Peningkatan Anggaran Pertahanan-Militer NATO Untuk Memperluas Ekspansinya ke Asia Pasifik

Bagikan artikel ini

Pada Senin 13 Januari 2025 lalu, Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Mark Rutte, berbicara di depan Komisi Bidang Luar Negeri dan Sub-Komisi Bidang Pertahanan dan Keamanan, Parlemen Eropa.

Salah satu poin penting yang disampaikan Mark Rutte adalah, menyerukan negara-negara anggota persekutuan pertahanan yang tergabung dalam NATO, untuk meningkatkan anggaran pertahanan-nya dari 2% menjadi 5 atau 6 persen dari Produksi Nasionalnya (PDB). Sebab menurut Rutte, alokasi anggaran pertahanan sebesar 2 % yang telah ditetapkan satu dekade yang lalu, ternyata sudah terlalu rendah mengingat munculnya tantantangan-tantangan baru.

Pernyataan yang disampaikan Rutte terkait desakan kepada para anggota aliansi pertahanan atlantik utara yang populer dengan sebutan NATO untuk meningkatkan anggaran pertahanan-nya dari 2% menjadi 5 atau 6% menjadi krusial ketika hal itu disampaikan terkait  dengan adanya beberapa negara yang ia persepsikan sebagai ancaman global.

Baca:

NATO’s Rutte Calls for Raising Defence Spending Above 2% of GDP

Yaitu: Rusia, Cina, Iran, dan Korea Utara. Bukankah hal ini berarti sejalan dengan garis kebijakan luar negeri dan pertahanan AS menetapkan Cina dan Rusia sebagai ancaman global sesuai dengan yang tercantum US Security Strategy dan US Defense Strategy yang dirilis Presiden Trump pada masa pemerintahan period pertama-nya pada 2017. Bertautan dengan hal itulah Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte mendorong negara-negara anggota parlemen Eropa yang tergabung  aliansi NATO untuk mendukung prakarsa peningkatan anggaran belanja pertahanan-militer sehingga Kompleks Industri Militer AS dan Eropa Barat dapat meraup keuntungan bisnis yang tentunya akan menguntungkan Kompleks Industri Militer negara-negara Barat khususnya untuk investasi dalam bidang produksi maupun jual-beli peralatan militer.

Apakah ini sinyal bahwa NATO bermaksud untuk menciptakan prakondisi ketegangan militer yang semakin meningkat di kawasan Eropa? Kalau merujuk pada pernyataan Presiden Donald Trump baru-baru ini agar negara-negara sekutu yang tergabung dalam meningkatkan anggaran militernya menjadi 5% berarti NATO sedang berupaya digiring oleh AS untuk semakin meningkatkan pendekatan Hard-Powernya dengan dalih untuk menghadapi Cina, Rusia, Iran dan Korea Utara sebagai sumber ancaman utama dunia.

Tentu saja hal ini tidak semua negara-negara NATO setuju dengan tekanan dari Presiden Trump tersebut. Alasannya, hal itu sama saja memprovokasi Rusia untuk meningkatkan eskalasi militernya di kawasan Eropa. Beberapa pejabat NATO yang bermarkas di Brussels, Belgia, mengatakan jika Rusia akhirnya memenangi perang dengan Ukraina, pada perkembangannya Rusia akan semakin mendekati wilayah-wilayah perbatasan NATO. Padahal sejak 1991, justru negara-negara persekutuan NATO lah yang bergerak ke timur.

Dan adalah NATO pula yang kemudian mendorong Rusia bereaksi terhadap semakin meningkatnya infrastruktur militer negara-negara persekutuan NATO di dekat wilayah perbatasan Rusia seperti Georgia dan Ukraina. Namun sasaran NATO nampaknya tidak hanya sampai Eropa Timur. Asia Pasifik, nampaknya menjadi sasaran strategis AS dan NATO selanjutnya. Dalih yang digunakan NATO ya itu tadi. Pentingnya menerapkan Strategi Penangkalan atau  Deterrence Srategy terhadap pengaruh militer Cina dan Korea Utara di Asia Pasifik.

