Dina Y. Sulaeman-Pengamat Internasional Universitas Padjajaran
Katarina Soemarwoto, penulis Indonesia yang bermukim di Leiden, menulis di Jakarta Post tentang sebuah seminar di Utrecht, Belanda. Dalam seminar yang berlangsung 15 November 2009 itu, kemerdekaan Indonesia dianalisis dari perspektif Belanda. Para pemikir Belanda yang hadir dalam acara itu menyajikan image bahwa keinginan rakyat Hindia Timur untuk merdeka muncul secara jelas setelah kehadiran Jepang dan ‘penjajahan’ oleh Barat (dalam hal ini, tentara Sekutu yang menduduki Indonesia setelah Jepang kalah). Para pemikir Belanda itu bahkan menilai bahwa kolonialisasi bermanfaat bagi populasi Indonesia, contohnya adanya pembangunan jalan-jalan dan perdagangan VOC dengan Hindia Timur.
Ken’ichi dalam makalahnya juga menulis tentang pandangan orang Belanda bahwa mereka melakukan kebijakan kolonial pencerahan (enlightened colonial policy) di Hindia Timur. Van Deventer, sebagaimana dikutip Ken’ichi, adalah salah seorang proponent pandangan ini, mengatakan, “How beautiful is the goal which we have set ourselves to achieve! Thanks to the efforts of the Netherlands, a society is to be built in this far distant land in the East that will give him prosperity and a high culture and that he will acknowledge with gratitude. . .”
Hal inilah yang diungkapkan oleh Edward Said, “adanya ‘keyakinan’ bahwa ada wilayah dan orang-orang tertentu yang membutuhkan dan memohon untuk didominasi.” Saat menyoroti penjajahan Zionis di Palestina, Said mengatakan bahwa Zionisme secara efektif mengadopsi konsep rasial dari budaya Eropa. Kaum Yahudi mengalami perlakukan ‘anti Semit’ di Eropa, lalu Zionisme menginternalisasi representasi perlakuan itu dan menerapkannya di Palestina, dengan menganggap bahwa bangsa Palestina terbelakang dan karenanya ‘memerlukan’ dominasi. Dengan kata lain, dalam pandangan Barat, suatu bangsa dijajah karena bangsa itu ‘butuh’ untuk dijajah.
Fanon juga menyoroti ide bahwa ‘kaum terjajah memang membutuhkan penjajah’, dengan mengutip tulisan Mannoni, “Tidak semua bangsa bisa dijajah, hanya mereka yang memiliki ketergantungan [yang bisa dijajah]. Dimana saja orang Eropa menemukan koloni dengan tipe seperti itu, dapat dikatakan bahwa kedatangan mereka secara tidak sadar diharapkan dan bahkan diimpikan.” Menurut Fanon, ide seperti itu seolah menunjukkan bahwa kaum kulit putih menderita ‘sindrom kekuasaan’ (authority complex) sementara orang-orang terjajah menderita ‘sindrom ketergantungan.’
Agresi Belanda I dan II
Tesis dari Fanon dan Said ini tampak jelas pada perilaku Belanda periode 1945-1950. Periode itu didahului dengan penyerahan mutlak Belanda kepada Jepang. Pada 9 Maret 1942, tentara Jepang menyerbu Indonesia (dan juga negara-negara Asia Tenggara lain). Hanya dalam pertempuran tujuh hari, tentara kolonial Belanda tak mampu lagi menahan serangan Jepang, sehingga secara resmi menandatangani dokumen “menyerah tanpa syarat” kepada Jepang. Dengan demikian Belanda kehilangan haknya atas Hindia-Belanda. Jepang kemudian juga menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945. Dokumen penyerahan Jepang baru ditandatangani pada 2 September 1945, sehingga antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat vacuum of power di seluruh wilayah pendudukan Jepang, termasuk di bekas jajahan Belanda. Di masa tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 memproklamasikan kemerdekaannya dan pada 18 Agustus membentuk pemerintahan, dengan pengangkatan Sukarno sebagai Presiden dan M Hatta sebagai Wakil Presiden. Bila merujuk Konvensi Montevideo (26 Desember 1933), seluruh syarat pembentukan negara telah terpenuhi, yaitu adanya wilayah, penduduk permanen, dan pemerintahan.
