Seperti halnya ketika menempatkan sistem pertahanan anti-rudal di Korea Selatan (terminal hight altitude aerial defence, THAAD), penempatan rudal jarak menengah di negara yang dipandang oleh Amerika Serikat (AS) sebagai sekutu, sepertinya juga menjadi prioritas utama Pentagon. Hal itu nampak jelas ketika baru-baru ini Angkatan Darat AS mengerahkan Sistem Rudal Jarak Menengah di Filipina Utara.
Bisa dipastikan bahwa kebijakan pertanhanan AS untuk pengerahan sistem rudal jarak menengah tersebut harus dibaca dalam kerangka Aliansi Indo-Pasifik untuk menghadapi angkatan bersenjata Cina. Termasuk dalam mengantisipasi kemungkinan pemerintah Cina melancarkan manuver militer ke Taiwan.
Baca:
US says missile deployment in PH ‘incredibly important’
Selain dari itu, Filipina dan Cina pun beberapa waktu lalu terlibat dalam pertikaian wilayah perbatasan di wilayah Laut Cina Selatan yang belakangan ini sangat dinamis namun berpotensi tidak stabil. Ketegangan AS versus Cina semakin memanas ketika Cina khawatir dengan pengerahan sistem rudal Typhon oleh Angkatan Darat pada April 2024 lalu di Filipina Utara. Rudal Typhon yang merupakan senjata berbasis darat itu, mampu menembakkan Rudal Standard-6 dan Rudal Serang Darat Tomahawk, sebagai bagian dari latihan tempur gabungan antara tentara AS dengan tentara Filipina.
Orientasi kebijakan Kementerian Pertahanan AS untuk meningkatkan kehadiran militernya secara lebih agresif di kawasan Asia-Pasifik nampaknya semakin nyata sejak 2017 lalu, ketika Presiden Donald Trump mencanangkan apa yang disebut the Indo-Pacific Strategy. Bahkan pada era pemerintahan Presiden Joe Biden orientasi kebijakan pertahanan AS yang bersifat agresif dan ekspansif sama sekali tidak berubah. Bahkan semakin meningkat.
Apalagi pada Desember 2022 lalu, Asisten menteri pertahananAS Ely Ratner mengatakan bahwa pada tahun 2023 postur angkatan bersenjata yang ditempatkan di negara-negara yang berada dalam kawasan Indo-Pasifik akan mengalami perubahan pada skela yang semakin membesar (the most transformative year in US force in the Indo-Pacific region).
Bukan itu saja. pada Januari 2023 lalu peningkatan postur pertahanan angkatan bersenjata AS yang semakin agresif ditandai dengan kehadiran resimen Korps Marinir AS di Jepang, sebagai bagian integral dari persekutuan AS dan Jepang untuk memodernisasikan angkatan bersenjatanya pada skala yang semakin meningkat.
Kerjasama strategis AS-Filipina semakin meningkat skalanya ketika kedua negara sepakat menandatangani the Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA). Yang mana berdasarkan kesepakatan antara menteri pertahanan AS Lloyd Austin dan mitranya menteri pertahanan Filipina Carlito Galvez Jr, Filipina telah memberikan akses kepada tentara AS untuk menguasai empat lokasi strategis yang akan diproyeksikan sebagai pangkalan militer bagi AS.
Keberadaan empat pangkalan militer AS berdasarkan skema EDCA tersebut akan digunakan oleh kedua negara membangun fasilitas-fasilitas militer terkait penyediaan sarana-sarana perhubungan untuk menunjang operasi-operasi militer yang dilakukan. Selain pada saat yang sama juga untuk memodernisasikan angkatan bersenjata Filipina dalam jangka Panjang.
Dengan kata lain, berbasis di Filipina inilah AS menghidupkan kembali persekutuan militer lama antara AS-Filipina semasa Perang Dingin. Memang tembok Berlin runtuh pada 1989, pakta pertahanan kedua negara tersebut kehilangan alasan strategisnya untuk tetap dipertahankan. Pada 1991 senat AS menolak perpanjangan pangkalan AS di Filipina yang keberadaannya sudah berlangsung sejak 1947. Alhasil, tentara AS terpaksa meninggalkan kedua pangkalan militernya di Filipina, yaitu Subic dan Clark.
(Baca juga sebagai pembading: Merobek Jalur Sutra, Menerkam Asia Tenggara, jurnal The Global Review Quarterly terbitan Januari 2013)
Namun AS sepertinya menemukan kembali momentumnya untuk menguasai pangkalan militernya di Filipina, ketika pada 2012 lalu pemerintah Cina mengambil-alih Scarborough Shoal yang berada di wilayah Laut Cina Selatan. Dengan alasan inilah, Washington emanfaatkan kekhawatiran terhadap ancaman Cina sebagai momentum menghidupkan kembali persekutuan militer AS-Filipina seperti di era Perang Dingin. Dengan dalih adanya ancaman yang semakin berbahaya dari Cina.
Dalam konteks inilah, kita menaruh kekhawatiran terhadap keputusan Gedung Putih dan Pentagon untuk mengerahkan Angkatan Darat AS mengerahkan Sistem Rudal Jarak Menengah-nya di Filipina Utara. Mengingat kenyataan bahwa Filipina merupakan negara tetangga dekat Indonesia yang berada di kawasan Asia Tenggara, dikhawatirkan akan menciptakan instabilitas politik dan keamanan di Asia Tenggara, dan Asia Pasifik pada umumnya.
Apalagi ini bukan pertama kali bagi AS dalam mengerahkan sistem pertahanan anti-rudal seperti THAAD di Korea Selatan, Timur Tengah, dan bahkan pada 2019 lalu di Israel, ketika ketegangan politik antara Israel dan Iran semakin memanas, dan berpotensi menjadi konflik militer secara terbuka.
Dalam mengoperasikan THAAD di Israel, AS mengerahkan kira-kira 100 batalion tempur ke Israel. Hal itu cukup mengejutkan karena selama jarang sekali AS mengerahkan pasukan tempurnya di wilayah kedaulatan Israel, meskipun Israel sejak awal berdirinya merupakan sekutu strategis AS dan Inggris.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)