Pipit Apriani, Mahasiswa Program Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia, Research Associate Global Future Institute
Dua hari berturut-turut penonton TV di Indonesia disuguhi acara pernikahan selebritis Raffi Ahmad dan Nagita Slavina secara langsung. Sebagian besar penonton TV mengeluh di media sosial, karena terlalu besarnya porsi dan durasi pemberitaan pernikahan tersebut. Ada juga yang berpendapat bahwa Trans TV menyalahgunakan frekuensi publik untuk sesuatu hal yang seperti itu. Akhirnya membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegur TransTV, karena menayangkan “tontonan yang tidak bermanfaat” dan “pelanggaran atas perlindungan kepentingan publik”.
Saya sendiri tidak menonton acara tersebut, karena harus ke beberapa tempat di Jakarta dan Depok. Tetapi yang menarik, kemanapun saya pergi dalam waktu dua hari itu, sejumlah tempat di mana saya berhenti ternyata memutar channel yang sama. Artinya, tayangan tersebut memang diminati oleh penonton. Mimpi indah mirip sinetron opera sabun, di mana aktor dan aktrisnya cantik jelita dan tampan rupawan dengan baju yang gemerlapan. Jelas Trans TV sudah memperhitungkan sisi bisnis dan jumlah penonton “Janji Suci’ ini. Ada 3 stasiun televisi yang akan menayangkan rangkaian acara berikutnya, karena juga sudah memperhitungkan hal yang sama.
Di luar mimpi indah tersebut, menarik juga membaca dan mendengar mereka yang pro dengan tayangan pernikahan selebritis itu. Beberapa orang berpendapat bahwa acara tersebut penting dan perlu karena perkawinan tersebut menggunakan tata cara perkawinan adat salah satu atau dua di indonesia. Walaupun saat ini adalah jaman teknologi maju, orang Indonesia harus mempertahankan cara perkawinan adat Indonesia. Raffi besar di Bandung dengan demikian orang Sunda, sedangkan Nagita peranakan Menado dan Jawa, tetapi yang digunakan dalam pernikahan itu adalah adat Jawa. Ada siraman, seserahan, midodareni dan sebagainya. yang masih ditahankan sampai sekarang. Pendapat yang menarik lagi berasal dari Sulawesi, Indonesia begitu kaya akan budaya dan dia akhirnya bisa tahu mengenai budaya pernikahan ala Jawa karena menonton acara ini.
Betul juga. Coba kita lihat daftar acara televisi Indonesia, tidak ada acara kebudayaan Indonesia. TVRI yang kerap menayangkan tari-tarian tradisional, pasti sepi penonton. Yang ramai justru tayangan infotainment. Tidak heran setiap stasiun TVRI memiliki program infotainmnet sendiri-sendiri dan semuanya punya penonton fanatik. Sejumlah tetangga saya hafal mengenai artisi A atau aktor B. Bahkan hafal jam ini ada acara infotainment di channel X, jam segini ada channel Y dan seterusnya.
Ternyata tayangan pernikahan prosesi pernikahan Raffi dan Gigi tanpa disadari memiliki makna penyatuan bangsa dan juga pengenalan (kembali) budaya bangsa. Kita lihat bagaimana terkejutnya bangsa Indonesia ketika sejumlah motif batik dipatenkan oleh Malaysia, sejumlah tarian digunakan dalam promosi pariwisata Malaysia. Baru orang Indonesia sibuk mengurus warisan budaya ini dan itu. Dan seperti biasa, setelah lewat beberapa waktu, kegiatan tersebut terlupakan. Proses pernikahan adat Jawa dan Sunda Raffi dan Gigi ini diam-diam turut menyumbang menjaga dan melestarikan budaya bangsa. Membuat orang terpaku, sambil menyegarkan ingatan, khususnya kaum Jawa dan Sunda urban. Memang penayangan dua hari berturut-turut adalah durasi yang terlalu panjang, tetapi sekali lagi ternyata mayoritas penonton menyukainya, dan mereka bukanlah orang yang aktif di media sosial, jadi tidak terpengaruh dengan kritik di medsos. Dalam demokrasi, suara mayoritas adalah suara Tuhan.