M Arief Pranoto, Pemerhati Masalah Internasional
“Barangsiapa merajai Lautan India maka ia bakal menjadi kunci percaturan di dunia internasional” (Alfred Mahan).
Betapa teori, atau tesis diatas telah menjadi doktrin di lingkungan Angkatan Laut (AL) AS bahkan sudah menjadi dogma serta agenda dari negara. Dan hingga kini, para pembuat kebijakan – strategi dan politik luar negeri Paman Sam setia mengamalkan doktrin leluhurnya pakar Geo-Strategi.
Melalui doktrin diatas, semestinya sudah bisa ditebak mengapa AS begitu ambisi untuk ”menguasai” Socotra, salah satu pulau di Yaman. Lokasi pulau itu sekitar 80-an Km dari Tanduk Afrika (Horn of Africa). Dan di mata AS, letak Socotra memang istimewa dan penting, karena ada beberapa aspek strategis mendukung upaya-upayanya guna mewujudkan doktrin Alfred Mahan untuk menjadi kunci percaturan global, yakni:
- Menghubungkan Laut Mediterania menuju Asia Selatan, Tenggara dan kawasan Timur Jauh melalui Terusan Suez, Laut Merah serta Teluk Aden. Ini merupakan rute perdagangan dunia, serta tempat transitnya kapal-kapal tanker minyak dunia;
- Lokasinya pada 3000-an Km dari pangkalan militer di Diego Garcia, di Kepulauan Chagos, Lautan India – merupakan fasilitas militer AS terbesar di luar negeri. Artinya jika menemui kontinjensi mendesak maka permintaan bantuan dan perkuatan militer ke Socotra sangat mudah lagi cepat;
- Dapat mengawasi lalu lintas laut negara adidaya lain, terutama keluar-masuknya kapal dari negara-negara rival seperti Cina, Rusia, Iran dan lain-lain;
- Bagi AS, dengan semakin meluasnya Jalur Sutera, kepentingan paling utama menguasai Socotra ialah menjaga PINTU GERBANG memasuki jalur tersebut melalui Teluk Aden, Laut Merah – Terusan Suez menuju Laut Mediterania.
”Teroris Gagal”, Skenario Menuju Yaman
Maka skenario dan stigma terhadap negara target pun dibuat. Diawali dengan teroris asal Nigeria tertangkap karena ”gagal” meledakan pesawat penumpang AS Northwest Flight 253 menuju Detroit, 25 Desember 2009 yang lalu. Hasil dari pengembangan kasus diperoleh informasi bahwa teroris asal Nigeria tadi dilatih dan mendapat bahan peledak dari Yaman.
Tahap berikutnya adalah pemberian stigma melalui Senat bahwa banyak warga AS masuk Islam lalu bepergian ke Yaman bergabung dengan Al Qaeda.
Hipotesanya adalah kenapa bahan peledak sampai lolos naik ke pesawat, sedang peralatan canggih dan pemeriksaan di bandar-bandar udara AS sangat keras lagi ketat; atau mengapa Senat AS yang menyatakan bahwa banyak warga muslim di negaranya bepergian ke Yaman? Kedua hipotesa diatas tidak dibahas dalam tulisan ini. Let them think let them decide. Silahkan anda berpikir sendiri!
Dari rangkaian peristiwa tersebut, akhirnya terbentuk opini bahwa Yaman adalah sarang teroris (Al Qaeda), maka atas nama War on Terror (WoT) negeri itupun ”diserbu” oleh AS.
Selanjutnya tatkala tanggal 2 Januari 2010, Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh mengadakan rapat tertutup dengan Panglima Komando Militer AS Jenderal David Petraeus, diberitakan ke media massa adalah koordinasi penanganan aksi teror kelompok Al-Qaeda yang berbasis di Yaman, namun belakangan terungkap bahwa ternyata pertemuan tersebut membahas soal Socotra.
Singkat kata, Presiden Saleh pun menyerah atas desakan Petraeus. Pulau Socotra diserahkan kepada AS sebagai pemegang otoritas keamanan dengan alasan WoT dan menumpas aksi-aksi perompakan warga Somalia. Dan dalam skema WoT, Socotra diproyeksikan sebagai pangkalan besar militer, karena otoritas AS diperkenankan oleh pemerintahan Yaman menggelar berbagai pesawat termasuk pesawat tempur dan pesawat komersil.
Agaknya kemudahan AS ”mencaplok” Socotra, selain disebabkan pemberian konsesi ekonomi kepada para petinggi Yaman berupa bantuan 14 juta dolar AS dari Kuwait Fund for Arab Economic Development guna membangun pelabuhan Socotra, juga adanya isyarat Petraeus bakal memberi bantuan peralatan militer dan peralatan tempur berat lain.
