Persekongkolan AS-Inggris Dalam Kasus Qasem Soleimani, NATO Dalam Posisi Pelik di Timur-Tengah

Bagikan artikel ini

Diolah dari Artikel Brian Cloughley:

NATO Flounders in the Middle East

Pasca gugurnya Qasem Soleimani, Panglima Al-Quds, nampaknya berpotensi memperlemah kekompakan aliansi pertahanan atlantik utara (NATO) dalam menyikapi situasi dan kondisi di Timur-Tengah saat ini. Salah satu isu sentral yang mencuat adalah: Apapun alasannya, bukan berarti Soleimani harus dibunuh melalui serangan pesawat tempur nirawak drone. Maka itu, penanggungjawab utama terbunuhnya Soleimani adalah Gedung Putih. Dan Presiden Donald Trump, tentunya.

Di dunia Barat sendiri, meski Soleimani layak dibawa ke International Court of Justice karena dianggap barbar dan banyak membunuh rakyat sipil yang tidak berdosa, namun bukan berarti Soleimani harus dibunuh. Bagaimanapun juga, Soleimani itu sama pentingnya dengan jenderal-jenderal militer lainnya.

Bahkan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo maupun Presiden Trump sekalipun, tidak bisa mengklaim pembunuhan terhadap Soleimani atas dasar alasan bermaksud menyerang Amerika dan rakyat Amerika.

Seperti dilansir beberapa media, keputusan Trump untuk melancarkan serangan militer terhadap pasukan elit Iran pimpinan Qasem Soleimani, dengan dalih Soleimani dan pasukan Quds akan menyerang kedutaan besar AS di Baghdad serta melakukan kegiatan yang membahayakan pasukan, warga AS, serta sekutunya.

Terkait dengan dalih Gedung Putih tersebut, menarik bahwa Dewan Perwakilan Rakyat DPR AS) mengancam akan memanggil paksa Menteri Luar Negeri Mike Pompeo jika tak mau memberikan informasi soal serangan yang menewaskan komandan pasukan elite IranQasem Soleimani, pada 3 Januari 2020 lalu.

Sebab dengan segala kontroversi menyangkut sosok Qasem Soleimani, gugurnya Soleimani akibat serangan militer, secara hukum internasional dan moralitas, Soleimani sama pentingnya dengan jenderal-jenderal militer lainnya.

Masalah jadi krusial, ketika International Court of Justice (ICC) tidak dalam posisi yang berwenang untuk menyeret Presiden Trump ke pengadilan. Karena AS tidak termasuk yang menandatangani statuta Roma. Dan selalu menolak kewenangan ICC mengadili personil militer AS. Intinya, AS berkeberatan dengan kewenangan ICC karena besar kemungkinan warga Amerika bisa jadi sasaran investigasi.

Sebab berdasarkan statuta Roma, ICC berhak menginvestigasi, bahkan mengadili, perorangan atau individual, yang didakwa terlibat dalam berbagai kejahatan yang masuk dalam perhatian komunitas internasioal seperti: genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan/crimes against humanity, dan crimes of aggression. Atas dasar itu, kalangan yang berkuasa di Washington, menentang wewenang ICC karena bakal menyeret banyak pejabat tinggi baik sipil maupun militer.

Dalam kasus penyerangan terhadap Soleimani, Trump dan Pompeo nampaknya termasuk yang bisa dijerat Statuta Roma. Hanya saja ya itu tadi, AS tidak termasuk negara yang menandatangani Statuta Roma. Jadi banyak kalangan yang berhaluan realis berpendapat lebih baik abaikan saja ide untuk menyeret Trump dan para petinggi militer AS ke ICC.

Kalau begitu, bagaimana dengan sikap negara-negara sekutu AS dari Eropa Barat seperti NATO? Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, seperti sudah diduga, mendukung penyerangan militer terhadap Soleimani. Lebih gilanya lagi, Stoltenberg yang seharusnya lebih mewakili pandangan lintas negara, juga termasuk yang mengabaikan wewenang ICC.

