Irfani Nurmaliah, peneliti muda di Forum Dialog (Fordial), Jakarta
Dalam Mukernas di Bandung pada 8 Februari 2014, Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali mengatakan, koalisi Poros Tengah II bisa terbentuk untuk menghadapi Pilpres pada Juli 2014. Komunikasi intensif telah dilakukan di antara pemimpin parpol Islam dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) serta Partai Amanat Nasional (PAN) telah menyatakan setuju. Berdasar hasil survei internal, koalisi Poros Tengah masih mungkin terjadi bila dilakukan komunikasi intensif dengan parpol Islam lainnya. Survei juga menunjukkan 70% kiai dan santri mendukung koalisi PPP dan PKB.
Ketua Majelis Pertimbangan PAN, Amin Rais mengatakan, koalisi parpol Islam atau Poros Tengah Jilid II sulit terjadi. Tapi yang penting adalah kelompok Islam sebagai anak bangsa tidak tercecer. Kedepan yang memimpin negeri ini adalah koalisi Islam dan nasionalis, yakni gabungan nasionalis, Islam dan Abri (Nasabri), agar dapat membendung dominasi asing terhadap pengelolaan sumber daya manusia. Ketua Badan Pemenangan Pemilu PAN Yoga Mauladi mengatakan koalisi poros tengah hanya sebatas wacana. PAN kini mendekati berbagai parpol untuk berkoalisi lintas ideologi.
Sekjen PPP Romahurmuziy mengatakan, parpol Islam mempunyai soliditas pemilih yang kuat, sehingga koalisi parpol Islam dapat menghadirkan bola salju baru dalam Pemilu 2014. Namun tantangan yang dihadapi cukup berat, yakni minimnya tokoh, lemahnya mobilisasi politik, pemilih yang transaksional dan akulturasi budaya dan isu agama yang berdampak pada elektoral. Oleh karena itu perlu penyederhanaan parpol Islam melalui koalisi.
Ketua DPP PKB, M Hanif Dhakiri menyatakan yakin potensi perolehan suara parpol Islam sangat besar, dengan syarat parpol Islam tidak lagi memainkan isu agama dalam kampanye, menggaet pemilih dari berbagai kalangan, termasuk non Muslim dan menggaet pemilih pemula.
Ketua Umum PBB, MS Kaban tidak setuju dengan gagasan pembentukan koalisi parpol Islam, karena situasinya kini berbeda dengan 1999. PBB memilih menjadi partai terbuka dan berkoalisi dengan partai nasionalis. Sementara itu pimpinan PKS menyatakan, koalisi partai Islam sudah tidak ada nilai jualnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Sholahudin Wahid mengatakan, Islam mempunyai potensi cukup besar untuk memberi warna yang dominan dalam perpolitikan Indonesia, tetapi hal itu tidak termanfaatkan karena perpecahan di antara elitnya. Oleh karena itu, menghadapi Pemilu 2014 parpol Islam harus bersatu dan elit partai mengintensifkan komunikasi agar kepentingan umat dan bangsa terakomodasi. Pemilu 2014 harus dijadikan momentum kebangkitan politik Islam.
Sedangkan, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsudin Haris menyatakan parpol Islam sebenarnya bila bersatu dan mempunyai tokoh pengikat, berpotensi menguasai kursi pemerintah seusai Pemilu 2014. Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, Ahmad Norman Permata mengatakan, parpol Islam harus mewujudkan Poros Tengah jilid II dengan tiga cara, yakni menyusun program bersama, menyamakan kepentingan politis dan menciptakan saingan bersama. Menurut peserta konvensi capres Partai Demokrat, Dino Patti Djalal, masih banyak orang yang menentukan pilihannya karena spiritual, sehingga ceruk suara Islam masih sangat potensial. Dosen politik Universitas Tirtayasa, Imam Mukhroman mengatakan, parpol Islam masih memiliki tempat di hati rakyat dan prospektif. Pengamat politik Arbi Sanit mengatakan ide koalisi parpol Islam itu konyol, seharusnya partai Islam bersatu atas nama Indonesia, bukan Islam. Peneliti Lembaga Survey Jakarta (LSJ), Saiful Syam mengatakan, elektabilitas parpol Islam berpotensi naik asal kadernya tidak terlibat korupsi, karena peran kader cukup sentral.
Republika 14 Pebruari 2014 memberitakan suara parpol Islam pada pemilu lalu dan hasil survei Lembaga Survei Independen (LSI), Lembaga Survei Nasional (LSN) dan Lembaga Survei Jakarta (LSJ) antara lain : Perolehan Suara Parpol Islam : Pemilu 1955 (43,70%), Pemilu 1999 (36,80%), Pemilu 2004 (38,10%), Pemilu 2009 (25,10%).