Socotra, Gerbang ke Jalur Sutera
Penguasaan Socotra memang bagian dari militerisasi AS di Lautan India guna menghambat rivalnya para adidaya dunia, tetapi jika dikaji secara lebih cermat akan terbaca sebagai pengubahan ”methode invasi”-nya. Dengan kata lain, methode invasi militer (beserta sekutu NATO dan ISAF) yang selama ini menjadi senjata pamungkas –—-karena ditakuti banyak negara— kini sudah dianggap tidak efektif lagi, sebab selain memerlukan legitimasi internasional – juga membutuhkan waktu dan biaya super tinggi untuk penerapannya. Sebagai contohnya perang Iraq dan Afghanistan yang hingga kini belum usai. )*
Sudah barang tentu, sebagai konsekuensi logis dari politik proteksi diterapkan pada kedua negara tadi mengakibatkan krisis ekonomi di negaranya yang berefek global bagi negara-negara penyanggahnya. Itulah yang terjadi. Sumberdaya minyak dan gas alam yang diincar belum bisa dikelola dan modal perang tidak kembali pulang. Maka hancurlah ekonomi negara dan para donator swasta yang sharing saham dalam investasi perang!
Disinyalir, salah satu motivasi AS dan sekutu invasi ke Iraq dan Afghanistan, selain untuk merampok minyak dan gas alam – menguasai ”Jalur Sutra” yang melewati kedua negara tersebut, juga berusaha ”menjepit” Iran yang selama ini paling keras menantang hegemoninya. Apaboleh buat, gagal di kedua negara diatas ia coba melalui Socotra yang menjadi pintu masuk ke Jalur Sutra, jalur perdagangan dan militer melegenda sejak dahulu kala.
Mencaplok Haiti Menjepit Kuba
Demikian juga pendudukannya di Haiti melalui kedok operasi kemanusiaan. Dengan menggunakan kapal induk US Carl Vinsion beserta 10-an ribu tentara merupakan cermin betapa AS ingin – mulai mengubah methode agresinya di negara berkembang yang kaya minyak. Artinya agresi yang akan dilakukan tidak lagi butuh biaya tinggi untuk memuluskan ke negara target tanpa melalui skenario dan counter opini atas stigma-stigma rekayasa yang membutuhkan ”biaya tinggi”, sebab negara target sudah dalam posisi lemah.
Seperti halnya Haiti, maka hampir tidak ada perlawanan sama sekali ketika AS ”mendudukinya.” Dengan berbagai dalih dan alasan – unsur yang berperan didepan adalah US Southern Command (US-SOUTHCOM) yang berpangkal di Miami, Florida. Aneh memang. Selayaknya untuk operasi kemanusiaan yang berperan adalah US Agency for International Development (USAID). Tetapi itulah yang terjadi.
Hal ini sempat menciptakan kontroversi berbagai negara seperti Venezuela, Bolivia, Nikaragua dan seterusnya yang menuding militer AS menolak izin mendarat terhadap pesawat pembawa obat-obatan dan air kemasan, tapi AS tak peduli – ia berjalan terus guna “pendudukan dan pemetaan” geografis terlebih dulu sebelum ia membuka bandara udara Haiti bagi negara dan unsur-unsur lain yang ingin berpartisipasi membantu korban gempa. Alasan pokoknya bahwa militer dimanapun merupakan institusi paling siap mengawal misi apapun, terutama operasi kemanusiaan di daerah konflik atau wilayah tak bertuan.
Kepentingan AS di Haiti sungguh bermakna ganda. Betapa cerdiknya. Selain minyak, maka sasaran lain, dengan dalih Doktrin Monroe adalah ”menjepit” posisi geo-politik Kuba secara geografis, negara pulau yang komunis. Pemerintahan Kuba, selain Venezuela, Bolivia, Iran dan seterusnya, di mata Paman Sam memang dianggap kelompok pembakang. Akhirnya bisa dibaca bahwa pola dan methode invasinya ke Haiti hampir sama dan mirip ketika ia menyerbu Iraq dan Afghanistan, yang bertujuan selain minyak Iraq – juga bermaksud ”menjepit” Iran dari aspek geografis, tetapi ternyata ada perlawanan diluar dugaan yang melenceng dari logika perang lazimnya.
Sedangkan militerisasi di lautan India, dapat dibaca sebagai upayanya dalam rangka “mengendalikan sekaligus memotong” via pintu masuk laut (perluasan Jalur Sutra) perdagangan dunia. Dengan adanya pangkalan militer AS terbesar di Diego Garcia, Kepulauan Chagos, di Lautan India, maka penguasaan Socotra semakin menambah strategis bagi AS untuk menerapkan methode barunya. Terutama guna ”menghadang” tanker-tanker minyak yang hilir mudik di sekitar Socotra.