Pemerintah Harus Memperjelas Pokok Masalah Perdagangan Bebas dengan Cina

Bagikan artikel ini

Rachmat Adhani

Pemerintah Indonesia perlu lebih mendefinisikan masalah ketidakseimbangan perdagangan dengan Cina yang dilaporkan mengakibatkan defisit miliaran dolar dan merugikan industri lokal. Masalahnya adalah data antara Indonesia dan Cina banyak mengalami ketidaksesuaian.

ampai saat ini, Indonesia dan Cina bekerja sama menyesuaikan data ekspor dan impor berkaitan dengan perbedaan nilai defisit perdagangan. Kedua negara memiliki kelompok kerja pada bidang ekspor dan telah menyelenggarakan dua pertemuan di Beijing dan Jakarta untuk berbicara mengenai kesesuaian nilai perdagangan.

Perjanjian perdagangan Bebas ASEAN-Cina menyatakan bahwa jika ada ketidakseimbangan yang besar antara dua negara, maka negara surplus wajib membantu negara defisit. ACFTA merupakan perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia dalam hal populasi, meliputi total 1,9 miliar orang dan PDB gabungan sebesar USD 7 triliun.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indonesia mengalami defisit perdagangan terbesar dengan Cina tahun lalu. Walaupun Indonesia mencatat surplus perdagangan internasional USD 22 miliar secara keseluruhan pada 2010, namun menderita defisit USD 5,6 miliar dengan Cina .

Duta Besar Cina untuk Indonesia Zhang Qiyue mengatakan ACFTA adalah perjanjian yang baik bagi semua pihak. Dia menunjuk pertumbuhan volume perdagangan sekitar 50% menjadi USD 34 miliar setelah kesepakatan perdagangan itu dilaksanakan.

Zhang mengatakan hubungan antara Cina dan Indonesia akan lebih kuat seiring posisi Indonesia sebagai perekonomian terbesar di Asia Tenggara dan ketua ASEAN sehingga menjadi mitra penting Cina .

Dia telah meyakinkan pemerintah pusat dan provinsi bahwa ACFTA akan membawa banyak kesempatan untuk Indonesia dan ASEAN. Dia mengatakan, tiga aspek utama ACFTA yang meliputi perdagangan dan produksi barang, pengembangan layanan dan investasi.

Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada akhir tahun lalu ada lebih dari 1.000 perusahaan Cina siap masuk ke Indonesia dengan nilai kontrak sekitar USD 9,7 miliar. Sebagai bagian dari perjanjian itu, Cina dan 10 negara anggota ASEAN lain harus menekan tarif sebesar 90% atas semua barang Cina .

Duta besar membantah klaim bahwa perusahaan Cina melakukan praktik dumping di Indonesia karena tidak ada bukti dumping dan mereka telah menerapkan praktek perdagangan yang sehat.

Menurut data Departemen Perdagangan, nilai ekspor Indonesia ke Cina a tahun lalu adalah senilai USD 15,7 miliar, naik dari USD 11,5 miliar di tahun 2009. Adapun impor Indonesia dari Cina tahun lalu senilai USD 20,4 miliar, naik 31% dari 2009.

Bahan Baku Dominasi Impor Indonesia dari Cina

Di sisi lain, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan bahwa bahan baku dan bahan penunjang industri mendominasi impor Indonesia dari Cina karena bahan-bahan tersebut masih dibutuhkan oleh industri dalam negeri.

Departemen Perdagangan akan terus mencegah terjadinya praktek perdagangan yang tidak sehat akibat dampak dari perdagangan bebas seperti produk yang dijual di bawah harga normal, volume impor berlebihan dan kondisi produk yang tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).

Sementara itu, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat menambahkan bahwa pemerintah akan mendorong produksi bahan baku untuk mengurangi ketergantungan pada bahan impor, termasuk untuk industri tekstil dan garmen.

Hidayat mengatakan pemerintah akan memberi insentif untuk investor yang tertarik mengembangkan industri bahan dasar termasuk keringanan pajak signifikan untuk pendirian pabrik bahan baku.

Secara khusus, dia ingin investor Cina berinvestasi dalam industri hulu untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor sekaligus meningkatkan daya saing industri hilir.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com