Rico, peneliti muda yang suka perdamaian
Hajatan pesta demokrasi lima tahunan untuk memilih anggota legislatif telah usai. Meski berjalan dengan relatif damai, pemilu kali ini senyatanya masih dinodai banyaknya pelanggaran, kecurangan, dan yang paling memprihatinkan adalah semakin maraknya praktik politik uang (money politic), pesta demokrasi untuk memilih presiden dan wakil presiden juga telah usai dan relatif sama dengan pemilu legislatif meski berjalan dengan damai namun tetap dinodai oleh banyaknya pelanggaran mulai dari black campaign hingga hasil quick count yang sangat membingungkan dan tidak mencerminkan pemilu yang bersih dan netral.
Khusus untuk praktik politik uang agaknya perlu mendapat catatan khusus. Percobaan rezim demokrasi liberal telah mengakibatkan praktik politik uang pada pemilu kali ini dilakukan dengan sangat masif dan sistematis (Thohari, 2014). Alhasil, kualitas pemilu kita tersandera oleh hegemoni kuasa uang. Padahal kualitas pemilu akan menentukan arah pembangunan nasional kita selama lima tahun mendatang.
Banyak yang tidak menyadari bahwa masa depan pembangunan kita sangat ditentukan oleh kualitas pemilu yang berjalan. Keberhasilan kebijakan pembangunan suatu negara akan sangat ditentukan oleh transisi politik didalam negeri. Transisi politik dalam negara demokratis adalah momen pemilu dan pemilu yang damai, berintegritas, serta bersih, akan membawa rezim politik yang mampu mengusung panji pembangunan yang berkesinambungan dan berkeadilan bagi masyarakat. Sebaliknya, pemilu yang kotor, curang, dan penuh dengan politik uang akan membawa rezim politik yang culas. Alih-alih memperjuangkan pembangunan yang berkesinambungan dan berkeadilan, rezim politik yang terbentuk dari pemilu yang kotor justru hanya akan sibuk mencari keuntungan pribadi dan golongannya.
Dalam sejarah bangsa, arah pembangunan ditentukan oleh “rezim politik” bentukan pemilu. Pada Pemilu 1955 misalkan, dalam nuansa politik aliran yang begitu kuat pemilu 1955 menghasilkan wakil-wakil rakyat yang sangat ideologis dan memiliki basis sosial yang kuat, pembangunan tampaknya tidak begitu banyak mendapat perhatian, dan semua energi bangsa saat itu terkonsentrasi pada perdebatan ideologis tentang dasar negara.
Lain rezim lain arah pembangunan. Sejak Soeharto berkuasa, pemilu rutin diselenggarakan sejak 1977. Semua orang tahu bahwa pemilu di zaman Soeharto adalah “sandiwara lima tahunan” yang sudah diketahui hasilnya. Pemilu dibawah rezim otoriter-represif ini menghasilkan parlemen yang berfungsi sebatas “tukang stempel” kebijakan pemerintah. Akibatnya pembangunan berjalan tidak terkendali dan pada akhirnya berujung pada krisis ekonomi-politik di tahun 1997-1998. Di era Reformasi, pemilu di tahun 1999, 2004, dan 2009 telah membentuk pemerintahan yang relatif stabil dalam menjalankan agenda pembangunan. Namun stabilitas ini menyisakan lubang besar akibat semakin dominannya kuasa uang dan pragmatisme dalam politik kenegaraan kita.
Menatap ke depan, bagaimana arah pembangunan kita pasca pemilu yang berjalan dengan damai, tetapi diwarnai oleh kecurangan, pelanggaran hingga maraknya politik uang? Jawabannya dengan segera akan kita ketahui lima tahun mendatang. Kita juga berkepentingan langsung dalam sistem demokrasi ini, oleh karena itu selain berpartisipasi aktif dalam pemilu, seluruh elemen bangsa ini harus terus ikut mengawasi hasil pemungutan suara hingga saat pengumuman hasil penghitungan suara yang memang sangat rentan untuk terjadinya banyak kecurangan selain rentang waktunya yang cukup lama dari 9 – 22 Juli 2014, juga masih banyak anggota KPU yang tergoda untuk dimanfaatkan sebagai agen-agen untuk meningkatkan rasio kemenangan salah satu calon. Kemudian siapapun presiden dan wakil presiden yang terpilih nantinya seluruh elemen bangsa ini juga harus terus mengawasi proses jalannya pemerintahan. Karena pastinya, pembangunan yang berkeadilan tidak akan tercipta dari tangan-tangan mereka yang berbuat curang, melanggar aturan, dan “membeli suara” demi meraih kekuasaan.