Pasca Kematian Qasim Soleimani: AS Akan Semakin Agresif Menempatkan THAAD di Korea Selatan, Jepang, dan Singapura

Bagikan artikel ini

Pasca terbunuhnya Jendral Qasim Soleimani, muncul spekulasi bahwa meroketnya harga minyak merupakan design untuk mengobarkan perang antara AS versus Iran. Sebuah cara pandang yang tidak masuk akal dalam logika politik internasional. Dalam menjelaskan menajamnya konflik global antara AS versus Cina di pelbagai kawasan dewasa ini, maka terbunuhnya Qasim Soleimani. ada baiknya kita telaah secara cermat dan intensif adanya dua peristiwa paralel sebelum meletusnya serangan pesawat drone AS terhadap panglima pasukan khusus Iran Al-Qudws.

Pertama, penempatan Sistem pertahanan antirudal Terminal High Altitude Area Defense atau lebih dikenal dengan akronim THAAD AS, di Korea Selatan, dengan dalih menangkal korut, padahal sasaran sesungguhnya adalah cina.

Kedua, keputusan Gedung Putih membatalkan secara sepihak perjanjian senjata nuklir jarak menengah atau INF dengan Rusia. Yang mana membawa implikasi AS akan lebih bebas tanpa hambatan dalam memperluas penyebaran persenjataan nuklir jarak menengah di berbagai kawasan.

THAAD ini sejenis sistem pertahanan antirudal yang bisa mengangkut senjata nuklir. Sebagai sistem pertahanan anti rudal yang sangat mumpuni untuk mendukung kinerjanya dalam mengantisipasi dan mengcegat serangan rudal dari pihak musuh, THAAD juga dilengkapi dengan radar yang mumpuni dan yang berkemampuan terbaik yaitu Army/Navy Transportable Radar Surveillance (AN/TPY-2).

Kapasitas THAAD yang dilengkapi rada Army/Navy Transportable Radaqr Surveillance inilah yang nampaknya mengundang kegusaran dan kekhawatiran pemerintah Cina. Selain kapasitasnya yang bermuatan nuklir tentu saja.

Inilah aspek yang mengundang protes Cina. Dengan estimasi jarak hingga 3000 km, radar tersebut sudah dengan mudah dapat melacak persenjataan Cina secara langsung meskipun tidak secara keseluruhan.

Selain itu, THAAD sebagai sebuah sistem pertahanan anti rudal merupakan salah satu sarana pertahanan yang paling direkomendasikan untuk memberikan kemampuan bertahan bagi penggunanya. Yang dalam hal ini tentunya adalah dua negara musuh utama Cina dan Korea Utara. Yaitu Korea Selatan dan AS.

Artinya, dengan alasan menghadapi cina dan iran, AS sekarang bebas menempatkan semacam THAAD ini di negara negara sekutu AS di berbagai kawasan. Tidak hanya di Asia Timur terkair Korut dan Timur Tengah yang berbatasan dengan Iran. Tapi juga di Tokyo, Taiwan, dan Singapura.

Dan AS sekarang bebas merdeka semaunya sendiri menempatkan sistem pertahanan anti rudalnya. Karena sudah tidak terikat perjanjian INF.

Manuver AS ini sudah dipayungi dua doktrin Pentagon sejak 2017. National Security Strategy dan National Defense Strategy. Yang mana menetapkan Cina, Rusia, Iran dan Korut sebagai musuh utama.

Atas dasar pemahaman inilah, kita harus bersikap agar keluar dari penyanderaan konflik global ini.

Sebab penempatan sistem pertahanan antirudal ala THAAD yang diperluas ke Asia Tenggara, seperti di Singapura, yang bermuatan nuklir dan dilengkapi kamera yang mampu mendeteksi kegiatan militer negara negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Itu merupakan potensi ancaman. Dalam keadaan tidak berperang sekalipun. Apalagi dalam keadaan perang.

Global Future Institute sudah mengingatkan tren global ini jauh-jauh hari. Dalam Executive Summary Seminar Terbatas Global Future Institute (GFI) pada 30 April 2019 lalu, Para narasumber dan peserta aktif bersepakat bahwa berakhirnya Perjanjian Intermediate Range Nuclear Forces (INF) atau Perjanjian Senjata Nuklir Jarak Menengah sejak awal Februari lalu, berpotensi untuk semakin meningkatkan perlombaan senjata nuklir di kawasan Asia Timur maupun Asia Tenggara, yang mana Indonesia termasuk di dalamnya.

Para narasumber dan peserta seminar juga berpandangan, bahwa potensi meningkatnya perlombaan senjata nuklir di Asia Timur dan Asia Tenggara, ditandai oleh tiga kejadian penting. Penempatan dan Pemasangan THAAD) di Korea Selatan, yang oleh para pakar studi strategi-keamanan merupakan upaya AS untuk mendeteksi aktivitas operasi militer Cina di daerah perbatasannya dengan Korea Utara. Sehingga akan memicu Cina untuk meningkatkan postur militernya secara lebih agresif.

Kedua, AS dengan dalih untuk latihan militer bersama dengan negara-negara sekutunya, telah mengirim pesawat pembom B-52 dan B52H, yang bermuatan senjata nuklir, ke atas perairan Laut Cina Selatan, di kawasan Asia Tenggara.

Ketiga, semakin agresifnya AS mendukung dan memfasilitasi negara-negara Asia yang termasuk sekutu strategisnya, peningkatan dan pengembangan senjata nuklirnya. Seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Dengan kata lain, AS akan menempatkan penempatan sistem pertahanan antirudal THAAD bukan saja di Korea Selatan, melainkan juga di Jepang, Taiwan dan Singapura.

Apa lagi dengan dirilisnya the US National Security Document pada akhir 2016 lalu, yang mana pemerintahan Presiden Donald Trump menetapkan Cina, Rusia, Iran dan Korea Utara sebagai musuh utama dalam persaingan global saat ini, kiranya juga harus menjadi fokus perhatian Indonesia dan negara-negara di kawasa Asia Tenggara (ASEAN). Bahwa dunia internasional saat ini tidak dalam situasi yang aman-aman saja.

Oleh sebab itu, Indonesia, dalam hal ini beserta seluruh komponen bangsa, khususnya para stakeholders kebijakan luar negeri, sudah saatnya mengingatkan pemerintah mengenai kemungkinan AS maupun sekutu-sekutunya di Asia Timur dan Asia Tenggara, untuk meningkatkan eskalasi konflik di kawassan ini. Yang mana membawa akibat semakin meningkatnya proliferasi senjata nuklir khususnya di Asia Tenggara. Apalagi jika benar Singapura akan dijadikan sasaran penempatan THAAD dengan dalih untuk menghadapi Cina.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute. 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com