Dina Y. Sulaeman, Pemerhati Masalah Internasional
Dalam sebuah lokakarya nasional yang beberapa waktu lalu saya ikuti, seorang pejabat dalam presentasinya, (mungkin) secara bercanda, berkata, “Yah, biasalah kayak di kampus-kampus, hidup mati adalah jihad.” Mungkin saja dia bercanda, menyindir orang-orang kampus yang semangat keislamannya tinggi dan menjadikan hidup-matinya sebagai jihad. Tapi, apa makna kata ‘jihad’ yang dipakai si pejabat ini? Jihad dalam arti konsistensi, bersungguh-sungguh, bekerja keras menjalani hidup agar selalu di jalan yang diridhoi Allah, atau ‘jihad’ yang sering dicitrakan oleh media propaganda Barat?
Sejak peristiwa 9/11, banyak orang yang masih terus terseret arus propaganda Barat: bahwa Islam adalah sumber terorisme, bahwa ajaran jihad adalah akar dari semua kekerasan di muka bumi. Apa dan bagaimana sebenarnya konsep jihad dalam Islam, biarlah ulama yang kompeten menjelaskannya. Kali ini saya hanya ingin menginformasikan bahwa jihad ala Taliban sesungguhnya hasil ‘pendidikan’ AS. Para jihadist ala Taliban itu sesungguhnya adalah murid-murid ‘madrasah’ AS.
Dalam bukunya, “America’s War on Terrorism” (2005), Prof. Michel Chossudovsky, menguraikan data-data betapa AS-lah sesungguhnya pendidik para jihadist ala Taliban. Berikut ini beberapa kutipannya.
“AS menghabiskan milyaran dolar untuk menyuplai sekolah-sekolah di Afghanistan dengan buku-buku teks berisi gambar-gambar kekerasan dan ajaran Islam militan… Buku-buku utama yang diisi dengan diskusi tentang jihad dan gambar-gambar pistol, peluru, tentara, dan granat, telah masuk ke dalam kurikulum utama sekolah Afghanistan. Bahkan Taliban menggunakan buku-buku yang diproduksi AS.” (Washington Post, 23 March 2002)
“Iklan-iklan, dibayar dengan dana CIA, dipasang di koran-koran dan newsletters di seluruh dunia, menawarkan bujukan dan motivasi untuk bergabung dengan Jihad [Islami].” (Pervez Hoodbhoy, Peace Research, 1 May 2005)
“Bin Laden merekrut 4000 sukarelawan dari negaranya sendiri dan membangun hubungan yang dekat dengan pemimpin mujahidin yang paling radikal. Dia juga berhubungan dekat dengan CIA, … (Tapi) sejak September 11, [2001] pejabat CIA mengklaim bahwa mereka tidak memiliki hubungan langsung dengan Bin Laden.” (Phil Gasper, International Socialist Review, November-December 2001)
Berikut ini beberapa fakta penting terkait Bin Laden dan pendidikan jihad oleh AS, yang diungkapkan oleh Prof. Chossudovsky:
-Osama bin Laden, direkrut oleh CIA tahun 1979, yaitu pada masa paling awal ketika dimulainya ‘program pendidikan jihad’ oleh AS. Saat itu dia berusia 22 tahun dan dilatih di sebuah kamp gerilyawan yang disponsori CIA.
-Presiden Ronald Reagan bertemu dengan pimpinan Mujahidin di Gedung Putih tahun 1985. Pada era Reagan pula dimulai operasi rahasia untuk mendukung berkembangnya “fundamentalisme Islam”. Pelaku operasi ini pula yang berperan kunci saat peluncuran “Perang Melawan Terorisme Global” segera setelah Peristiwa 9/11. Kebijakan luar negeri era Reagan adalah mendukung “Islamic freedom fighters” (antara lain, AS mendukung Taliban -konon-untuk membebaskan Afghanistan dari penjajahan Soviet). Kini, mereka yang disebut “Islamic freedom fighters” itulah yang dilabeli sebagai “Islamic terrorists”.
-Dalam usaha pendidikan jihad ala AS ini, AS bekerjasama dengan misi Wahabi dari Arab Saudi. Taliban berarti “pelajar”; yaitu pelajar di madrasah-madrasah yang didirikan oleh Wahabi dengan dukungan CIA. Sistem pendidikan di Afghanistan sebelum penjajahan Soviet adalah pendidikan sekuler. Namun, sejak dimulainya operasi rahasia CIA dalam pengembangan fundamentalisme Islam, jumlah madrasah bertambah pesat. Pada tahun 1980, jumlah madrasah hanya 2.500, hingga kini meningkat jadi lebih dari 39.000.
ISI (agen rahasia Pakistan) juga terlibat dalam operasi CIA ini dengan cara merekrut dan mentraining Mujahidin. Dalam era 1982 hingga 1992, terhitung 35.000 muslim dari 43 negara-negara muslim di seluruh dunia direkrut ISI untuk berjihad di Afghan. Di Pakistan juga didirikan madrasah-madrasah yang didanai Arab Saudi dengan dukungan AS, untuk “inculcating Islamic values” (menanamkan nilai-nilai Islam).
Pertanyaannya, Islamic value yang mana?
Ketika akhirnya Taliban berkuasa, dunia disodori jenis pemerintahan Islam yang mengerikan: perempuan diwajibkan mengenakan burqa, dilarang sekolah dan bekerja, perempuan lebih baik mati daripada ditangani oleh dokter laki-laki, kekayaaan arkeologi Afghan, yaitu patung Budha Bamiyan, dihancurkan, dll. Ketakutan menyebar ke seluruh dunia. Islam identik dengan kekerasan, penindasan, fanatisme buta, brutalitas, anti-toleransi.
Puncaknya adalah ketika teror 911 terjadi. Tanpa penyelidikan lebih dahulu, Bush langsung menuduh Bin Laden sebagai pelakunya, meskipun sejumlah pertanyaan penting masih belum terjawab: bagaimana sebuah kelompok ‘primitif’ dari gurun Afghanistan bisa merancang sebuah aksi teror supercanggih? Bagaimana pesawat-pesawat itu bisa lolos dari radar dan sistem pengamanan udara supercanggih AS sehingga bisa membelokkan jalur penerbangan dan menabrak WTC? Bagaimana mungkin ‘hanya’ satu pesawat bisa merontokkan sebuah gedung sangat tinggi dan sangat perkasa seperti WTC? Tidak pernah ada jawaban resmi dari AS. Jawaban yang diulang-ulang hanyalah: Al Qaeda-Taliban-Bin Laden adalah pelakunya. Jaringan ‘teroris Islam’ ada di seluruh dunia, karena itu perang melawan terorisme harus dilancarkan di seluruh dunia.
Propaganda tentang teroris Islam terus dilancarkan hingga hari ini. Baru-baru ini, ketika teror terjadi di Norwegia, dalam sekejap tudingan langsung ditujukan kepada “teroris Islam”. Tak ada kata maaf dari media-media massa Barat yang terlanjur menuduh itu, ketika akhirnya terbukti bukan orang muslim yang melakukannya.
Ironisnya, sebagian kaum muslimin pun termakan propaganda ini dan menentang keras (atau minimalnya sinis) pada segala sesuatu yang berbau pemerintahan Islam. AS pun dianggap sah-saja hadir di Afghanistan, Iran, Irak, Libya, dan di seluruh dunia Islam, untuk membebaskan masyarakatnya dari ‘ketertindasan’.