Parlemen Eropa Mendukung NKRI

Bagikan artikel ini

Ananda Rasti, peneliti muda di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI), Jakarta

Upaya kelompok separatis Papua untuk memisahkan diri dari NKRI tidak pernah berhenti, berbagai aksi dilakukan di berbagai tempat di dalam maupun di luar negeri. Dalam setiap aksi unjuk rasa, kelompok separatis Papua selalu berusaha memutarbalikan fakta/situasi di lapangan dengan memberi konteks bahwa berbagai pihak di luar negeri mendukung kemerdekaan Papua dengan menonjolkan isu pelanggaran HAM. Salah satu lembaga internasional yang sering dimanfaatkan namanya  untuk mencapai harapan OPM adalah Parlemen Eropa (PE).

Dalam beberapa kesempatan OPM mencoba memberi konteks bahwa PE sebagai suatu kesatuan institusi, mendukug dialog yang mengarah pada referendum di Papua untuk menentukan nasib sendiri bangsa Papua. Padahal hampir semua pimpinan negara sahabat termasuk Partnership Comprehensive Agreement Indonesia – Uni Eroipa atau PCARI – UE, ketika  bertemu dengan kepala negara Indonesia,  selalu mengatakan bahwa negaranya mendukung sepenuhnya kesatuan NKRI termasuk Papua Barat di dalamnya. Tidak pernah ada seorang kepala negara asing yang nyata-nyata menyatakan mendukung perjuangan bangsa Papua Barat untuk memperoleh kemerdekaannya.

Pada 2 April 2014, Sir Graham Watson, MEP, salah seorang anggota Parlemen Eropa dari Kelompok politik Aliance for Liberals and Democrats for Europe (ALDE) dan Ana Gomes, MEP, menyatakan kepada Duta Besar RI untuk Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa bahwa mereka senantiasa mendukung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). UE senantiasa mendorong agar pemajuan dan perlindungan HAM serta masalah kesejahteraan di Papua Barat dapat diselesaikan melalui dialog diantara  para pemangku kepentingan  di Indonesia dalam kerangka NKRI.

Namun sejauh ini kelompok separatis selalu mencoba meminta pemerintah Indonesia untuk mengadakan dialog antara Jakarta dan Papua, dengan perbedaan yang sangat tajam antara versi mereka yang mengatasnamakan masyarakat Papua dengan versi Pemprov Papua dan pemerintah pusat. Kelompok separatis selalu menginginkan dialog untuk mengadakan refwrendum, sedangkan bagi pemerintah  dialog adalah demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dalam bingkai NKRI. Harapan Pemprov Papua termasuk DPRP dan pemerintah pusat jelas sejalan dengan pernyataan anggota Parlemen Eropa.

Uni Eropa sendiri menyadari bahwa wilayahnya mengalami ancaman gerakan separatis, mereka bahkan mengklarifikasi serangan separatis sebagai terorisme. Menurut EU Terrorism and Situation Report (TE-SAT) Europol tahun 2013 menunjukan peningkatan jumlah serangan teroris separatisme di negara-negara Uni Erropa yakni sebanyak 167 serangan separatis. Sejumlah 257 orang telah ditangkap pada tahun 2013 atau jauh meningkat dibandingkan tahun 2012 yaitu sebanyak 110 orang yang ditangkap.

Perlakuan Uni Eropa yang menyamakan status hukum serangan kelompok separatis di wilayahnya dengan serangan teroris, berbeda dengan sikap pemerintah Indonesia yang belum memasukan serangan bersenjata separatis seperti yang sering terjadi di Papua dan Papua Barat sebagai serangan terorisme. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah Indonesia masih sangat menghargai HAM, berbeda dengan tuduhan kelompok separatis bahwa pemerintah Indonesia selalu melakukan pelanggaran HAM. Pelaku penyerangan bersenjata di Papua selama ini diajukan ke pengadilan tanpa menggunakan undang-undang teroris, sehingga biasanya dihukum ringan.  Bahkan, tidak hanya itu saja mereka yang mau bergabung dengan NKRI disambut dengan terbuka, termasuk mendapatkan bantuan ekonomi untuk hidup secara layak.

Pemerintah Indonesia juga tidak pernah melarang media luar negeri,  memantau adanya pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan terhadap kelompok sipil bersenjata yang nyata-nyata telah menimbulkan kekacauan dan mengakibatkan korban jiwa baik terhadap aparat keamanan maupun  warga sipil yang tidak berdosa. Karena itu terasa aneh jika dalam aksi demo sekitar seratusan orang di luar Kedutaan Besar Indonesia di London, Inggris yang diselenggarakan TAPOL, Survival Internasional dan Amnesty Intersional Inggris, baru-baru ini meminta pemerintah Indonesia untuk memberikan akses kepada media asing  masuk ke Indonesia.

Dalam setiap unjuk rasa terkait masalah Papua dan Papua Barat, para demonstran meminta partai politik dan kandidat Presiden Indonesia untuk mendukung pemenuhan hak berdemokrasi di Papua. Menurut pengunjuk rasa, meskipun kepedulian internasional tentang situasi politik dan HAM di Indonesia telah meluas, namun partai politik di Indonesia tetap tidak memiliki agenda yang ditawarkan untuk situasi damai di Papua. Beberapa pengunjuk rasa menantang para kandidat Presiden untuk memberikan perhatian dan menjelaskan kebijakan mereka terhadap Papua dengan  mengangkat plakat yang berisi: “Jokowi, wartawan asing boleh masuk Papua?”  dan “Bakrie, maukah bebaskan tapol Papua?”

Patut dicatat bahwa aparat keamaman sebagai kepanjangan tangan pemerintah  Indonesia meski  menghargai HAM, tetap akan memproses hukum terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah Republik  Indonesia, tanpa memandang suku, agama, warna kulit maupun latar belakang aspirasinya.

Semua pihak yang terbukti melakukan pelanggaran hukum wajib mempertanggung-jawabkan perbuatannya dimuka hukum. Termasuk anggota kelompok separatis Papua yang melakukan pelanggaran hukum dalam bentuk apapun harus diproses secara hukum pula.

Perlu disampaikan bahwa tidak ada gunanya bagi kelompok separatis melakukan berbagai aksi kekerasan yang merugikan banyak pihak dan kemudian menyuarakan berita bohong bahwa UE mendukung kemerdekaan Papua Barat, karena Uni Eropa sangat mendukung keutuhan NKRI, bahkan mereka menyamakan serangan bersenjata separatis sebagai serangan terorisme. Karena itu tidaklah mungkin kelompok negara yang menyamakan separatis sama dengan teroris akan mendukung gerakan separatis di wilayah negara lain untuk memperoleh kemerdekaannya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com