Ketika Presiden Xi Jinping melakukan isolasi mandiri selama 10 hari sepulang dari Samarkand, Uzbekistan dalam rangka menghadiri Pertemuan Puncak SCO (Shanghai Cooperation Cooperation) pada pertengahan bulan September 2022, santer tersiar rumor tentang kudeta penggulingan pemimpin Cina tersebut dari kekuasaannya sebagai Presiden RRC. Rumor tersebut lenyap setelah Xi Jinping dengan didampingi PM Cina Li Keqiang serta sejumlah petinggi partai dan pejabat pemerintahan, muncul di depan publik pada tanggal 27 September untuk menyaksikan Expo Pembangunan Cina selama satu dekade terakhir di Exhibition Hall, Beijing.
Pepatah mengatakan ‘kalau tidak ada api tentulah tidak ada asap’. Dihembuskannya rumor kudeta terhadap Xi Jinping bukannnya tanpa dasar sama sekali. Ada beberapa kejadian sebelumnya yang bisa dirangkai mengarah ke kesimpulan kudeta. Sejak Sidang KRN (Kongres Rakyat Nasional) bulan Maret 2018 yang menghapus pembatasan masa jabatan Presiden RRC (Republik Rakyat Cina) dua periode, sejumlah petinggi senior PKC (Partai Komunis Cina), seperti dua mantan Presiden RRC Hu Jintao dan Jiang Zemin serta mantan PM RRC Zhu Rongji sudah menunjukkan penentangannya terhadap jabatan presiden lebih dari dua periode. Hu dan Jiang serta Zhu yang merupakan penerus setia tokoh reformis Deng Xiaoping beranggapan guna menghindari praktek kultus individu seperti era Mao Zedong, kekuasaan harus dipusatkan pada partai dalam bentuk kepemimpinan kolektif.
Dengan dalih penerapan program ‘Anti Korupsi’, sejak 2017 Xi Jinping telah mencopot dan memenjarakan sejumlah pejabat penting pemerintah yang dianggap sebagai penentangnya atau berpotensi menyaingi reputasinya sebagai pemimpin partai dan pemerintahan. Upaya Xi untuk memuluskan jalannya menjadi ‘Orang Kuat’ pertama di Cina terlihat jelas ketika pendahulunya, mantan Presiden Hu Jintao yang tidak sependapat dengan Xi Jinping, dipaksa keluar dari ruangan sidang menjelang penutupan Kongres PKC ke-20 di Beijing. Tanda-tanda munculnya kembali ‘Power Struggle’ di Cina juga terlihat ketika Presiden Xi Jinping terburu-buru meninggalkan tempat pertemuan SCO di Samarkand, tanpa mengikuti resepsi penutupan serta membatalkan pertemuan bilateral dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden India Narendra Modi yang sudah dijadwalkan sebelumnya.
Xi Bangun Kekuasaan Terpusat A-La Mao
Power Struggle bukanlah suatu peristiwa luar biasa di Cina. Sejak RRC berdiri tahun 1949, sudah tercatat beberapa kali suatu situasi politik yang dapat dikategorikan sebagai ‘power struggle’ atau perebutan kekuasaan di tingkat elit petinggi PKC. Mao Zedong dalam usahanya membangun kekuasaan absolut pada jamannya, tidak segan menyingkirkan teman seperjuangan yang berani menyampaikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan radikalnya atau petinggi partai yang diperkirakan dapat menandingi kepemimpinannya di PKC, seperti Presiden Liu Shaoqi, Jenderal Lin Biao, Deng Xiaoping serta masih banyak kader-kader partai lainnya termasuk Xi Zhongxun, ayah kandung Xi Jinping. Revolusi Kebudayaan yang berlangsung tahun 1966-1972 merupakan alat kampanye Mao Zedong yang sangat agresif dan masif dalam menjaring ‘kelompok oposisi’ untuk dikirim ke pedesaan.