Masih Laku?
Menghadapi Pemilu 2014 partai-partai Islam atau yang berbasis Islam tampak kurang yakin. Oleh karena itu muncul ide untuk menggalang koalisi partai-partai Islam atau partai yang berbasis massa Islam. Ada sementara tokohnya yang mendukung gagasan tersebut, namun ada pula yang tidak setuju karena menilai kini situasinya sudah berbeda dengan pada saat menghadapi pemilu 1999. Bahkan Amin Rais yang menjadi penggagas koalisi Poros Tengah pada 1999, kini menyatakan sulit untuk mewujudkan koalisi Poros Tengah Jilid III. Walaupun sulit untuk mewujudkan kembali koalisi poros tengah, tetapi paling tidak dengan munculnya gagasan atau ide untuk berkoalisi tersebut menunjukkan masih adanya keinginan untuk bersatu, walaupun bukan berarti meleburkan diri ke dalam satu wadah.
Keinginan untuk “peleburan atau koalisi parpol Islam” juga menandakan politik aliran masih kuat di Indonesia. Politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an intinya adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang didentifikasi sebagai penganut muslim yang kurang taat cenderung memilih partai nasionalis, sedangkan kelompok santri dipercaya menyalurkan aspirasinya ke parpol Islam. Studi yang dilakukan R William Lieddle dan Saiful Mujani menyimpulkan politik aliran sudah pudar, namun studi yang dilakukan Dwight Y King menyimpulkan bahwa politik aliran masih viable pada tingkat massa. Sedangkan, perangkat sosial politik yang tidak memisahkan agama dan negara (Monshipuri, 1998 dan Roy, 1993).
Namun ada berbagai persoalan yang menjadi hambatan terwujudnya persatuan parpol Islam, adalah minimnya tokoh yang dapat menjadi pengikat, lemahnya mobilisasi politik parpol Islam dan pemilih yang transaksional. Tidak adanya ideologi partai merupakan faktor penting keengganan pemilih Islam untuk memilih parpol Islam. Semua parpol Islam kini berideologi pragmatis untuk mengejar kepentingan kekuasaan atau keduniaan, sehingga tidak ada bedanya dengan parpol-parpol lainnya. Kini tidak ada satupun Partai Islam atau Partai berbasis massa Islam yang secara terbuka dan terang-terangan berani mengedepankan ideologi Islam, atau secara terbuka memperjuangkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Mereka sangat takut dicap sebagai kelompok eksklusif, fundamentalis, militan, tidak toleran, dan sejumlah tuduhan lainnya. Di antara parpol Islam atau berbasis masa Islam beserta tokohnya kini ingin dinilai sebagai partai yang inklusif, plural, toleran, dan moderat.
Dalam 10 tahun terakhir memang partai-partai Islam berusaha bergerak ke tengah dan tidak lagi berbicara tentang tema-tema ideologi Islam. Mereka mendekat dan berkoalisi dengan Golkar dan Demokrat yang cenderung pragmatis dan elektis. Pergeseran visi dan ideologi ke tengah tersebut diharapkan mampu memperbaiki citra dan elektabilitas parpol Islam pada landscape konstelasi Pemilu 2014 mendatang.
Kendala lainnya parpol Islam diragukan “masih laku” pada Pemilu 2014 adalah banyak oknum tokoh-tokohnya yang terlibat korupsi dan tindakan asusila. Diakui atau tidak, dalam tubuh beberapa parpol Islam telah terjadi faksionalisasi menjelang Pemilu 2014. Faksi merupakan hasil dari sebuah perbedaan pandangan, kepentingan, atau strategi yang tidak terjembatani di antara anggota partai yang mengarah pada munculnya sebuah klik atau pengkubuan yang bersifat relatif mapan untuk kemudian saling berlomba menanamkan pengaruhnya. Dalam leksikon ilmu politik, Belloni (1978) membagi tipologi faksionalisasi ke dalam tiga jenis : pertama, faksi yang terbentuk atas dasar kesamaan pandangan dalam merespons isu-isu politik. Kedua, faksi yang terbentuk dari relasi patronase politik. Ketiga, faksi yang terbentuk secara formal dan terorganisasi seperti di Italia dan Jepang.
Dibalik berbagai kendala dan “kelemahan” tersebut, keberadaan parpol Islam juga dapat dijadikan alternatif penyaluran aspirasi politik oleh kelompok radikal di Indonesia pada Pemilu 2014, tentunya jika mereka masih mempercayai demokrasi.