Sepertinya tren yang diisyaratkan oleh Mark Rutte maupun Donald Trump, memantik kekhawatiran di kalangan pejabat senior NATO di Brussels juga. Sebab dengan peningkatan anggaran militer/pertahanan NATO di atas 2% apalagi menjadi 5 atau 6% dari PDB nasional masing-masing negara NATO, itu sama saja dengan memprovokasi perlombaan senjata serta eskalasi konflik militer yang semakin meluas di Asia dan Pasifik. Khususnya di Taiwan dan wilayah-wilayah sengketa (boerder dispute) yang berada di perairan Laut Cina Selatan.

Namun bagi Indonesia dan negara-negara berkembang di Asia Pasifik, utamanya Asia Tenggara (ASEAN), ekspansi NATO ke Asia Pasifik seperti diisyaratkan oleh AS maupun Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte, pada perkembangannya bisa membahayakan pembangunan ekonomi negara-negara di Asia Pasifik yang saat ini semakin berkembang pesat, selain tentu saja akan menciptakan instabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Pasifik, utamanya Asia Tenggara.

SUMBER: Virginia Mayo/Pool/EPA

Yang lebih menkhawatirkan lagi dari pernyataan Mark Rutte, peningkatan prosentasi anggaran militer NATO menjadi 5 atau 6% dari PDB masing-masing negara anggota aliansi NATO, bisa diperoleh dengan memangkas anggaran-anggaran terkait program kesejahteraan sosial.

Bagi masyarakat di negara-negara Eropa Barat anggota NATO sendiri, tentu saja itu bukan gagasan yang menyenangkan. Lantaran itu berarti, mengurangi alokasi anggaran untuk kesejahteraan sosial, layanan sosial dan pendidikan bagi masyarakat klas ekonomi lemah, demi untuk meningkatkan postur pertahanan-militer-nya yang semakin agresif. Bukankah ini memang khas kebijakan nasional para politisi penganut Neoliberalisme?

Dengan begitu, bukan saja negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam NATO yang akan mengalami penurunan standar hidup, melainkan juga Jepang dan Korea Selatan. Sebab itu berarti Jepang dan Korea Selatan pun harus memangkas anggaran-anggaran bantuan sosial maupun anggaran-anggaran yang digunakan sebagai dana pengembangan.

Apalagi hal ini diperkuat dengan pernyataan Mark Rutte pada 23 Januari 2025 di depan forum World Economic Forum di Davos, betapa pentingnya negara-negara NATO untuk semakin meningkatkan kapasitas produksi peralatan-peralatan militernya dalam skala yang lebih besar. Seraya menegaskan betapa pentingnya melibatkan anggota-anggota baru NATO dari luar kawasan Eropa. Yang berarti pula termasuk kawasan Asia Pasifik, Afrika, Timur-Tengah dan Amerika Latin akan menjadi sasaran strategis ekspansi militer NATO berikutnya di luar kawasan Eropa.

Berarti, AS dan Eropa Barat yang tergabung dengan NATO hingga kini masih tetap ingin mempertahankan hegemoninya di pelbaga kawasan dunia, seraya tetap mempertunjukkan kebijakan-kebijakan strategis global-nya yang bersifat Neokolonialisme di kawasan Asia Pasifik.

Negara-negara anggota NATO yang dibentuk di Washington DC pada 1949 beranggotakan: AS, Inggris, Prancis, Italia, Belgia, Luxembourg, Kanada, Denmar, Belanda, Norway, Portugas, dan Iceland. Setelah itu menyusul Jerman, Spanyol, dan tiga negara dari Eropa Timur yaitu Polandia, Estonia, dan Lithuania.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com