Memang pada kenyataannya, dari 29 negara anggota NATO, ICC hanya diakui oleh 14 negara. Namun anehnya, Sekjen NATO itu mengeluarkan pernyataan yang cukup aneh terhadap Iran: “Iran harus menahan diri untuk tidak melancarkan provokasi dan tindak-kekerasan.”

Padahal, justru serangan pesawat nirawak drone AS yang menewaskan Soleimani itulah yang termasuk tindak-kekerasan. Sehingga serangan drone AS terhadap Soleimani dan pasukan elit Iran itulah yang termasuk dalam kategori provokasi.

Sebaliknya, para petinggi militer NATO mengabaikan begitu saja fakta bahwa ada banyak warga Iran dan Irak yang dibantai melalui serangan rudal yang diluncurkan dari pesawat drone atas perintah dari para komandan militer negara-negara yang tergabung dalam NATO.

Ironisnya, ketika menyangkut para pemimpin dari negara-negara yang masuk kategori musuh Amerika atau NATO, NATO terlibat dalam membantuk menyeret Slobodan Milosovic, Presiden Serbia, untuk diadili di ICC.

Namun semakin ke sini, NATO semakin menjauh dari konvensi internasional maupun ketentuan hukum internasional. Hal itu semakin jelas ketika NATO ikut terlibat dalam operasi militer menjatuhkan Presiden Libya Moamer Khadafi pada 2011. Dan sekarang, Trump menyerukan dunia untuk meletuskan tembakan. Termasuk mendesak NATO agar terlibat mengatasi pembusukan di Timur-Tengah, yang pada hakekatnya merupakan kreasi AS pada awalnya.

Dalam pembicaraan via telpon antara Trump dan Stoltenberg pada 8 Januari lalu, NATO kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa Presiden Trump mendesak Sekretaris Jenderal NATO agar semakin terlibat di Timur-Tengah. Mereka bersepakat bahwa NATO dapat melibatkan diri lebih intensif dalam rangka menciptakan stabilitas regional, dan memerangi aksi terorisme internasional.

Apa yang dimaksud Trump dengan meminta NATO lebih terlibat? Penambahan personil pasukan militer? Peningkatan jumlah pesawat drone? Semakin banyak warga sipil yang tidak berdosa? Sehari setelah pertemuan dengan Sekretaris Jenderal NATO, Trump mengemukakan kepada pers bahwa kehadiran pasukan NATO harus ditingkatkan, termasuk di kawasan Timur-Tengah.

Nampaknya kunci dari sikap NATO yang mendukung pembunuhan Soleimani, karena sikap Inggris. Perdana Menteri Boris Johnson, secara total mendukung pembunuhan Soleimani. Seraya mengatakan bahwa Inggris sama sekali tidak merasa prihatin dengan terbunuhnya Soleimani. Sehingga mustahil muncul pernyataan penyesalan terhadap pembunuhan Soleimani baik dari Inggris maupun para politisi Barat lainnya.

Sayangnya, justru akibat dari persekongkolan AS dan Inggris terkait pembunuhan Soleimani tersebut, justru pada perkembangannya bisa membahayakan kekompakan di antara negara-negara NATO. Karena tidak semua negara NATO setuju mengenai berlanjutnya kehadiran militer NATO di Irak. Sehingga ketika Trump memaksakan kehendaknya agar NATO lebih meningkatkan keterlibatannya di Timur-Tengah, maka hal ini akan membuat posisi Sekjen NATO Stoltenberg dan para petinggi militer NATO lainnya, dalam situasi yang sulit.

Sebab menyusul terbunuhnya Soleimani, pada 7 Januari lalu, beberapa negara anggota NATO nampaknya merasa khawatir sehingga telah menarik pasukannya dari Irak.  Antara lain Jerman, menarik 30 dari 130 personilnya.  Rumania merelokasi 14 personil militernya, Krosia dari total 21 personil pasukannya, 14 dipindahkan dari Irak ke Kuwait. Sisanya kembali ke negaranya. Latvia dan Denmark memindahkan pasukannya dari Irak ke Kuwait. Namun Inggris, pasukan terbesar NATO di luar AS yang berada di Irak sebesar 400 personil, sama sekali tidak mengumumkan langkah-langkah untuk menyelamatkan personil pasukannya.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com