Pada Maret 2025 lalu, saya baca sebuah artikel yang mewartakan bahwa Parlemen Uni Eropa telah memberlakukan kenaikan tarif untuk sejumlah produk pertanian dan pupuk dari Rusia dan Belarus, sehingga peraturan baru tersebut pada perkembangannya akan mengurangi pendapatan ekspor Rusia.
Apakah gagasan di balik peraturan kenaikan tarif sejumlah produk pertanian Rusia dan Belarus tersebut adalah untuk melumpuhkan kemampuan tentara Rusia dalam berperang melawan Ukraina, mengingat fakta bahwa AS dan beberapa negara Eropa Barat yang tergabung dalam Uni Eropa bersikap memihak kepada Ukraina dalam menghadapi Rusia? Yang jelas, akibat dari pengenaan tarif baru oleh Uni Eropa, Produk pertanian yang terkena tarif baru tersebut mencakup 15% dari seluruh impor pertanian dari Rusia (pada tahun 2023). Setelah tarif baru mulai berlaku, semua impor pertanian dari Rusia akan dikenakan tarif Uni Eropa. Bukankah berarti Rusia akan kehilangan 15% perolehannya selama ini dari total seluruh impor pertaniannya saat ini?
Namun itu baru setengah dari cerita. Uni Eropa juga memberlakukan skema yang sama terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Mari kita kilas balik sejenak, ketika pada 16 Mei 2023 lalu Komisi Uni Eropa menyetujui pemberlakuan Undang-Undang anti-deforestasi. Ketentuan ini mengatur dan memastikan konsumen di negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa untuk tidak membeli produk terkait deforestasi dan degradasi hutan.
Nampak jelas bahwa dengan dikeluarkannya Undang-Undang anti-deforestasi tersebut, Uni Eropa tidak semata-mata bermotif ekonomi-perdagangan, melainkan juga ada motif-motif politik, dengan mengolah isu lingkungan hidup sebagai instrumen politik luar negeri AS dan sekutu-sekutu Baratnya untuk memaksakan agenda-agenda ekonomi dan perdagangannya kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dampak langsung terhadap kepentingan nasional Indonesia, utamanya di bidang ekonomi dan perdagangan jelas membawa dampak buruk. Betapa tidak. Implementasi Undang-Undang anti-deforestasi bakal menurunkan ekspor Indonesia ke negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Alhasil, Indonesia diperkirakan akan kehilangan penerimaan dari ekspor sebesar 57,22 miliar dolar AS.
Undang-Undang anti-deforestasi Uni Eropa sama saja dampaknya sepeti ketika AS dan Inggris melancarkan invasi militer ke negara-negara sasaran seperti Afghanistan 2001 dan Irak 2003. Bukankah produk-produk yang dihancurkan Uni Eropa lewat Undang-Undang Anti-Deforestasi tersebut, sejatinya merupakan produk pertanian dan peternakan yang selama ini menjadi tulang-punggung perekonomian nasional negara-negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia, Ghana dan Pantai Gading?
Dengan begitu menjadi penting untuk mencermati manuver parlemen Uni Eropa mengenakan peraturan kenaikan tarif baru kepada Rusia dan Belarus. Bukankah pada 2023 lalu saja, impor pupuk terkait dari Rusia mewakili lebih dari 25% dari total impor Uni Eropa selama ini? Rasanya sulit untuk menepis anggapan bahwa kebijakan Parlemen Uni Eropa terhadap Rusia tersebut sama sekali tidak didasari motif-motif politis.
Maka saya harus katakan bahwa kebijakan Uni Eropa di bidang ekonomi dan perdagangan baik terkait peraturan kenaikan tarif ekspor Rusia dan Belarus maupun pemberlakukan Undang-Undang-anti deforestasi terhadap Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya itu sebagai Skema Neokolonialisme.
Uni Eropa selama ini merupakan pasar potensial bagi produk-produk ekspor Indonesia. Pertama, produk lemak nabati, hewan dan produk-produk turunannya. Nilai ekspor sebesar 3,15 miliar dolar AS.
Kedua, produk karet dan produk-produk turunannya, dengan nilai ekspor sebesar 0,93 miliar dolar AS. Ketiga, produk kayu serta produk turunannya sebesar 0,39 miliar dolar AS. Keempat, produk kopi, teh, dan produk-produk turunannya, dengan nilai ekspor sebesar 0,37 miliar dolar AS.
Kelima, produk kertas, karton, dan produk turunan kayu sebesar 0,3 miliar dolar AS. Keenam, produk gula dan kembang gula, dengan nilai ekspor sebesar 10,9 juta dolar AS. Ketujuh, produk bubur kayu dan bahan berserat lainnya sebesar 2,2 juta dolar AS.
Hal ini tak pelak lagi menjadi sesuatu yang krusial bagi Indonesia, ketika kebijakan European Union Deforestatio-free Regulation (EUDR), akan mengimbas terhadap komoditas kehutanan Indonesia seperti kelapa sawit, kopi, coklat, kedelai karet, kayu dan produk turunannya seperti furniture. Yang paling krusial bagi Indonesia, lantaran dalam salah satu pasalnya, mengelompokkan kelapa sawit sebagai tanaman beresiko tinggi. Yang bakal terkena dampak terkait pelarangan ekspor kelapa sawit akibat undang-undang tersebut tidak saja Indonesia, melainkan juga Malaysia, sebagai salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar.
Adapun di bidang industri agro-bisnis yang akan terkena dampak adalah Brazil dan Argentina. Begitupula dua negara Afrika, Ghana dan Pantai Gading, yang selama ini mengekspor Kakao ke Uni Eropa, bakal terkena dampaknya juga.
Pemberlakuan Undang-Undang Anti-Deforestasi Uni Eropa tersebut, terkesan hanya sekadar dijadikan “pintu masuk” AS dan negara-negara Barat untuk menekan negara-negara berkembang termasuk Indonesia, supaya mematuhi skema kapitalisme global berbasis kepentingan korporasi multinasional. Khususnya terkait internasionalisasi perdagangan, pasar dan keuangan.
Dalam kasus Uni Eropa terkait Rusia dan Belarus, menarik mengutip ucapan Krzysztof Paszyk, Menteri Pembangunan dan Teknologi Polandia. “Kami akan memantau dengan cermat penerapan tarif ini untuk memastikan bahwa industri pupuk dan petani Uni Eropa terlindungi, sementara pada saat yang sama mengurangi ketergantungan Uni Eropa, menjaga keamanan pangan global, dan semakin melemahkan ekonomi perang Rusia.”
Pandangan Krzysztof Paszyk, Menteri Pembangunan dan Teknologi Polandia, menyingkap suatu cara pandang Amerika Serikat maupun Uni Eropa yang menjadi rujukan mereka selama ini sebagai fondasi menjalin kerja sama ekonomi-perdagangan dengan negara-negara mitranya. Pertama, menggunakan dalih proteksionisme untuk melindungi kepentingan nasional negaranya masing-masing. Dalam kasus ini adalah, pemberlakuan Undang-Undang anti-deforestasi Uni Eropa yang merugikan Indonesia dan beberapa negara-negara berkembang lainnya. Kedua, menggunakan instrument ekonomi dan perdagangan untuk melumpuhkan negara-negara mitra yang dipandang sebagai musuh potensial, apalagi musuh nyata seperti Rusia, yang pastinya juga terhadap Cina, Iran, dan Korea Utara.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)