Penolakan China Atas Nobel Perdamaian: Ada Apa Sebenarnya?

Bagikan artikel ini

Triono Akhmad Munib

Pemberian Nobel Perdamaian (Nobel Peace Prize) oleh Lembaga Nobel Perdamaian kepada Liu Xiaobo membuat Pemerintah China geram. Hingga hari yang ditentukan penerima Nobel Perdamaian, Liu Xiabo masih menjalani hukuman tahanan rumah oleh Pemerintah China. Sehingga acara penerimaan nobel yang berlangsung di Balai Kota Oslo, Norwegia berlangsung tanpa kehadiran Lui Xiabo. Pemerintah China pun sempat memboikot acara tersebut. Dan hasilnya pun bisa dikatakan cukup berpengaruh, 18 negara mengkuti China untuk tidak hadir dalam acara tersebut yang diantaranya Rusia, Arab Saudi, Iran, Pakistan, Venezuela, Mesir, Filipina, Sudan, Ukraina, Kuba, Serbia, Vietnam, Maroko, dan Afganistan. Terlepas dari alasan kedelapanbelas negara di atas untuk memboikot acara penerimaan nobel, di sini timbul sebuah pertanyaan mendasar, mengapa Pemerintah China menolak pemberian nobel atas Liu Xiaobo?. Bukankah sebuah negara akan merasa bangga jika seorang warganya mendapatkan sebuah penghargaan internasional?. Ada apa sebenarnya?, Untuk menjawab pertanyaan di atas, hendaknya kita perlu mengetahui siapa sebenarnya Liu Xiaobo

Liu Xiaobo : Pejuang Kebebasan

Liu Xiaobo lahir di Cina, 28 Desember 1955 dan saat ini berumur 54 tahun. Ia seorang intelektual dan aktivis hak asasi manusia di China. Liu Xiaobo sempat menempuh pendidikan di Departemen Sastra China, Universitas Jilin dan meraih gelar sarjana pada tahun 1982. Kemudian, Liu menjadi mahasiswa riset di Departemen Sastra China, Universitas Normal Beijing dan meraih gelar Master of Arts pada tahun 1986. Setahun kemudian, dia memperoleh gelar doktor dalam bidang sastra Cina. Di universitas tersebut, Liu sempat bekerja sebagai pengajar dan akademisi. Hasil disertasi doktoralnya diterbitkan menjadi buku berjudul Aesthetic and Human Freedom. Buku tersebut menjadi perdebatan filsafat dan estetika yang komprehensif sehingga membuat Liu mulai dikenal dunia dan diundang sebagai dosen tamu di sejumlah universitas seperti Universitas Oslo (Norwegia), University of Hawaii, dan Columbia University (AS). Dia memiliki istri bernama Liu Xia yang merupakan seorang pelukis, penyair, dan fotografer .

Karir politiknya dimulai ketika ikut dalam aksi demonstrasi mahasiswa di lapangan Tiananmen pada April 1989. Sejak 2 Juni 1989, Liu dan tiga temannya melakukan aksi mogok makan dan berseru kepada pemerintah ataupun gerakan mahasiswa untuk meninggalkan ideologi perjuangan kelas dan mengadopsi budaya politik baru yang terbuka bagi dialog dan kompromi. Liu sempat bernegosiasi dengan pimpinan militer dan gerakan mahasiswa untuk mengakhiri demonstrasi secara damai, namun pembantaian para demonstran tetap terjadi sejak 3 Juni 1989. Negosiasi yang dilakukan Liu dan teman-temannya berhasil mencegah pertumpahan darah dan membuat para demonstran membubarkan diri pada 4 Juni 1989. Dua hari setelah aksi tersebut berakhir, dia dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan melakukan propaganda kontrarevolusi dan menghasut orang. Tiga bulan kemudian, Liu dipecat dari Universitas Normal Beijing dan dilarang menerbitkan tulisan serta berbicara di depan umum.