Belanda menolak mengakui kemerdekaan Indonesia dan berusaha menciptakan opini bahwa Indonesia adalah kaum terjajah yang ‘memberontak’ dari penjajahnya. Belanda merasa masih berhak atas Indonesia dan bila meminjam analisis poskolonialisme: Belanda menganggap Indonesia masih ‘butuh’ untuk dijajah. Melalui bantuan tentara Sekutu, Belanda kembali mengirimkan pasukannya ke Indonesia. Setelah terjadi peperangan antara tentara Indonesia versus Sekutu-Belanda, akhirnya Belanda dan Indonesia (dimediasi oleh Inggris) sepakat menandatangani Perjanjian Linggarjati 1947. Perjanjian itu pada dasarnya merupakan upaya Belanda untuk mendirikan negara-negara boneka di Indonesia.
Police Actions vs Agresi
Pada bulan Juli 1947, Belanda melancarkan agresi I. Namun agresi itu mereka istilahkan dengan “Police Action”, sehingga mereka mengklaim bahwa yang terjadi bukanlah perang, melainkan upaya meredam konflik internal di sebuah negara jajahan. Menurut laporan majalah TIME, pada saat itu Gubernur Jenderal Belanda, Van Mok mengatakan, “Karena adanya pelanggaran kontinyu terhadap perjanjian, pemerintah Netherland tidak bisa lagi terikat pad perjanjian apapun dan mengambil kebebasan bertindak.” Masih menurut TIME, Belanda melakukan ‘police actions’ itu sebagai ‘langkah yang perlu dilakukan untuk melawan teroris.’
Keat Gin Ooi (2004) menulis, Belanda menganggap bahwa Police Action I (agresi Belanda I) perlu dilakukan untuk mewujudkan kondisi yang diperlukan dalam mengimplementasikan perjanjian Linggarjati 1947, sedangkan Police Action II dilancarkan untuk memaksa Indonesia melaksanakan isi Perjanjian Renville 1948.
Police Action I dilancarkan Juli 1947, di Jawa dan Sumatera, dengan tujuan (1)menghancurkan unit-unit bersenjata rakyat Indonesia, (2)mengambil kembali komoditi ekspor yang tersimpan di perumahan Belanda di wilayah yang dikuasai RI. Tujuan yang tercapai hanya tujuan kedua. Police Action II dilancarkan Desember 1948 dengan tujuan menguasai Yogya, ibukota RI. Bila Yogya jatuh, seluruh pimpinan RI akan ditangkap dan dibuang. Namun Indonesia segera memproklamasikan pemerintahan darurat di Sumatera; dan pejuang Indonesia terus melakukan perang gerilya. Dengan demikian, kedua Police Action itu gagal untuk membubarkan RI.
Setelah menimbulkan korban jiwa lebih dari 150.000 warga Indonesia, akhirnya PBB dan Amerika Serikat menekan Belanda agar mau berunding dengan Indonesia. Dalam Konferensi Meja Bundar di Belanda tanggal 27 Desember 1949, Ratu Belanda ‘melimpahkan kedaulatan’ kepada Indonesia.
Pada bulan Agustus 2005, untuk pertama kalinya Belanda menyatakan ‘menerima’ proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 2005, disampaikan oleh Menlu Belanda saat itu, Bernard Rudolf Bot. Dalam wawancara di Me¬troTV pada 19 Agustus 2005, atas pertanyaan reporter, mengapa dia menggunakan kata acceptance (penerimaan) dan bukan acknowledgement (pengakuan), Ben Bot menjawab:
“… First of all I want to stress that most important is that we accept the date of 17th August 1945 as the date which you pronounce your independence. But there is a difference of course, because then you enter into a legal aspect, and recognition is something you can only do once … …So the transfer of sovereignty took place in 1949…”
Dengan demikian, Pemerintah Belanda hanya “menerima” secara politis dan moral, dan tetap tidak mau mengakui de jure, kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Dan bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan Indonesia adalah “pemberian” Belanda yang dilimpahkan (transfer of sovereignity).
Sikap ‘penerimaan’ atau ‘pengakuan’ atas tanggal kemerdekaan Indonesia ini membawa implikasi yang luas. Seandainya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, artinya Police Action I dan II yang dilakukan Belanda tahun 1947-1948 adalah sebuah agresi terhadap negara yang merdeka dan berdaulat. Belanda harus memberikan ganti rugi atas segala kerusakan dan kerugian yang diderita Indonesia pada masa itu.