Sepeninggal Mao Zedong tahun 1976, orang kuat Cina ke-2 Deng Xiaoping berbuat yang sama menyingkirkan musuh-musuhnya serta mengurangi pengaruh Mao setelah terlebih dulu menggeser Hua Guofeng, ahli waris Mao Zedong. Melalui kebijakan ‘Gaige-Kaifang’ (Reformasi dan Pintu Terbuka), Deng dianggap sebagai tokoh reformasi Cina yang mengundang investasi dan teknologi besar-besaran dari Barat sehingga berhasil meningkatkan petumbukan ekonomi, pendirian banyak industri serta transfer teknologi maju dari AS dan negara-negara Eropa. Namun kebijakan liberal di bidang ekonomi tidak berbanding sejajar dengan sektor politik.
Menurut Deng, kondisi sosial-politik yang stabil merupakan prasyarat untuk menjalankan pembangunan ekonomi, sehingga diperlukan peran partai yang kuat untuk mengontrol pemerintah dan masyarakat. Guna mencegah kembalinya kultus individu terhadap seseorang, Deng memperkenalkan kepemimpinan kolektif dan pembatasan kekuasaan Kepala Negara dan pimpinan partai hanya 2 (dua) periode.
Gebrakan Deng Xiaoping telah memunculkan para pemimpin teknokrat yang konsisten memberi kesempatan kepada para profesional generasi muda untuk secara estafet menduduki pucuk pimpinan pemerintahan dan mengendalikan partai. Pergantian pimpinan mulai bergejolak ketika Presiden Xi Jinping, melalui amandemen Undang-Undang pembatasan jabatan Kepala Negara pada Sidang KRN tahun 2018, berusaha mengembalikan kepemimpinan absolut seumur hidup a-la Mao Zedong.
Untuk memuluskan upayanya tersebut, Xi Jinping harus membersihkan segala rintangan terutama kelompok oposisi, tidak terkecuali orang-orang yang selama ini berjasa membantunya dalam pemerintahan, kepartaian maupun lingkungan swasta.
Menjelang Kongres PKC ke-20 bulan Oktober 2022 dimana akan merupakan pertaruhan bagi Xi Jinping untuk mendapatkan mandat sebagai Sekjen PKC untuk ketiga kalinya, selanjutnya menuju perpanjangan jabatan sebagai Presiden RRC periode ke-3 pada bulan Maret 2023, Xi telah melakukan bersih-bersih penyingkiran individu atau kelompok yang bakal menghalanginya atau yang berpotensi menyaingi pamornya sebagai pemimpin Cina tertinggi. Ketika mantan Menteri Kehakiman Fu Zhenghua dan mantan Wakil Menteri Keamanan Publik Sun Lijun dicopot serta diadili dengan dakwaan korupsi dan penyuapan masih dianggap wajar, namun ketika Wakil Presiden Wang Qishan dan mantan Wakil Presiden Zeng Qinhong terpental dari posisinya di pemerintahan maupun dari jajaran elit PKC, maka pengamatan para ‘China watcher’ tentang adanya Power Struggle di Cina makin mendekati kenyataan.
Sebagai gongnya, pendahulu Xi Jinping mantan Presiden Hu Jintao dipaksa keluar ruangan sidang ‘Great Hall of the People’ menjelang penutupan Kongres PKC ke-20 pada tanggal 23 Oktober 2022. Meskipun media resmi RRC memberitakan bahwa Hu digiring keluar sidang karena alasan kesehatan, namun rekaman wartawan yang sempat beredar luas memperlihatkan bagaimana Hu Jintao sempat menolak untuk dipapah keluar oleh petugas keamanan atas perintah Xi Jinping. Selanjutnya 2 (dua) anggota Komite Tetap Politbiro, yaitu Wang Yang dan Li Keqiang yang dianggap kader dari Hu Jintao juga ditendang dari organ terpenting PKC yang hanya beranggotakan 7 (tujuh) kader elit. Dengan demikian posisi Li Keqiang sebagai Perdana Menteri RRC otomatis lepas pada Sidang KRN (Kongres Rakyat Nasional) bulan Maret 2023. Penggantinya yang namanya hampir mirip, yaitu Li Qiang sudah pernah bekerja di bawah Xi Jinping sebelumnya.