Melalui berbagai tulisannya, Liu Xiaobo mengungkapkan kritiknya terhadap penerapan sistem satu partai dan pemberangusan kebebasan berbicara serta pers. Buku pertama Liu berjudul Criticism of the Choice : Dialogues with Li ZeHou (1987) berisikan tentang kritik terhadap tradisi Konfusianisme dan menantang pendapat Profesor Li ZeHou, tokoh intelektual dan ideologi besar di Cina saat itu. Tulisan-tulisan Liu lebih banyak diterbitkan di luar Cina sehingga dia berada di pengawasan ketat kepolisian. Pada tahun 2000, Liu mendirikan Independent Chinese PEN Center (ICPC) dan pada tahun 2003 terpilih sebagai presiden dan anggota dewan pengarah ICPC. Pada 1995-1996, Liu dijatuhi hukuman sebagai tahanan rumah, kemudian dimasukkan ke kamp kerja paksa selama kurun waktu 1996-1999 karena mendesak pembebasan aktivis Tiananmen. Pada 25 Desember 2009, Liu divonis hukuman penjara selama 11 tahun aas tuduhan subversi. Hukuman tersebut didapat akibat gagasannya tentang Charter 08, sebuah manifesto politik yang mengadaptasi Charter 77 dari gerakan prodemokrasi Cekoslowakia. Sebagian isi Charter 08 tersebut berisi upaya menjadikan kebebasan berbicara sebagai penjamin hak warga untuk mendapatkan informasi dan pengawasan politik . Lantas, atas dasar apa ketakutan China kepada Liu Xiaobo. Okey..we just start!

China and Confidence Building Measurements (CBMs) Consept

CBMs merupakan sebuah konsep dari Barat yang memiliki makna sebuah konsep untuk menanamkan semua foreign policy maupun domestic policy suatu negara agar mendapatkan rasa percaya diri. Di dalam konsep CBMs China sangat dipengaruhi oleh Middle Kingdom Syndrome. Middle Kingdom Syndrome merupakan sebuah ide yang mengandaikan bahwa China masih merasa dirinya belum aman baik dari sisi domestik maupun internasional. Sehingga implementasinya untuk membuat China yang aman, China membagi space centric menjadi empat zona yang menurut China sebagai sumber ketidakamanan/ketidakstabilan. Pembagian empat zona tersebut, yaitu :
•Zona I (Main) : China daratan (Beijing)
•Zona II (Inner) : Manchuria, Korea, Mongol, dan Tibet
•Zona III (Outer) : India, Asia Tenggara, Persia, Filipina, dan Jepang
•Zona IV (Foreign) : Australia, dan Amerika

Ancaman di Zona I menurut China berasal dari dalam negeri China sendiri. Seperti yang kita tahu terdapat banyak gerakan-gerakan pemberontakan atas pengekangan kebebasan oleh Pemerintah China. Kemudian untuk Zona II dan III yang merupakan negara-negara yang berbatasan darat langsung dengan China. China merasa musuh bukan berasal dari luar namun musuh berasal dan masuk lewat negara perbatasan. Sedikit mengingat kisah Perang Mongol, kasus Tibet, serta persetruan China dengan India dan Jepang pada masa Perang Dunia II. Maka di sini Zona II dan III merupakan zona yang sangat penting bagi China melihat sejarah peperangan yang pernah dialami China, di mana musuh masuk melewati perbatasan. Kemudian untuk Zona IV merupakan musuh China secara ideologi, yaitu AS. China kurang begitu memberikan tekanan terhadap Zona IV, karena letaknya yang sangat jauh. Namun, negara di Zona IV ini bisa menjadi ancaman bagi China ketika AS menggunakan sekutunya di kawasan Asia Timur, yaitu Korea Selatan dan Jepang untuk menyerang China. Sehingga untuk menciptakan negara China yang aman, dibutuhkan China yang kuat di dalam (Zona I) serta Zona II dan III yang aman. Walaupun bisa dikatakan China saat ini lebih kuat dibandingkan dengan yang dulu, namun Middle Kingdom Syndrome terus dijadikan pedoman bagi China agar terus waspada
Berkaitan dengan Nobel Perdamaian yang diberikan kepada Liu Xiaobao, China memiliki dua pandangan akan hal ini, yaitu :