Ketidaksadaran Kaum Terjajah
Dalam wawancara dengan Metro TV, Bot juga ditanyai tentang kompensasi terhadap bangsa Indonesia. Bot menjawab bahwa selama ini Belanda sudah banyak memberikan bantuan kepada Indonesia dalam bentuk dana atau bentuk lainnya. Bot mengabaikan fakta bahwa ‘bantuan’ yang diberikan kepada Indonesia sebagian besar dalam bentuk hutang yang harus dibayar berikut bunganya. Bot juga tidak menghitung betapa besarnya keuntungan yang sudah diraup Belanda selama 350 tahun penjajahannya di Indonesia. Sebuah penelitian menyebutkan, selama periode ta-nam paksa (cul¬tuur stelsel) 1830 –1877 saja, Belanda meraup uang 15,4 miliar gulden (dengan kurs 1992). Bot juga melupakan bahwa Indonesia telah diperlakukan tidak adil saat ‘penyerahan kedaulatan’ 1949. Indonesia saat itu dibebani kewajiban untuk menanggung hutang Kerajaan Belanda, yaitu sebesar 4,5 miliar gulden –termasuk di dalamnya biaya yang dikeluarkan Pemerintah Belanda untuk kedua agresi militer, tahun 1947 dan 1948.
Namun, yang ‘lupa’ bukan cuma Belanda. Bangsa Indonesia pun dengan cepat melupakan kepahitan penjajahan itu. Pemerintah Sukarno memang akhirnya secara sepihak menghentikan pembayaran hutang dan bahkan menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Namun Pemerintah Orde Baru pada 1969 diam-diam mengabulkan tuntutan ganti-rugi perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi di era Sukarno sebesar 600 juta gulden. Bahkan, hanya karena memberikan pernyataan ‘menerima’ proklamasi 17 Agustus 1945, mantan Menlu Benard Bot (serta dua warga Belanda lain) medali “Bintang Mahaputra Utama” pada bulan Oktober 2009 di Belanda, oleh Presiden SBY, diwakili Menlu Wirayuda.
Pemberian medali ini bila jadi dilakukan, akan menjadi sebuah ironi besar bagi bangsa Indonesia. Bagaimana mungkin pejabat dari sebuah negara penjajah (yang hingga kini belum melunasi hutang-hutangnya kepada Indonesia) justru diberi bintang Mahaputra Utama yang seharusnya diberikan kepada pahlawan nasional?
Kondisi ini, membuktikan tesis Fanon, “Penjajahan langsung bisa jadi telah lenyap, tetapi kolonialisme yang terselubung dalam bentuk opresi budaya, ekonomi, politik, dan pengetahuan masih terus hidup.” Fanon juga mengatakan bahwa kaum penjajah tidak puas hanya dengan mencengkeram sebuah bangsa di genggamannya dan mengosongkan otak bangsa itu. Dengan semacam logika yang menyesatkan, kaum penjajah membalikkan masa lalu bangsa terjajah, dan mendistorsi, menodai dan menghancurkannya.
Fanon dalam bukunya “Black Skin, White Mask” menganalisis bagaimana kolonialisme diinternalisasi bangsa terjajah (sehingga kemudian bangsa terjajah pun akhirnya punya mentalitas penjajah), bagaimana penjajah menanamkan inferioritas, dan melalui mekanisme rasisme, akhirnya orang terjajah justru ingin untuk menjadi mirip (menyamai) penjajah. Akibatnya, dalam pandangan Fanon, perjuangan meraih kemerdekaan dari penjajahan fisik sama besarnya dengan pejuangan pembebasan kaum terjajah dari ‘pelukan’ Eropa (penjajah) dan dari paradigma yang memandang peradaban Eropalah yang paling universal.
Inilah yang disebut oleh Romo Mangun ‘benar-benar kolonial’. Pada akhir tahun 1984, Romo Mangun berkata, ”Jangan kira bahwa mayoritas bangsa kita dulu sama-sama patriot seperti Bung Karno dan Bung Hatta.Pada masa itu, bangsa kita tidak kalah terhadap kaum penjajah perihal ini: benar-benar kolonial. Selera kita sudah bukan Jawa murni, Maluku murni, Batak murni, dan sebagainya, tetapi kita semua kaum Indo. Masyarakat Indo adalah masyarakat yang dalam penghayatan realita hidup dan kebudayaannya terbelah; lebih dari itu allienated.Setengah asing terhadap diri sendiri, apalagi terhadap situasi dan keadaan sekelilingnya.Demikianlah kita semua.”
Mental bangsa terjajah inilah kemudian yang terus tampak oleh para pemimpin Indonesia. Indonesia mau menandatangani perjanjian ‘menanggung hutang’ Kerajaan Belanda, mau membayar ganti rugi atas perusahaan Belanda yang dinasionalisasi (lupa bahwa perusahaan itu sudah mengeruk sangat banyak uang dari Indonesia), berbaik-baik dengan Belanda untuk mendapatkan hutang pembangunan (development aid), dan puncaknya, memberikan Bintang Mahaputra Utama kepada mantan penjajah.