Kebijakan Xi Akan Makin Agresif
Menarik sekali untuk mencermati sejumlah kemiripan antara Xi Jinping dan tokoh panutannya, Mao Zedong. Tokoh revolusioner Mao Zedong yang berhasil ‘survive’ dalam memimpin ‘long march’ sepanjang 12.500 km sempat dipermalukan dan didesak mundur dari kepemimpinan partai karena gagal dalam program ambisiusnya ‘Da yue jin’ (Lompatan Jauh ke Depan) yang menimbulkan korban meninggal sekitar 50-an juta karena kelaparan, persekusi, buruh paksa dan eksekusi. Sementara itu Xi Jinping merasakan kepedihan ayahnya, Xi Zhongxun yang menjadi sasaran persekusi, diarak di jalanan dan dikirim bekerja ke daerah terpencil, oleh Pengawal Merah dari ‘Wenhua Geming’ (Revolusi Kebudayaan).
Jika Jiang Qing, istri ketiga Mao adalah seorang artis pentas Opera Beijing, menjadi penggerak utama Revolusi Kebudayaan yang membabat kaum profesional dan intelektual. Sementara itu Peng Liyuan, istri kedua Xi adalah seorang penyanyi ‘folk-songs’ populer yang jauh hari sudah menargetkan bersuamikan seorang yang sukses, ambisius dan bersikap menjadi big-Bos.
Prestasi Mao yang ingin ditiru oleh Xi adalah keberhasilannya menjadi Pemimpin Cina seumur hidup dengan kultus individu, pembangunan ekonomi sistem Sosialis, serta upayanya dalam memperkuat sektor pertahanan dan keamanan negara. Sebagaimana Mao yang lebih mengutamakan ‘Merah’ (ideolog) daripada ‘Ahli’ (profesional), dalam rangka mengamankan posisi dan program-programnya, Xi lebih memprioritaskan kader-kader loyalis dibanding teknokrat profesional.
Kebijakan Xi Jinping di bidang ekonomi yang kini sedang digencarkan dan menjadi perbincangan banyak pihak adalah tentang program yang disebut ‘Gongtong Fanrong’ (Kemakmuran Bersama). Program yang pertama kali diperkenalkan oleh Mao Zedong pada tahun 1950 ini dimaksudkan untuk mengurangi jurang kaya-miskin yang dianggap bisa menghambat peningkatan ekonomi negara, kesejahteraan sosial serta mengancam legitimasi PKC.
Dengan program Kemakmuran Bersama (Common Prosperity) ini berarti pemerintah Cina akan mendorong peningkatan jumlah masyarakat tingkat menengah serta meningkatkan pendapatan orang-orang miskin, dengan menata penghasilan dari para pengusaha besar secara wajar serta melarang perolehan penghasilan secara ilegal. Dalam hal ini pemerintah Cina menganjurkan perusahaan serta perorangan yang berpenghasilan tinggi agar lebih banyak memberikan sumbangan kepada masyarakat. Seruan donasi dalam program ‘Common Prosperity’ ini segera ditanggapi dengan penyampaian sumbangan perusahaan-perusahaan raksasa untuk membiayai proyek-proyek masyarakat seperti Alibaba milik Jack Ma senilai RMB 100 milyar (US$ 15.5 milyar), Tencent RMB 100 milyar, Pinduoduo RMB 10 milyar, serta Xiaomi dan Meituan yang jumlahnya agak lebih kecil.
