Persenjataan Nuklir dalam Tatanan Multipolar

Bagikan artikel ini

Diolah kembali secara bebas oleh Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute

Apakah persenjataan nuklir dalam tatanan global yang bersifat multipolar seperti sekarang ini bisa jadi jaminan terciptanya perdamaian?

Itulah tema pokok artikel yang ditulis oleh  Federico Pierracini di situs https://www.strategic-culture.org/news/2018.

Sejak berakhirnya perang dunia kedua dan dimulainya perang dingin, Amerika Serikat menjelma jadi salah satu kekuatan bipolar dengan selain Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Namun pada 1989, seiring dengan runtuhnya tembok Berlin dan Uni Soviet, maka AS sontak jadi kekuatan unipolar. Satu-satunya negara adikuasa yang tiada saingan.

Maka balance of power atau perimbangan kekuatan yang tercipta selama 30 tahun era perang dingin, usai sudah. Kelompok-kelompok garis keras di Washington seperti kaum Neokonservatif yang berbasis di Partai Republik, merasa mendapat momentum untuk membangkitkan kembali AS sebagai sebuah imperium. Maka, ketika George W Bush berkampanye untuk jadi presiden periode 2000-2004, kelompok Neokonservatif merasapat ke kubu Bush. Dan menyusun garis-garis besar haluan politik luar negeri AS dengan nama Project New American Century (PNAC). Alhasil, kelompok ultra kanan AS tersebut menggirin superioritasnya sebagai kekuatan unipolar ke medan tempur. Untuk mewujudkan hegemoni globalnya.

Namun belakangan hal itu dipandang sebagai tujuan yang terlalu ambisius dan tidak realistis. Masih segar dalam ingatan kita, tulis Federico Pierracini, bagaimana AS dengan begitu bernafsu menginvasi dan melancarkan pemboman ke berbagai kawasan dunia. Afghanistan, Somalia, Serbia, Irak,  Suriah, Libya, dan Lebanon.

Belum lagi operasi-operasi belakang layar dalam mendukung tumbangnya beberapa rejim seperti di Tunisia, Yaman dan Mesir, melalui apa yang kita kenal dengan Arab Spring. Yang pada hakekatnya merupakan kudeta non-bersenjata maupun dalam mendukung kudeta bersenjata terhadap Khadafi di Libya dan Suriah.

Eropa Timur, yang pernah jadi basis kekuatan politik dan militer Uni Soviet juga jadi sasaran serangan non-militer seperti yang kita kenal dengan sebutan Orange Revolution.

Baik melalui cara militer maupun non-militer, serangkaian operasi dukungan terhadap penggulingan pemerintahan yang dipandang tidak bersahabat terhadap AS, sejatinya merupakan upaya Washington untuk memperluas pengaruhnya di berbagai kawasan dunia.

Dalam sajian tulisannya yang bergaya feature itu, Federico Pieraccini secara rinci menggambarkan berbagai modus yang dilancarkan AS untuk melumpuhkan atau mendestabilisasikan negara-negara sasaran. Misal melalui IMF dan Wallstreet, AS melancarkan aksi subversiv ekonomi atau terorisme keuangan untuk melumpuhkan sebuah negara.

Bahkan bukan itu saja. Melalui terorisme dalam arti yang sesungguhnya, AS secara sadar mendukung kelompok-kelompok ekstrimis bersenjata berhaluan NAZI/Fasisme di Ukraina. Maupun kelompok-kelompok bersenjata berkedok Islam radikal di Suriah dan Libya.

Negara-negara adikuasa lainnya yang dipandang melalui skema PNAC sebagai musuh abadi adalah Cina dan Rusia. Selain Iran dan Korea Utara. Namun berkat keberhasilan Rusia dan Cina meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kekuatan militernya, kedua negara adikuasa tersebut kemudian tampil sebagai kekuatan keseimbangan baru membendung upaya hegemoni global AS.

Dengan demikian, skema hegemoni militer kaum Neokonservatif maupun skema campur-tangan berbasis politik liberal ala Partai Demokrat AS, sama-sama berhasil dimentahkan.

Dalam analisis Federica Pieraccini, sejak Crimea yang semula berada dalam kekuasaan Ukraina kembali ke pangkuan Rusia, sejatinya dominasi AS sebagai kekuatan unipolar berakhir sudah. Setidaknya memudar.

Maka itu, dalam situasi baru itu, tatananb global nampaknya bergerak ke arah multipolar. Bagaimana memaknai konteks keberadaan persenjataan nuklir di era multipolar saat ini? Dalam pandangan Pietraccini, era baru yang kita hadapi sekarang ini sangat berbahaya dan beresiko.

Semua kekuatan global, tidak hanya AS, menerapkan strategi Mutual Assured Destruction (MAD), yang mana semua negara-negara yang menerapkan MAD  berkemampuan untuk saling memusnahkan satu sama lain hanya dalam bilangan menit.

Dalam skenario multipolar yang ditandai oleh kemampuan nuklir yang mana negara-negara pengguna nuklir bisa saling menghancurkan satu sama lain, rasa-rasanya baik AS mauoun Cina dan Rusia, sama-sama ingin mempertahankan survival-nya dengan mendayagunakan semua sarana yang ada.

Pada tataran ini, secara dialektika terjadi perkembangan yang menarik. Bahwa tatanan global multipolar tercipta sebagai respons berbagai negara atas upaya hegemoni global AS. Dorongan ke arah tatanan multipolar itu muncul di Eropa, Asia, dan Timur-Tengah

Beberapa negara kecil terpaksa tergantung pada negara-negara besar lainnya untuk mengimbangi upaya hegemoni global AS. Seperti Rusia dan Cina.

Perkembangan terkini di Timur-Tengah pada perkembangannya bertautan dengan persaingan global antara Washington, Moskow dan Beijing. Yang tentunya juga melibatkan sekutu-sekutu regional Cina dan Rusia di kawasan ini.

Di Asia, AS nampak jelas berupaya dengan berbagai cara menghalangi terciptanya persekutuan strategis negara-negara Asia dengan Cina.

Kombinasi kegagalan militer AS dan upaya yang ambisius dalam mewujudkan hegemoni global sebagai kekuatan unipolar, pada perkembangannya telah menciptakan sebuah realitas global baru. Realitas Global Multipolar.

Ketegangan yang berlangsung beberapa tahun belakangan ini, dipicu oleh upaya hegemoni global AS yang kemudian diimbangi oleh manuver-manuver balasan dari Rusia dan Cina.

Dalam situasi demikian, negara-negara adikuasa tersebut sama-sama meningkatkan program persenjataan nuklirnya seperti sistem pertahanan antirudal Termasuk Intercontinental Balistic Missile (ICBM) maupun pembom nuklir strategis. Seperti yang dilakukan AS. Sedangkan Cina mengembangkan stealth bombers. Adapun Rusia mengembangkan nuclear-powered underwater drone. Pesawat nirawak drone di bawah permukaan air.

Dalam situasi yang diwarnai oleh Strategi militer MAD tersebut di atas, instabilitasi menjadi dasar terciptanya balance of power seperti di era polarisasi kutub sepertinya akan berulang kembali. Mengingat masing-masing negara pengguna nuklir sama menyadari bahwa jika salah satu memulai perang nuklir, akan direspon oleh serangan nuklir yang sama dari pihak lawan.

Dalam tatanan yang belum ada preseden sebelumnya ini, ada empat kekuatan global yang perlu diperhitungkan. AS, Cina, Rusia, dan India.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com