Pembelajaran Meta-Geopolitik Pasca Putusan Presiden Atas Polemik Aceh-Sumut

Bagikan artikel ini
Catatan Kecil di Era Babat Alas
Dari sisi geopolitik, mengulik ‘polemik empat pulau’ –Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil– antara Aceh versus Sumatera Utara (Sumut), sebenarnya tak rumit-rumit amat. Simpel. Mari kita uji nyali.
Breakdown awal harusnya dimulai dengan pertanyaan, “Seandainya keempat pulau dimaksud hanya penghasil ketela rambat, atau jambu mente, apakah mungkin ia akan diperebutkan?” Ini retorik sekaligus prolog telaah ini.
Dalam geopolitik, lazimnya konflik apapun selalu terkait kredo: what lies beneath the surface. “Apa yang terkandung di bawah permukaan,” yakni emas, minyak, gas bumi, rare earth, nikel dan lain-lain.
Itulah geoekonomi di era modern sejak akhir abad 20-an tempo doeloe pasca rempah-rempah menjadi ikon (geoekonomi) pada era kolonialisme klasik. Kredo ini berlaku di skala manapun, apapun, kapanpun — baik konflik lokal, regional, maupun konflik geopolitik di level global.
Lantas, apa maksud kalimat di balik ‘apa yang terkandung di bawah permukaan’? Tak lain ialah, “Emas terpendam,” kata Mualem, panggilan lain Gubernur Aceh, Muzakir Manaf. Lanjut, apa tafsir ‘emas terpendam’ tersebut?
Bahwa keempat pulau dimaksud memiliki beberapa karakteristik strategis, antara lain:
Pertama, posisi geografis yang tidak begitu jauh dari Selat Malaka, selat tersibuk di dunia setelah Selat Hormuz, Iran;
Kedua, menurut BRIN — kuat diduga memiliki potensi besar cadangan minyak dan gas lepas pantai. Ini yang perlu pendalaman teknis oleh pihak terkait;
Ketiga, Virgin Islands, sangat menarik bagi pariwisata dan perikanan;
Keempat, potensi konservasi dan zona pengembangan ekonomi biru (blue economy); dan lain-lain.
Itulah makna ‘emas terpendam’ daripada sekadar diksi ketela rambat atau jambu mente sebagaimana prolog di atas.
Akan tetapi, usai putusan Presiden tentang polemik empat pulau tadi, ada telaah lain atau bacaan berbeda menyeruak di publik. Entah kenapa. Aromanya terasa menyengat karena berbau politik praktis. Ya. Bahwa ‘situasi mencekam’ —meminjam istilah Raja Jogja— terkait isu-isu faktual yang tidak kunjung reda, seperti ijazah palsu, misalnya, atau pemakzulan Wapres Gibran oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI, isu Raja Ampat, ataupun isu-isu tentang korupsi jumbo –ratusan triliun rupiah– yang melibatkan pejabat publik dan seterusnya membuat rezim kekuasaan harus menurunkan tensi kegaduhan. Tentu, rezim ingin bekerja optimal menjalankan programnya (Asta Cita). Maka publik butuh desepsi.
Asumsi: manajemen konflik pun dihampar. Kali ini, pagelaran bertajuk: “Polemik Aceh – Sumut dan Harimau Turun Gunung”. Skenario tersebut, tak bukan sasarannya agar situasi teralihkan daripada isu-isu panas yang terus beranak-pinak. Lalu isu pun ditebar, pion-pion dimajukan; agenda/tema ditancapkan, dalang dimainkan; sedang pemilik hajatan meremot pagelaran dari kejauhan. Itulah pola ITS dalam Perang Asimetris. Isu – Tema – Skema.
Bagaimana hasil?
Sempat gaduh lagi memanas. Memang. Tapi, skenario desepsi berujung win-win solution. Tidak ada kalah menang. Dan setelahnya, berbagai narasi pun berserak seiring pagelaran tutup layar. “Pakem desepsi”.
Apa nyatanya?
Isu-isu panas tak jua padam. Terus bergulir. Tutup lobang di situ, meletus di sana-sini. Ya. Beranak-pinak. Bahwa antara isu satu dengan isu lainnya jalin-berjalin, saling melengkapi, dan bersinergi. Justru isu desepsi —polemik empat pulau— yang diharap bisa menurunkan tensi malah semakin menambah suhu politik mencekam, kenapa? Sebab, muncul tuntutan lain terhadap rezim kekuasaan dampak dari padanya.
Beredar asumsi liar, bahwa polemik empat pulau antara Aceh – Sumut hanyalah puncak gunung es. Kenapa? Karena usai polemik empat pulau tutup buku, muncul polemik 13 pulau di Jawa Timur. Ambyar!
Apakah skenarionya out of control (lepas kendali) kok situasi mencekam tak jua reda?
Tidak juga. Dalam konstelasi (geo) strategi, tidak dikenal istilah out of control melainkan seberapa jauh kadar keberhasilan atau prosentase capaian sasaran/target operasi. Pertanyaan lanjut, “Bagaimana narasi guna mengurai asumsi tentang lepas kendali alias out of control-nya skenario dimaksud?”