Pada pemerintahan Xi Jinping periode ketiga, para kader profesional pendukung kebijakan ‘Reformasi dan Pintu terbuka’-nya deng Xiaoping, seperti PM Li Keqiang, Wakil PM Liu He dan Gubernur Sentral Yi Gang terpental, digantikan dengan para loyalis yang tidak kompeten dan kurang berpengalaman yang diperkirakan akan membuat pertumbuhan ekonomi Cina menjadi tersendat.
Data World Bank menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Cina tahun 2022 berkisar 2.8%, hanya separoh dari target pemerintah sebesar 5.5%. Kondisi ekonomi di Cina makin diperburuk dengan berulangnya penyebaran berbagai varian Covid-19 yang ditanggapi tanpa kompromi oleh pemerintah China melalui kebijakan ‘Zero Covid’ dengan menerapkan karantina ketat dan ‘lockdown’ pada suatu daerah. Pemerintah juga tidak mampu untuk mengatasi perusahaan-perusahaan swasta jumbo yang mengalami kesulitan finansial atau mismanagemen hingga bangkrut, seperti perusahaan real-estate ‘Evergrande’ maupun perusahaan investasi ‘Huarong’, serta yang lainnya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penciptaan suhu ketegangan dan kewaspadaan tinggi terhadap ancaman dari luar merupakan strategi untuk menarik dukungan serta upaya dalam menyatukan berbagai kelompok di dalam negeri. Pada Kongres PKC ke-20 bulan Oktober 2022, Xi Jinping menyerukan untuk mempercepat pengembangan militer dengan cara ‘Zili Gengsheng he Shili’ (Kemandirian dan Kekuatan) di sektor teknologi dan pertahanan guna menjaga kepentingan nasional Cina di luar negeri.
Dalam menghadapi berbagai tantangan dari luar terutama yang berusaha untuk menekan dan membendung Cina berkiprah di fora internasional, Xi bertekad untuk lebih mempercepat program pembentukan ‘Minzu Fuxing’ (Peremajaan Nasional) yang dapat menempatkan Cina secara proporsional sebagai negara Adidaya dunia. Kepada jajaran diplomatnya, Xi meminta mereka agar lebih agresif dan berani dalam membantah dan menyerang balik kritikan maupun tuduhan yang ditujukan ke negara Cina. Para pengamat menyebut kiprah diplomat Cina yang agresif belakangan ini sebagai penerapan ‘Wolf Warrior Diplomacy’.
Khusus mengenai Taiwan, kebijakan dasar Cina tidak pernah berubah, yaitu Cina akan melakukan reunifikasi dengan Taiwan secara damai. Xi Jinping bertekad akan merealisasikan reunifikasi dengan Taiwan termasuk melalui cara kekerasan militer apabila tidak bisa dicapai dengan cara damai. Kunjungan Ketua Parlemen AS Nancy Pelosi ke Taiwan awal Agustus 2022 telah dimanfaatkan oleh Cina dengan menggelar pasukan besar-besaran di perairan Selat Taiwan melibatkan kekuatan PLA (People’s Liberation Army) matra Laut dan Udara serta unit peluru kendali.
Penunjukan Jenderal He Weidong, Komandan PLA Wilayah Timur yang meliputi Taiwan, sebagai Wakil Ketua CMC (Central Military Commission) yang berarti menjadi pengendali operasional tertinggi militer Cina juga tidak terlepas dari perhatian serius Xi Jinping terhadap upaya reunifikasi Taiwan. Penolakan pemerintah Beijing untuk mengecam ‘invasi’ tentara Rusia ke Ukraina menunjukkan kedekatan Cina dengan Rusia serta sekaligus menunjukkan protesnya kepada Barat terutama AS yang dianggap sering mengintervensi ‘kedaulatan’ Cina terhadap Taiwan.
Bekasi, 1 November 2022
Asruchin Mohamad, Mantan Duta Besar untuk Uzbekistan