Baik kaum neo-konservatif partai republik maupun kaum neoliberal partai demokrat AS sama-sama bernafsu untuk melancarkan perang terhadap Cina. Sayangnya, bingung bagaimana caranya “menjual” atau “mempropagandakan” alasan pentingnya memerangi Cina dan Rusia secara rasional kepada publik AS dan Eropa yang merasa jenuh dengan perang.
Ketika persekutuan tiga negara (AS, Inggris, Australia) yang secara defakto mengendalikan persekutuan negara-negara Anglo Saxon(AS, Inggris, Australia, Selandia Baru, dan Kanada) tak lebih hanya sebatas propaganda omong kosong, maka upaya mempropagandakan pentingnya Perang Dingin jilid tiga bertumpu pada jaringan intelijen yang dikuasai CIA dan M-16. Dengan cara menanamkan rasa ketakutan dan kebencian.
Misalnya saja dengan menanamkan phobia terhadap bahaya dan ancaman dari Rusia di kalangan think-thank atau lembaga-lembaga kajian seperti The American Enterprise Institute, Broking Institution atau Rand Corporation. Maka itu para pakar di lembaga-lembaga think-thank tersebut akan sangat senang jika tiba-tiba Rusia memutuskan menginvasi Ukraina atau memasuki wilayah perbatasan Ukraina.
Sebab dengan begitu, Pentagon(kementerian pertahanan AS) dan Gedung Putih, punya alasan untuk ikut campurtangan dalam krisis di kawasan Kaukasus tersebut. Maka, bagi Pentagon dan Gedung Putih, satu-satunya cara agar punya alasan campurtangan memberi dukungan militer kepada Ukraina, adalah dengan memprovokasi Moskow memutuskan melancarkan serangan militer ke Ukraina.
Dalam perhitungan AS dan NATO, dengan agresi Rusia, maka dunia internasional akan mengecam Rusia dan menimpakan seluruh kesalahan pada negara beruang merah tersebut. Dalam situasi semacam itu, AS dan sekutu-sekutunya di NATO dan Uni Eropa, akan beramai-ramai menjatuhkan sanksi ekonomi dan keuangan kepada Rusia. Seraya memutus jalur konektivitas ekonomi antara Eropa Barat dan Rusia.
Namun kondisi obyektif tidak sesuai dengan rencana dan skenario semacam itu. Singkat kata, situasi semacam itu tidak bakal terjadi. Presiden Rusia Vladimir Putin sendiri sudah berulangkali menegaskan bahwa jika Ukraina menyerang Donbass, Ukraina akan dihancurkan tanpa ampun oleh Rusia. Jika itu sampai terjadi, bukan saja pemerintahan fascis Ukraina yang akan dihancurkan, bahkan Ukraina sebagai negara-bangsa pun akan lenyap dari muka bumi. Begitu penegasan Putin.
Menteri Pertahanan Shoigu pun memperlihatkan sikap yang tidak lagi lunak terhadap Ukraina, dengan memamerkan pesawat pembom Tu-22M3 dan Tu-160 White Swan bombers.
Bandingkan dengan artikel Pepe Escobar: The NATOstan Clown Show
Nampaknya elemen-elemen garis keras di AS dan NATO yang berhasrat kuat untuk mengobarkan Perang Dingin jilid III, sedang menyudutkan Rusia pada situasi yang tanpa pilihan lain, kecuali melancarkan agresi militer terhadap Ukraina.
Segi lain yang tak kalah krusial jika AS dan NATO berhasil memprovokasi Moskow melancarkan agresi militer ke Ukraina, adalah semakin meningkatknya kembali proliferasi senjata nuklir di kawasan Eropa, utamanya Eropa Timur. Dengan dalih untuk menghadapi sikap agresif kekuatan militer Rusia.
Fakta bahwa dalam situasi genting sekarang ini, menteri pertahanan Shoigu membahas secara rinci dengan menteri pertahanan Cina, maka bisa dipastikan AS pun akan melancarkan sikap permusuhan yang sama terhadap Cina.
Padahal, akar soal dari krisis di wilayah perbatasan Ukraina dengan Rusia itu simpel. Kiev tidak menaati Persetujuan Minsk pada Februari 2015. Dalam kesepaktan Minks itu, Kievn harus memberikan otonomi kepada Donbass melalui amandemen konstitusi, dan menetaplam Donbass sebagai “daerah istimewa.” Mengumumkan Amnesti umum, serta mulai melakukan dialog dengan rakyat dari republik Donetsk dan Lugansk.
Namun bertahun-tahun sejak ditandatanganinya Persetujuan Minsk, Ukraina selalu melanggar komitmen tersebut. Anehnya, media-media Barat yang beada dalam kontrol jejaring CIA dan MI-6, selalu mewartakan seolah-olah Rusia lah yang melanggark komitmen persetujuan Minsk.
Kenyataan sesungguhnya, justru Rusia yang tetap berkomitmen pada Persetujuan Minsk. Dan tetap menganggap Donbass sebagai bagian integral dari pemerintahan Ukraina. Moskow sama sekali tidak tertarik dengan Regime Change di Kiev.
Moskow hanya berkepentingan untuk mendesak adanya dialog antara Kiev dan Donbass. Namun Paris dan Berlin sama-sama berpendapat bahwa gagasan Rusia itu tidak bisa diterima. Berarti, baik Jerman maupun Paris, sama juga dengan AS, berkonspirasi menghancurkan kesepakatan Minsk. Dengan demikian bisa dimengerti jika Moskow berpendapat bahwa buang-buang waktu saja untuk berunding tentang Ukraina dengan Berlin maupun Paris.
Sayangnya, publik di Eropa dan AS nampaknya belum mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Bahwa yang sesungguhnya terjadi, AS dan NATO, seperti tergambar pada sikap Prancis dan Jerman, tidak beritikad untuk menghormati Perjanjian Minsk. Bahwa tujuan utama AS dan NATO adalah memprovokasi Rusia untuk melancarkan agresi militer terhadap Ukraina.
Hal ini sejalan dengan skema umum kaum neo-konservatif partai republik era George W Busk dan Donald Trump, maupun kaum neo-liberal partai demokrat era Obama maupun Joe Biden, tetap dalam skema Anti Rusia-Cina.
Menariknya, di tengah semakin memanasnya situasi di Ukraina dan wilayah perbatasannya dengan Rusia, pada 1 sampai 3 Desember mendatang Rusia akan mengirim kapal perangnya menuju Indonesia, untuk melakukan latihan bersama dengan negara-negara ASEAN.
Latihan militer Rusia dengan ASEAN tersebut akan dilakukan di wilayah perairan utara pulau Sumatra. Dalam latihan militer tersebut menurut rencana Rusia akan memamerkan kapal-kapal tempur penghancur kapal selamnya.
Sepertinya hendak mengirim pesan tersirat, bahwa kalaupun pahit-pahitnya Rusia dipaksa oleh keadaan untuk tidak punya pilihan lain kecuali melancarkan agresi militer ke Ukraina, kekuatan militer Rusia berada dalam keadaan siap tempur untuk segala kemungkinan yang terburuk.
Menariknya lagi, justru pada saat yang tidak menyenangkan ini, untuk kali pertama latihan militer bersama Rusia-ASEAN diselenggarakan di kawasan Asia Tenggara. Untuk lebih tepatnya, di perairan yang berada dalam wilayah kedaulatan Indonesia.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute