Sekarang marilah kita menyorot salah satu isu internasional yang tak kalah strategis, yaitu senjata kimia. Berarti, kita mengulas tentang peran dan kiprah Organization for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW), perangkat administrasi untuk mengimplementasikan penanganan Konvensi Senjata Kimia (KSK). Yang mana dalam Konvensi Senjata Kimia atau Chemical Weapons Convention tersebut, diatur mengenai pelarangan, penimbunan dan penggunaan senjata kimia. Adapun KSK itu sendiri mulai berlaku pada 29 April 1997.
Saat ini, ada 193 negara yang sudah menandatangani KSK. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi KSK pada tanggal 30 September 1998 melalui Undang-undang No. 6/1998 dan secara resmi termasuk penandatangan sejak 12 Desember 1998 setelah instrumen ratifikasi KSK diserahkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa- Bangsa pada tanggal 12 November 1998.
Baca: Perlucutan Senjata dan Non-proliferasi Senjata Pemusnah Massal
Pemerintah Indonesia menganggap KSK sebagai contoh multilaterally-agreed framework dalam perlucutan senjata pemusnah massal dan merupakan model rezim export-import control yang baik yang disetujui secara multilateral. KSK memiliki 4 pilar penting yang perlu selalu berada dalam titik keseimbangan yaitu: penghancuran senjata kimia yang masih ada sesuai dengan timeline yang ditentukan; upaya-upaya OPCW dan negara pihak untuk selalu meningkatkan nonproliferasi senjata kimia diantaranya melalui mekanisme verifikasi; Assistance and Protection; dan adanya jaminan kerjasama dan bantuan internasional (ICA-International Cooperation and Assistance).
Indonesia juga senantiasa mendorong pembentukan protokol verification mechanism yang berimbang di bawah Konvensi ini. Mekanisme verifikasi bagi kepatuhan negara-negara pihak dalam melaksanakan kewajiban di KSB adalah suatu hal yang dibutuhkan dan seharusnya ada pada konvensi perlucutan senjata lainnya, seperti NPT dan KSK.
Rumusan pemerintah Indonesia sudah cukup bagus. Namun bagaimana implementasi hal tersebut ketika OPCW sebagai organ indpenden yang berada di luar naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut, menjadi arena perebutan pengaruh antar negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat versus Cina atau antara AS versus Rusia?
Bagi Indonesia yang menganut azas Politik Luar Negeri Bebas-Aktif, perlu menyikapi isu sensitif tersebut secara hati-hati, agar tidak larut dalam perebutan pengaruh antar-negara adikuasa melalui forum OPCW.
Indonesia, terpilih sebagai anggota Dewan Eksekutif (Executive Council OPCW untuk periode 2018-2020 bersama-sama Irak, Iran, dan Pakistan. Dengan begitu posisi Indonesia di OPCW cukup strategis, mengingat fakta bahwa terpilihnya Indonesia merupakan hasil rekomendasi keputusan yang telah disepakati di tingkat Grup Asia. Yang berarti juga, keberadaan Indonesia di Dewan Eksekutif OPCW juga tidak lepas dari soliditas dukungan negara ASEAN yang saat ini dinilai sebagai salah satu kekuatan koalisi informal sub-kawasan dalam kelompok Asia.
Baca: Mengenal Apa Itu Chloropicrin, Senjata Kimia yang AS Tuduh Rusia Pakai di Ukraina
Beberapa media Barat seperti BBC London melansir berita beberapa waktu lalu bahwa AS menuduh Rusia menggunakan senjata kimia chloropicrin sebagai “metode berperang” di Ukraina, dan melanggar hukum-hukum internasional yang melarang tindakan ini.
Baca:
AS menyebut tindakan itu bukanlah insiden yang tidak disengaja. Penggunaan senjata kimia yang dituduhkan kepada pasukan Rusia melanggar Konvesi Senjata Kimia (CWC) yang juga diratifikasi oleh Moskwa.
Pihak Rusia membantah tuduhan AS dengan menyebutnya tidak berdasar. Juru bicara Pemerintah Rusia, Dmitry Peskov, mengatakan kepada sejumlah jurnalis di Moskwa bahwa Rusia mematuhi CWC, yang membatasi negara-negara untuk mengembangkan atau memperoleh senjata baru.
Sampai sejauh ini, OPCW masih bersikap netral dan menyikapi tuduhan AS tersebut secara hati-hati. Dalam keterangan persnya pada Mei 2024 lalu, OPCW mengatakan, informasi yang mereka terima tentang dugaan penggunaan senjata kimia oleh Rusia di Ukraina tidak cukup bukti. OPCW juga menyatakan, belum menerima permintaan resmi untuk menyelidiki klaim tersebut setelah AS menuduh Rusia menggunakan bahan beracun chloropicrin terhadap pasukan Ukraina.
