Oleh karena, sangatlah menarik mencermati perilaku geopolitik kaum adidaya di Jalur Sutera. Dan inilah kiranya yang sedang berproses. Amerika terus berupaya menancapkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah. Seperti yang dilansir situs koran ad-Diyar Lebanon, Ahad (10/1/2016) melaporkan, AS dan Perancis telah memberitahu pemerintah Aljazair bahwa operasi militer dengan melibatkan negara-negara Barat akan dilakukan di Libya untuk memerangi kelompok ISIS.
Washington dan Paris juga sudah meminta Aljir untuk melakukan kerjasama intelijen sehingga jumlah korban sipil dapat dikurangi.
Setelah serangan teror di Paris pada November 2015, Presiden AS dan Perancis menugaskan dinas-dinas intelijen mereka untuk mengumpulkan informasi tentang aktivitas ISIS di Libya sebagai persiapan serangan.
Keputusan untuk melakukan serangan militer di Libya dibuat selama pertemuan Barack Obama dan Francois Hollande.
Sementara itu, para pengamat politik di Libya mengatakan bahwa intervensi militer Barat di negara itu akan memperburuk krisis Libya dan operasi lebih lanjut akan menghancurkan negara tersebut.
M. Arief Pranoto menyatakan bahwa isue ISIS kelak —seperti isue-isue sebelumnya— akan dijadikan alat dan pintu masuk ke negara target. Target siapa? Target dari koalisi militer pimpinan Amerika (AS). ISIS hanyalah false flag operation, sebagaimana dulu Paman Sam membidani serta memelihara al Qaeda dan Taliban, kemudian setelah besar dijadikan “tumbal hegemoni”-nya, justru diperangi sendiri oleh AS dan sekutunya dengan berbagai dalih.
Bahwa kawasan sebagai keadaan atau kondisi statis merupakan kepingan puzzle agar kajian tidak meluas kemana-mana, selain perilaku geopolitik (para adidaya) kerapkali memetakan (mapping) kawasan sebagai obyek atau sasaran kolonialisme. Dan kawasan itu sendiri, dalam perspektif hegemoni adidaya juga sering ditempatkan sebagai pijakan bagi geostrategi dalam rangka menguasai kawasan-kawasan lain (geoekonomi). Inilah kemasan kolonialisme di muka bumi. (indonesian.irib.ir/TGR)
Facebook Comments