1.Liu Xiaobao dan Ancaman Zona I

Menurut China dengan pemberian Nobel Perdamaian tersebut dikhawatirkan sebagai titik awal kebangkitan gerakan-gerakan pro kebebasan semakin menjamur di China. Memang Liu Xiaobao adalah seseorang pro kebebasan dalam hal berpendapat. Namun ditakutkan kebebasan tersebut merembet ke hal-hal lain yang di mana sangat bertentangan dengan prinsip Partai Komunis China (PKC). Liu dipandang sebagai simbol dari kebebasan itu sendiri. Ketika seseorang dijadikan simbol maka pengaruhnya akan lebih lama walaupun seseorang itu sudah meninggal. Suatu contoh di Indonesia adalah sosok Bung Karno. Bung Karno menjadi simbol kepemimpinan yang tegas dan berjiwa nasionalis. Sehingga walaupun Bung Karno telah tiada, pengaruh dan pemikiran sosok Bung Karno masih tetap tertancap dalam benak dan pikiran masyarakat Indonesia. Implementasinya munculnya gerakan-gerakan Soekarnosime, partai politik yang mengatasnamakan penerus Bung Karno seperti PDI-P, dan lain-lain. Oleh karenanya, pemberian Nobel Perdamaian kepada Liu dipandang sebagai ancaman akan stabilitas dalam negeri China. China mengkhawatirkan pemikiran-pemikiran Liu akan kebebasan semakin memperbanyak gerakan pro kebebasan dan implementasinya jika China menjadi lebih demokrasi, maka akan semakin banyak pula partai-partai baru bermunculan dan menjadi hambatan bagi PKC untuk melanggengkan kekuasaan. Selain itu, semakin munculnya pemikiran tentang pro kebebasan tersebut juga ditakutkan merambah menjadi sebuah kekacauan dalam negeri yang bisa menghambat jalannya pemerintahan. Kembali kepada konsep pembagian zona, maka Liu dipandang sebagai ancaman dari Zona I.

2.Lembaga Nobel Perdamaian

Pandangan kedua menurut China di sini adalah menyangkut kredibilitas Lembaga Nobel Perdamaian itu sendiri. China mempertanyakan, mengapa seseorang yang membuat ketidakstabilan sebuah negara atas pemikirannya bisa diberikan penghargaan?. Menurut China, Liu dan gerakannya telah membuat negara menjadi chaos ke arah perang melawan pemerintahan. China melihat Lembaga Nobel Perdamaian tidak profesional. Selanjutnya, menurut China dengan diberikannya Nobel Perdamaian kepada salah satu warganya itu semakin menyudutkan posisi China di kancah global atau internasional. Berarti di sini, China dipandang oleh Lembaga Nobel Perdamaian sebagai negara yang masih otoriter dan mengekang kebebasan atas rakyatnya. Inilah yang membuat China risih. China sudah bukanlah seperti pada masa lalu. China has been changed, China telah berubah. China saat bukanlah sebuah negara yang masih mengkontrol dan membatasi kebebasan warganya. Pemerintah sudah memberikan kebebasan berpendapat di dalam negerinya. Lembaga Nobel Perdamaian telah salah menilai China sekarang. Sehingga jika China oleh Lembaga Nobel Perdamaian masih dipandang sebagai negara yang otoriter maupun Komunis, maka perlulah memberikan tekanan kembali kepada China agar menjadi lebih demokratis, khususnya negara di Zona IV yaitu AS yang akan terus menuntut China demkoratis. Oleh karena itu, adanya 18 negara yang ikut memboikot acara Nobel Perdamaian di Balai Kota Oslo tersebut merupakan negara-negara yang paham dan mengetahui akan kondisi China saat ini yang sudah mulai mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep Middle Kingdom Syndrome yang diterapkan China akan selalu menjadikan China waspada. China hanya ingin mengamankan negaranya. Untuk mencapai China yang aman, dibutuhkan China yang stabil di dalam negeri dan negara-negara yang berbatasan langsung dengan China (Zona II dan III) juga aman. Karena, China belajar dari sejarahnya bahwa perang-perang yang dialaminya menunjukkan musuh bukan berasal dari luar melainkan dari perbatasan.

Sumber :Triono Akhmad Munib

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com