Pertemuan Tingkat Tinggi Trump-Jinping Oktober 2025 dan Potensi Instabilitas Politik-Keamanan di Asia Pasifik

Bagikan artikel ini

Sasaran Geopolitik di balik Strategi Indo-Pasifik yang dirancang oleh Amerika Serikat dan Inggris semakin mudah terbaca. Secara geografis, Indo-Pasifik secara geografis mencakup negara-negara yang berada dalam lintasan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik bagian barat dan tengah, termasuk Laut Cina Selatan. Dengan demikian, Washington dan London yang hingga kini masih solid menjalin persekutuan tradisional,  nampak jelas bermaksud mengubah peta di Asia Pasifik dalam kerangka kebijakan luar negeri dan strategis yang lebih menguntungkan persekutuan AS-Inggris-Australia.

Memang kalau kita nyelisik secara mendalam, kawasan Asia Pasifik yang diperluas melalui skema Strategi Indo-Pasifik Amerika Serikat, praktis meliputi meliputi Asia Timur, Asia Selatan, Pasifik Barat, dan Samudra Hindia. Kawasan ini mempunyai setengah dari jumlah total populasi dunia,  dua pertiga perekonomian dunia. Dan ini yang juga sangat penting, terdapat tujuh negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia.

Sebagai Referensi Pembanding Baca:

US Indo-Pacific Strategy: Implications For Pakistan

Mengapa dalam konsepsi Geopolitik AS, Inggris dan Australia merasa tidak puas dengan Asia Pasifik, padahal dalam konsepsi geopolitik sebelumnya, tidak ada yang namanya Indo-Pasifik? Jawaban sederhananya, melalui konsepsi Geopolitik Indo-Pasifik, Washington dan London punya dalih untuk memasukkan Samudra Hindia dalam skema penggalangan kekuatan regional membendung pengaruh Cina di Asia Pasifik. Singkat cerita, sebagai episentrum kekuatan global, rasanya sulit disangkal jika AS kemudian merilis Strategi Indo-Pasifik pada 2022.

Memasukkan Samudra Hindia dalam Skema Indoi-Pasifik AS, Washington dan London punya dalih untuk melibatkan India dalam Persekutuan AS-Inggris-Australia membendung Cina di Asia Pasifik dalam mata-rantai yang terhubung antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Bisa dimengerti jika Laut Cina Selatan menjadi isu paling strategis dan krusial dalam Skema Persekutuan Indo-Pasifik.

Lebih lucunya lagi, melalui Skema Indo-Pasifik AS tersebut, bahkan negara-negara Eropa seperti Prancis pun dapat tergalang dalam persekutuan Indo-Pasifik oleh sebab keterhubungan kedua Samudra tersebut.

AS dan sekutu-sekutu strategisnya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), memang merasa semakin khawatir dengan manuver Cina menggalang kerja sama ekonomi dan perdagangan melalui Skema Belt Road Initiative (BRI) yang mana gagasan utamanya adalah membangun konekvitas geografis negara-negara dalam lintasan Jalur Sutra dalam kerangka kerja sama ekonomi dan perdagangan. Sehingga negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN, semakin erat hubungannya dengan Cina. Terutama Myanmar, Kamboja, dan Laos.

Adapun eks negara jajahan Inggris seperti Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia, apalagi Filipina yang memang pernah dijajah AS, masih memungkinkan untuk tergalang dalam Skema Persekutuan Indo-Pasifik. Namun klaim Cina bahwa seluruh wilayah Laut Cina Selatan yang disengketakan, berada dalam kedaulatan nasional Cina, barang tentu sangat mengkhawatirkan AS dan sekutu-sekutunya.

Dari sebab itulah dicanangkannya persekutuan empat negara AS, Australia, Jepang dan India (QUAD), tujuan tersembunyinya adalah menciptakan aksi destabilisasi di kawasan Asia Pasifik. Sehingga mengondisikan terciptanya polarisasi kekuatan dan power blok antar-negara-negara di Asia Tenggara, Asia Timur, dan Asia Selatan. Apalagi di Asia Timur, Taiwan dan Semenanjung Korea hotspot yang bisa memicu konflik bersenjata berskala regional antara Cina versus Taiwan, maupun antara Korea Selatan versus Korea Utara.

Di Asia Selatan sendiri, konflik laten antara India dan Pakistan bisa berpotensi tak terkendali jika pada perkembangannya menjadi konflik bersenjata. Pemicunya pun tersedia seperti sengketa wilayah Kashmir dan Tibet. Nepal yang secara lokasi geografis diapit oleh India dan Cina, bisa juga berpotensi tak terkendali dalam menciptakan destabilisasi kawasan.

Namun perkembangan terkini menunjukkan bahwa eskalasi konflik AS versus Cina, masih berlangsung di medan diplomasi dan perundingan di area ekonomi dan perdagangan. Namun seperti diwartakan pada 9 Oktober 2025 lalu, perang dagang AS-Cina inipun berlangsung cukup sengit.

Baca:

China sanctions US defence firms, chip data provider in latest curbs

Di tengah sengitnya penetapan tarif impor oleh pemerintah AS,  Beijing telah mengumumkan sanksi terhadap sejumlah perusahaan dan lembaga Barat di sektor pertahanan dan intelijen – termasuk penyedia analisis data semikonduktor terkemuka. Beijing juga melarang Empat belas entitas, sebagian besar berkantor pusat di AS, untuk berdagang dan berinvestasi di Cina.

Bukan itu saja. Di antara perusahaan dalam daftar tersebut adalah TechInsights, sebuah firma berbasis di Kanada yang mengkhususkan diri dalam intelijen semikonduktor, rekayasa balik, dan analisis pasar.

Xu Tianchen, ekonom senior Tiongkok di Economist Intelligence Unit, mengatakan langkah Beijing dapat dilihat sebagai cara untuk mendapatkan pengaruh menjelang pertemuan antara Donald Trump dan Xi Jinping pada bulan Oktober ini.

Namun menyinggung sekilas tentang keunggulan komparatif Cina terhadap AS saat ini, Cina sekarang ini merupakan produsen mineral penting (rare earth minerals) terbesar di dunia. Yang mana mineral penting ini dapat digunakan untuk baterai lithium-ion dan semi konduktor. Bahkan bisa digunakan sebagai bahan industri pesawat terbang, TV LED, lensa kamera, dan masih banyak lagi.

Bisa jadi, terlepas ketegangan yang tercipta seturut dicanangkannya Stategis Indo-Pasifik AS pada 2017, perang perebutan mengakses sumberdaya alam inilah yang merupakan sumbu konflik kedua negara adikuasa tersebut di Asia Pasifik.

Dengan itu, adalah tepat bagi Indonesia dan negara-negara di Asia Pasifik, terutama Asia Tenggara, sebaiknya secara cermat memonitor ketegangan global kedua negara adikuasa tersebut. Untuk kemudian melalui Skema Non-blok dan Global South, kita tampil dengan mengetengahkan Strategi Perimbangan Kekuatan (Balancing Strategy) yang pro aktif dalam aksi diplomasi namun konstruktif dalam merumuskan kebijakan luar negerinya.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com