Pengerahan Sistem Rudal Typhon AS di Asia Pasifik, Dapat Memicu Perang Dingin Gaya Baru

Bagikan artikel ini

Menurut pandangan beberapa pakar militer dan pertahanan Amerika Serikat (AS), mengerahkan Sistem Pertahanan Rudal (a missile defense system) akan memperkuat keamanan di Semenanjung Korea, dan dijamin akan mampu menangkal serangan rudal dari negara yang dipandang sebagai musuh Amerika, sekaligus menangkal serangan militer dari Korea Utara terhadap dua sekutu strategis AS yaitu Korea Selatan maupun Jepang.

A missle system defense system atau Sistem Pertahanan Rudal, merupakan sistem, senjata, atau teknologi yang dirancang untuk mendeteksi, mencegat dan menghancurkan serangan rudal yang datang dari negara musuh yang bermaksud melancarkan agresi militer. Dengan itu, Sistem Pertahanan Rudal digunakan untuk melindungi suatu negara atau wilayah dari serangan musuh.

Bagi AS pengerahan Sistem Pertahanan Rudal di Asia Pasifik, khususnya Asia Timur dan Semenanjung Korea, nampaknya merupakan satu hal yang cukup vital. Pada Agustus 2014, Wakil Menteri Pertahanan AS kala itu, Robert O.Work, dalam kunjungan kerjanya ke Korea Selatan, Jepang, Guam dan Hawaii, selain membahas isu kontra-terorisme dan keamanan global, juga menyinggung pentingnya mendayagunakan Sistem Pertahanan Rudal.

Alasannya, AS perlu semakin memperkuat pengaruhnya di Asia Pasifik mengingat semakin menguatnya potensi pengaruh ekonomi dan militer Cina. Sehingga perlu membangun kerangka kerja sama dengan negara-negara di Asia Pasifik berdasarkan Kerangka Persekutuan Baru di bidang pertahanan dan keamanan. Namun anehnya, pada saat yang sama, mengabaikan keikutsertaan Cina dan Rusia dalam skema persekutuan baru di bidang keamanan tersebut.

Apa yang kelak disebut a new alliance of “security” pada kenyataannya hanya melibatkan negara-negara yang jelas-jelas dari dulu merupakan sekutu AS yaitu: Filipina, Australia, Jepang, yang mungkin pada perkembangannya akan mengikutsertakan Singapura dan Thailand. Malaysia pun, lantaran hingga kini terikat dalam komitmen dengan Inggris melalui payung The Common Wealth, perhimpunan negara-negara persemakmuran ex-jajahan Inggris, AS memandang Malaysia sebagai mitra strategis.

Begitupun, berdasarkan telaah beberapa pakar militer dan pertahanan, pengerahan Sistem Pertahanan Rudal AS di kawasan Asia Pasifik, utamanya di Semenanjung Korea di kawasan Asia Timur, menunjukkan bahwa ketidakpercayaan diri para pemimpin di Washington menghadapi kemungkinan meletusnya konflik militer terbuka dengan Cina dan Korea Utara di perairan Laut Cina Selatan, Selat Taiwan maupun Laut Cina Timur dan untuk menghadapi Rusia di Pulau Kuril.

Kekhawatiran dan ketidakpercayaan terhadap kemampuan militer AS menghadapi Cina di Laut Cina Selatan, Selat Taiwan dan Laut Cina Timur, mendorong AS sejak tahun 2024 untuk mengerahkan Typhon Missile System atau Sistem Rudal Typhon di Filipina. Dalam perspektif strategis Indonesia dan negara-negara ASEAN yang sejatinya menganut sikap nonblok, jelas bisa mengganggu stabilitas politik dan keamanan di Asia Tenggara, sehingga bertentangan dengan Semangat Deklarasi ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality) yang menjadi kesepakatan bersama negara-negara ASEAN. Dengan pengerahan Sistem Rudal Typhon di Filipina, kawasan Asia Tenggara bisa terseret ke dalam pusaran persaingan global yang kiat memanas antara AS versus Cina di Asia Pasifik, yang sudah barang tentu juga berdampak ke Asia Tenggara.   Lebih buruk lagi, bisa memicu meningkatnya atmosfer Perang Dingin Gaya Baru di Asia Pasifik.

HIMARS atau Sistem Roket Artileri Mobilitas Tinggi, peluncur yang dipasang di atas truk (foto: ilustrasi).Pengerahan Sistem Rudal Typhon AS di Filipina, memang sangat berbahaya. Sistem Rudal Typhon adalah platform rudal peluncuran darat bergerak yang dikembangkan oleh Lockheed Martin. Adapun rudal ini dirancang untuk meningkatkan serangan jarak jauh Angkatan Darat AS. Sistem ini mampu menembakkan berbagai jenis rudal, termasuk rudal SM-6 dan Tomahawk, dengan jangkauan hingga 2.000 km (1,240 mil).

Sepertinya sejak April 2024 lalu AS memang tidak ada niat untuk menarik kembali Sistem Rudal Typhon dari Filipina, meski pemerintah AS sempat berjanji akan menarik Sistem Rudal Typhon dari Pulau Luzon, namun kenyataannya AS tetap tidak menarik rudal Typhon dari wilayah Filipina. Bahkan pemerintah Filipina sendiri rupanya menginginkan sistem rudal Typhon bertahan di Filipina dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Sistem Rudal Typhon merupakan sistem rudal peluncuran darat jarak menengah yang pertama kali dikembangkan AS menyusul pembatalan sepihak pihak AS dari Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) Treaty pada 2019 lalu. Sekadar informasi, rudal jarak menengah merupakan produk Era Perang Dingin. Pada tahap puncak persaingan senjata nuklir antara AS versus Uni Soviet (Rusia), dan ketika persaingan antara kedua negara adikuasa semakin sengit, kedua negara didorong untuk menandatangani the INF Treaty pada 1987. Sehingga berdasarkan Perjanjian INF tersebut, AS dan Soviet sama-sama dilarang untuk memiliki, memproduksi dan melakukan uji coba rudal jelajah maupun rudal balistik jarak menengah, yang berdaya jangkau antara 500 hingga 5.500 kilometer.

Rupanya, keputusan Presiden Donald Trump pada 2019 untuk mengumumkan pembatalan secara sepihak Perjanjian INF, bertujuan untuk membebaskan diri dari belenggu Perjanjian INF, sehingga bisa membuat rudal jelajah yang berdaya jangkau 500 kilometer. Hal ini benar-benar dilakukan AS ketika hanya dua minggu setelah menarik diri dari Perjanjian INF, kemudian melakukan tes uji coba di Pulau San Nicolas, di Kalifornia.

Sekarang kita tahu agenda tersembunyi AS keluar dari Perjanjian INF 1987. Yaitu untuk mengerahkan Sistem Pertahanan  Typhon di Filipina dan Jepang, sebagai langkah deterrent terhadap Cina. Jika ini semakin ditingkatkan eskalasinya di Filipina, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura dan Thailand, maka secara bertahap akan merusak keseimbangan kekuatan strategis di Asia Pasifik.

Manuver Militer AS secara intensif membangun persekutuan militer dan ketegangan geopolitik di kawasan Asia Pasifik, bukan saja akan memperburuk keamanan di kawasan Asia Pasifik, bahkan bisa memicu meletusnyaq Perang Dingin Gaya Baru di kawasan ini.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com