Kita melambung sejenak pada sisi meta-geopolitik. Clue tulisan ini. Bahwa dunia spiritual mengenal apa yang disebut Ghoibul Ghuyub alias ‘samar dari yang tersamar’, misalnya, bahwa Indonesia Emas 2045 adalah takdir geopolitik Indonesia sebab Kehendak Ilahi sebagaimana tersirat dalam QS Al Baqarah Ayat 259, tersurat:
Atau, seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh menutupi (reruntuhan) atap-atapnya. Dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah kehancurannya?” Lalu, Allah mematikannya selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (kembali). Dia (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Sebenarnya engkau telah tinggal selama seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, (tetapi) lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang-belulang) dan Kami akan menjadikanmu sebagai tanda (kekuasaan Kami) bagi manusia. Lihatlah tulang-belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging (sehingga hidup kembali).” Maka, ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, “Aku mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Pertanyaan lebih dalam, “Apakah makna tersirat QS di atas dari sudut pandang Ghoibul Ghuyub cq meta-geopolitik?”
Bahwa kejayaan diri, keluarga, kelompok, organisasi, serta kebangkitan sebuah bangsa akan terulang per/satu abad atau setiap (putaran) 100 tahun. Contoh, bila Indonesia lahir pada tahun 1945 maka 100 tahun kemudian (2045) akan berjaya kembali. Itulah: “Indonesia Emas 2045” alias Indonesia Mercusuar Dunia.
Tetapi, proses menuju Indonesia Emas tidaklah bergulir di ruang hampa. Ada mekanisme dan kendala yang mutlak harus dilewati entah secara fisik ataupun nonfisik (spiritual), baik secara vertikal maupun horizontal.
Di satu sisi, secara vertikal spiritual misalnya, pakemnya absolut yaitu QS Ar-Ra’d Ayat 11 yang berbunyi:
… Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri … “.
Dan pada sisi lain, secara fisik horizontal — faktor VUCA, misalnya, atau analisa SWOT dan seterusnya kudu diantisipasi secara konseptual bahkan diberdayakan secara maksimal. Ya. Kelemahan diubah menjadi kekuatan, ancaman dijadikan peluang.
Bila VUCA dianggap tesis, maka kontra-VUCA sebenarnya sudah ada, contoh, Volatility (bergejolak) dikontra dengan Vision (sikap visioner); Uncertainty (ketidakpastian) dihadang dengan Understanding (pemahaman situasi); Complexity (kompleksitas) dijawab dengan Clarity alias kejelasan; dan Ambiguitas (ketidakjelasan) dikontra dengan Agility (kelincahan), adaptif dan lain-lain.
Itulah antitesis VUCA ala Bob Johansen dari Institute for the Future di Silicon Valley. Intinya, VUCA harus dilawan dengan “VUCA” pula. Silakan saja. Karena dunia akademis memberi ruang diskusi melalui dialektika ala Freiderich Hegel (1770-1831): Tesis – Antitesis – Sintesis.
Untuk saat ini, menurut hemat penulis — Rusia dan Iran bisa dijadikan contoh negara yang mampu mengantisipasi VUCA secara proporsional, strategis dan cerdas, lalu faktor SWOT diberdayakan sehingga mampu mengubah kelemahan menjadi kekuatan, membalik ancaman menjadi peluang.
Sekarang menginjak Babat Alas. Kompas catatan ini. Untuk menyingkat bahasan soal apa dan bagaimana Babat Alas, silakan baca beberapa tulisan saya: 1) Era Babat Alas 2024 – 2029 dan Tujuh Prakiraan Kegaduhan; 2) Mencari Pemimpin di Era Babat Alas, dan lain-lain.
Poin pokok tahap Babat Alas adalah kegaduhan. Gejolak situasi, kondisi dan dinamika sosial politik ramai oleh isu-isu negatif. Namun, kegaduhan tersebut bukanlah sembarang gaduh, bukan sekadar hiruk pikuk semata. Bahwa esensi kegaduhan bertajuk ‘resik-resik barang kang olo‘ (bersih-bersih atas hal-hal buruk). Ini suatu keniscayaan. Ciri tahap Babat Alas ialah becik ketitik olo ketoro. Di satu sisi, aib dan isu buruk bermunculan di sana-sini, termasuk kecurangan dan delik masa lalu yang tersimpan rapat, sedang hal-hal baik terlihat di publik. Sekali lagi, ini keniscayaan tahapan. Hukum tebar tuai jatuh tempo. Karmapala menagih janji.
Makanya, upaya pengalihan isu dan desepsi dipastikan gagal total alias tidak ada pengaruhnya. Hal-hal buruk pasti terbabat (dan dibabat). Kalau tidak dikerjakan, maka ia sendiri bakal terbabat. Itu pakem Babat Alas.
Mungkin. Inilah jawaban ringkas, kenapa beberapa isu justru mrantak (menjalar) dan beranak-pinak. Tak dapat dibendung. Tidak bisa lagi disembunyikan. Sekali lagi, hukum tabur tuai jatuh tempo, karmapala menagih janji. Itulah catatan kecil tahap Babat Alas dari perspektif Ghoibul Ghuyub alias meta-geopolitik.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com