Transformasi yang berlangsung di Afghanistan pasca kemenangan Taliban sepertinya akan selaras dengan pergeseran geopolitik yang sedang berlangsung di kawasan Asia Tengah. Afghanistan akan semakin erat membangun pertautan dengan Cina, Rusia dan Iran. Adapun AS dan blok Barat sepertinya tersinglir dari arena permainan.
Tak kurang dari harian terkemuka AS the New York Times seperti dikutip oleh Alastair Crooke dalam sebuah artikelnya yang bertajuk:
Baca: A ‘Strategic Apocalypse’ in Afghanistan: A Seismic Shift, Years in the Making
Mengatakan bahwa bencana yang terjadi di Afghanistan merupakah suatu hal yang tragis karena itu berarti impian Amerika sebagai bangsa yang diandalkan untuk menegakkan hak-hak masyarakat sipil, pemberdayaan perempuan dan toleransi beragama, terbukti cuma sekadar khayalan.
Michael Rubin, seorang pakar dari American Enterprise Institute yang termasuk berhaluan keras, menyalahkan Presiden Joe Biden, Menteri Luar Negeri Anthony Blinken dan Dewan Keamanan Nasional, karena membuat pernyataan-pernyataan yang menyalahkan sepak-terjang NATO yang melampaui batas selama pendudukan militer di Afghanistan sejak 2001. Melalui pernyataannya yang merefleksikan kemarahan terhadap Presiden Biden, Rubin mengatakan: “Dengan membiarkan Cina bergerak maju mewujudkan kepentingan nasionalnya di Afghanistan, pada saat yang sama Joe Biden telah memutus sarana bagi India untuk mengakses Asia Tengah. Dengan demikian inkompetensi Biden pada perkembangannya bisa memicu Perang Dunia III.
Alastair Crooke selanjutnya menulis, para akademisi berhaluan keras atau hawkist di Washington seperti Michael Rubin, tetap bersikukuh bahwa AS harus melemahkan pengaruh Rusia dan Cina dengan aksi destabilisasi terhadap Asia Tengah. Sehingga mengerahkan pasukan militer ke Afghanistan harus tetap diteruskan. Dengan demikian perang berlangsung terus, perdagangan senjata jalan terus di Afghanistan.
Rubin mengakhiri kesimpulannya dengan mengatakan bahwa Biden bukannya membendung gerak laju Cina ke Afghanistan, malah memberi ruang pada negara tirai bambu tersebut.
Tom Tugendhat, ketua sub-komite bidang luar negeri parlemen Inggris, juga mengecam kesalahan strategis Joe Biden. Harusnya Biden tidak menyerah dan tetap secara gigih mempertahankan pasukan militer AS dan NATO di Afghanistan.
“Ini bukan soal Afghanistan, melainkan kepentingan kita semua. Kita sedang menghadapi sebuah tantangan bagaimana dunia internasional bekerja. Kita melihat kekuatan otokratik Cina dan Rusia menantang aturan main yang sudah berlaku, dan membatalkan kesepakatan yang sudah kita buat bersama.” Begitu tulis Tom Tugendhat.
Namun demikian, seperti digambarkan Alistair Crooke, para hawkist atau kelompok berhaluan keras di Washington sebenarnya mengakui bahwa harapan seperti Rubin atau Tagendhat bahwa superioritas militer AS-NATO dipertahankan di Afghanistan, sudah tak mungkin terulang kembali. Kekalahan AS di Afghanistan merupakan kekalahan paradigma, begitu kesimpulan umum para pakar haluan keras Washington.
Pada bagian lain artikelnya, Alistair Crooke menyorot kegagalan komunitas intelijen Barat mendeteksi dinamika geopolitik Afghanistan baik di dalam negeri maupun dinamika hubungan Taliban dengan negara-negara lain seperti Rusia dan Cina. Termasuk langkah-langkah strategis yang ditempuh Taliban berunding dengan ragam suku di negeri tersebut.
Menariknya lagi, Iran dalam strategi politik luar negerinya dalam menjalin hubungan erat dengan negara-negara Islam lainnya, selalu melibatkan kemitraan strategis bersama Cina dan Rusia. Permainan domino kedua negara adikuasa pesaing AS inilah yang tidak terbaca implikasinya, sehingga tiba-tiba saja Afghanistan dengan kemenangan Taliban, muncul sebagai pusat keseimbangan baru di Asia Tengah.
Maka tak heran ketika dalam masa peralihan kekuasaan dari pemerintahan Ashraf Gani ke pemerintahan Taliban, Cina dan Rusia segera menggelar latihan militer bersama yang berlangsung di sebelah Utara Afghanistan. Pengaruh AS nampaknya semakin runyam dengan penolakan Pakistan terhadap permintaan AS untuk menggunakan wilayah kedaulatannya untuk kehadiran militer AS.
Satu lagi truf Cina dan Rusia, Iran diundang untuk bergabung dalam Shanghai Cooperation Organization (SCO), yang implikasinya, Iran pun akan diajak bergabung dalam Forum Ekonomi Eropa-Asia, yang juga dimotori Cina dan Rusia. Yang tentunya hal ini memberi ruang manuver bagi Iran dalam bidang ekonomi dan perdagangan, yang selama ini terkena sanksi ekonomi dan embargo dari blok Barat.
Saat ini Cina dan Rusia sudah mengakui pemerintahan baru Afghanistan. Cina kemungkinan akan membangun jalur pipa minyak yang rute lintasannya melewati lima negara. Untuk memasok minyak Iran ke Cina lewat sebelah Utara Afghanistan. Bahkan ada kemungkinan akan membangun jalur pipa minyak lewat koridor utara-selatan, menghubungkan St Petersburg via Afghanistan menuju pelabuhan Chabahar, Iran, yang terletak di seberang Selat Oman.
Nampaknya, efek domino semacam ini sama sekali tak terbayangkan dalam benak para perancang strategis kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS dan Inggris.
Satu lagi leverage Cina di Afghanistan pasca kemenangan Taliban, adalah stabilitas politik. Kesepakatan strategis yang terjalin dengan Afghanistan, akan menetralisir gerakan separatisme Uighur di Xinjiang yang selama ini didukung blok Barat. Dengan hubungan baik yang terjalin antara Cina-Afghanistan, maka manuver Uighur dari Xinjing yang berbatasan dengan Afghanistan, dapat dibendung. Namun demikian, isu keamanan negara yang satu ini, bisa dipastikan merupakan isu yang cukup alot untuk mencapai kesepakatan antara Taliban dan Cina. Mengingat Xinjiang, basis gerakan separatis Uighur, berada dalam rute lintasan dengan Turkemenistan dan Afghanistan. Jalur utara Afghanistan ini merupakan suku Tajik, suku terbear kedua setelah Pastun.
Begitupun, transformasi di Afghanistan pasca kemenangan Taliban ini Cina, Rusia dan Iran, tetap dalam posisi yang menguntungkan.
Diolah oleh Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)