser, hanya berubah nama!

Andaikata para bapak dan ibu-ibu yang memimpin bangsa ini menerapkan kasih sayang kepada rakyatnya. Niscaya segala persoalan (hulu) berbangsa dan bernegara mudah terselesaikan. Ibarat bunyi ombak di lautan, betapa luas! Hulupis kuntul baris. Seiring dan seirama. Ibarat tsunami yang dapat mengangkat apa saja, apa yang ada. Begitulah tutur sang pujangga. Dan ia pun tersenyum sambil berbisik, di negeri ini, masih banyak yang memiliki jiwa seperti dimaksud.

“Semoga Badai Cepat Berlalu!”

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com