Baca: Rusia dituduh gunakan senjata kimia chloropicrin dalam perang di Ukraina – Apa itu dan bagaimana dampak penggunaannya?
Rupanya tuduhan AS terhadap Rusia terkait penggunaan senjata kimia yang disampaikan kepada pers pada Mei 2024, kemudian digulirkan AS dalam sesi pertemuan ke-106 di Qatar pada Juli 2024. Sehingga dalam pertemuan tersebut tampak jelas tujuan AS untuk menyerukan negara-negara anggota OPCW melarang hak dan privileges penggunaan senjata kimia oleh Rusia menyusul tuduhan AS bahwa Rusia telah menggunakan senjata-senjata kimia dalam konflik bersenjata Rusia-Ukraina yang masih berlangsung hingga kini.
Mengingat adanya permintaan Ukraina agar negara-negara Barat menciptakan kondisi yang diperlukan untuk mengirim misi khusus sebagai bantuan teknis investigasi ihwal penggunaan senjata kimia oleh Rusia, nampaknya mengindikasikan adanya konspirasi negara-negara Barat yang dimotori AS untuk merugikan reputasi Rusia. Mengingat fakta bahwa Ukraina merupakan negara yang bermusuhan dengan Rusia, dan terbukti pula bahwa sejak 2014 Ukraina merupakan perpanjangan tangan kebijakan luar negeri AS di Eropa Timur.
Apalagi terungkap adanya perundingan rahasia antara Direktur Jenderal OCPW Fernando Arias di Belanda pada 25 April. Bahwa AS dan sekutu-sekutunya dari Eropa Barat sepakat untuk menerapkan skenario operasi terhadap Rusia seperti mereka lancarkan terhadap pemerintahan Presiden Bashar al-Assad pada 2011 lalu.
Dalam perspektif politik luar negeri RI terkait kiprah OCPW yang sejak konferensi di Qatar tersebut terindikasi telah berpihak kepada AS dan blok Barat, Indonesia harus kembali berpedoman pada konsepsi awal yang dirumuskan pada awal tulisan ini. Bahwa KSK memiliki 4 pilar penting yang perlu selalu berada dalam titik keseimbangan yaitu: penghancuran senjata kimia yang masih ada sesuai dengan timeline yang ditentukan; upaya-upaya OPCW dan negara pihak untuk selalu meningkatkan nonproliferasi senjata kimia diantaranya melalui mekanisme verifikasi; Assistance and Protection; dan adanya jaminan kerjasama dan bantuan internasional (ICA-International Cooperation and Assistance).
Nah terkait poin terakhir tersebut, strategi keseimbangan atau balancing strategy harus tercipta secara nyata dan actual di dalam forum OPCW. Sebab dengan mencermati hasil konferensi OPCW di Qatar Juli 2024 lalu, tampak jelas bahwa negara-negara Barat yang dimotori AS bermaksud menerapkan modus operasi serupa bukan hanya terhadap Rusia atau Cina yang memang dipandang oleh AS sebagai musuh utama, melainkan juga terhadap negara-negara berkembang seperti Irak dan Pakistan.
Indonesia sebagai negara yang menganut azas politik luar negeri Bebas-Aktif dalam pengertian pro aktif dalam gerakan, dan konstruktif dalam Menyusun kebijakan, perlu memandang pertarungan Rusia versus Ukraina yang didukung AS dan blok Barat, melalui gambaran yang lebih strategis. Bahwa jika skenario operasi Barat berhasil memaksa OPCW mengeluarkan sanksi terhadap Rusia terkait tuduhan penggunaan senjata kimia, pada perkembangannya juga bisa berdampak dalam hubungan bilateral negara-negara berkembang, termasuk Indonsia, dengan Rusia yang saat ini dipandang sebagai kutub alternatif untuk mengimbangi hegemoni global AS di Asia, Afrika, Timur-Tengah, dan Amerika Latin.
Melalui jalinan hubungan dan kerja sama bilateral di pelbagai Kawasan tersebut, Rusia seperti juga Cina, merupakan kutub alternatif bagi negara-negara berkembang dalam menjalin kerja sama di bidang farmasi, petrokimia, teknologi kemiliteran dan sebagainya. Jika skenario operasi AS dan Barat tersebut berhasil memaksa OPCW mengenakan sanksi kepada Rusia, maka pada perkembangannya akan membahayakan kerja sama negara-negara berkembang dengan Rusia di bidang-bidang tersebut.
Dengan begitu, strategi perimbangan mutlak perlu di dalam organ OPCW. Berarti solusi jangka pendek untuk memulihkan kembali keseimbangan di organ OPCW, adalah mendukung pencalonan Rusia untuk duduk dalam Dewan Eksekutif OPCW.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)