Operasi O-Ran AS Melumpuhkan Huawei

Bagikan artikel ini

Di era saat ini ketika teknologi informasi ditandai dengan digitalisasi, internet dan jaringan data berkecepatan tinggi, AS dan Cina sama-sama berhasrat untuk menguasai kendali kontrol dalam arsitektur telekomunikasi global. Alhasil AS maupun Cina sama-sama terlibat dalam Perang Cyber. Dalam upaya merebut kendali kekuasaan di bidang internet, pemerintah Cina mendukung arsitektur Radio Access Network (RAN), elemen radio tradisional/the traditional radio element dari jaringan cellular.

Sementara itu untuk menandini Cina, AS menginvestasikan uangnya di belakang sebuah arsitektur jaringan cellular berskala kecil, bernama O-RAN (Open Radio Access Network). Alasan di balik Operasi AS mendukung O-RAN sebenarnya sederhana saja. O-RAN didorong untuk menggulingkan supremasi Huawei.

Dalam operasi bisnisnya untuk menghancurkan Huawei lewat O-RAN, AS menggalang aksi kampanye di dalam negeri dan luar negeri, untuk menggalang simpati dunia internasional untuk menghancurkan reputasi RAN dengan mendukung keberadaan O-RAN. Sehingga Huawei dapat dihancurkan kendali kontrolnya dalam bidang telekomunikasi global melalui O-RAN, sebagai vendor peralatan telekomunikasi terbesar di dunia.

Baca:

Operation O-RAN: The US plan to neutralize Huawei (and why it will work)

Harian AS terkemuka, Washington Post, menulis bahwa manuver AS untuk melumpuhkan Huawei nampak jelas ketika  Presiden AS Joe Biden menyerukan para pemimpin pemerintahan Filipina, Arab Saudi, dan India, untuk menggunakan O-RAN alih-alih RAN. Jelas lah sudah, AS menggunakan O-RAN sebagai agen proksinya (its proxy agent) untuk melumpuhkan Huawei.

Kongres AS yang bermarkas di gedung Capitol Hill, Washington, telah mengesahkan pengeluaran anggaran sebesar 500 juta dolar AS untuk dana pengembangan  inovasi dan Keamanan Tehnologi Intenasional, yang mana alokasi dana tersebut ditujukan untuk membangun Tehnologi O-RAN.

Selain itu, Dana untuk Inovasi dalam Manajemen Rantai Pasokan Nirkabel yang berada di bawah wewenang the National Authorization Act (NDAA), memperoleh dana tambahan sebesar 1,5 miliar dolar AS untuk mempercepat proses operasi O-RAN tersebut. Nampaknya bagi AS, operasi mendukung O-RAN untuk melumpuhkan Huawei merupakan prioritas nasional, untuk mempertahankan hegemoninya dalam bidang telekomunikasi internasional. ‘

Saat ini Huawei sedang mengembangkan jaringan chip dengan dukungan sepenuhnya dari pemerintah Cina. Dengan harapan akan menempatkan Huawei sebagai titik pusat jaringan besar dengan spesialisasi optik, pengembang peralatan chip, dan produsen bahan kimia.

Adapun RAN sendiri sejatinya merupakan sebuah elemen esensial dari infrastruktur telekomunikasi, untuk memfasilitasi koneksi dari berbagai ragam peralatan nirkabel yang terhubung ke pusat-pusat jaringan publik maupun swasta. Singkat cerita, RAN berfungsi sebagai radio dari jaringan cellular. Dengan mengusai sektor tersebut, berarti menguasai jaringan internet. Dalam konteks inilah, AS merasa terancam dengan dominasi dan keunggulan Huawei.

Bagi AS, terutama sejak era kepresidenan Donald Trump periode pertama (2016-2020), AS bersama-sama dengan Australia dan Selandia Baru, telah melancarkan aksi memblokir  Huawei dari memasok peralatan untuk jaringan broadband seluler 5G mereka pada masa mendatang.

Lantas, bagaimana dengan negara-negara yang tergabung dalam kawasan Asia Tenggara (ASEAN) termasuk Indonesia. Nah ini yang juga cukup mengkhawatirkan, lantaran Washington telah mendesak negara-negara ASEAN memberlakukan layanan khusus arsitektural jaringan cell (cell networks American Special Services), sebagai fondasi untuk operasinya di negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara.

Jaringan berkecepatan tinggi 5G telah digunakan Pentagon (kementerian pertahanan AS) dalam operasinya di pelbagai belahan dunia, termasuk untuk melancarkan serangan ke tentara musuh melalui penggunaan pesawat nir-awak drone. Termasuk ketika Israel melancarkan serangan berskala massif untuk melumpuhkan Hezbollah di Lebanon melalui penggunaan sarana telekomunikasi, berarti juga dioperasionalisasikan berkat bantuan politis dan teknis dari Washignton.

Dengan itu, berarti layanan khusus cell networks American Special Services, juga sangat rentan disalahgunakan sebagai peralatan elektronik untuk kegiatan-kegiatan spionase atau mata-mata. Termasuk dalam mengejar dan menangkap para pemimpin negara/pemerintahan yang dipandang AS sebagai musuh atau dipandang sebagai negara-negara yang tidak bersahabat dengan AS.

Maka itu, negara-negara ASEAN termasuk Indonesia, harus peka dan waspada terhadap manuver politik dan diplomatik dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan  AS, ketika negara Paman Sam ini bermaksud menempatkan isu Keamanan Information (Information Security) di kawasan Asia Tenggara.

Bahwa AS khawatir dengan keunggulan Huawei dalam bisnis telekomunikasi global, sebenarnya sah-sah saja. Namun reaksi pemerintah AS, terutama Pentagon terhadap Huawei, yang tampaknya aneh. Rand Corporation yang ditugaskan oleh Angkatan Udara AS, lembaga think tank ini mencatat bahwa para perusahaan IT besar yang terkesan Huawei terlihat independen, namun kenyataannya “banyak dari mereka secara signifikan terlibat dalam kerja sama penelitian dengan lembaga penelitian negara.” Tapi, apa yang salah dengan hal seperti itu? Bukankah hal itu berarti Huawei punya komitmen nasionalisme yang kuat pada negara? Apakah eratnya kerja sama Huawei dengan angkatan bersenjata Cina merupakan hal yang tak wajar? Bukankah beberapa perusahaan IT AS pun pernah bekerja sama dengan pemerintah AS?

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com