Kajian Metafisika Politik
Prakiraan ini sebatas asumsi berdasar metafisika politik. Teori metafisika yang jadi rujukan catatan ini ialah tesis Dr Mulyadi, senior dosen politik di UI, Jakarta. Adapun definisi dan maksud metafisika politik ala Mulyadi, sudah pernah saya tulis panjang lebar di artikel kecil bertajuk: “Antara Lord Acton, Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, dan Teori Darwin (Suatu Tinjauan Metafisika Politik)“. Jadi, untuk menyingkat narasi, tidak perlu lagi saya terangkan pada catatan ini. Silakan googling saja. Dan kajian ini, juga berbasis falakiyah menurut perspektif Islam, khususnya hitungan tahun. Inilah uraiannya secara sederhana.
Tak pelak, sejak proklamasi kemerdekaan dibaca oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, hampir di setiap tahun yang angka belakangnya 5 (lima), republik ini kerap kali dilanda “isu berdarah”. Memang tidak setiap kali. Tak semua angka lima per/10 tahun mengalir darah. Ada pula yang landai dengan situasi sedemikian rupa, atau sedikit gejolak baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya (ekosob) maupun gejolak alam, misalnya, atau krisis politik (konflik) yang memang berdarah. Dalam hitungan falakiyah, angka “lima” itu identik dengan “api”. Dinamai tahun api.
Uraian singkat tahun api secara individu, contohnya, angka lima diartikan sebagai jiwa semangat atau api yang tidak kunjung padam pada satu sisi, namun melekat sifat pemarah, “kuping tipis”, mudah dihasut di sisi lain. Bila ditarik ke kondisi yang lebih besar minimal merujuk pada situasi dengan apa yang disebut “api dalam sekam”, maksimalnya —jika tanpa antisipasi— ia bisa menjadi gejolak berdarah.
Contoh. Situasi peperangan dalam rangka merebut dan mempertahankan kemerdekaan 1945 silam, atau Gerakan 30 September 1965 alias G30S/PKI. Nah, dua peristiwa di atas tergolong berdarah baik antara para pihak yang bertikai maupun korban rakyat sebagai tumbal politik.
Mundur sejenak. Lantas, isu berdarah semacam apa di tahun 1955?
Kala itu, Indonesia dianggap sukses menyelenggarakan Pemilu 1955 yang katanya paling demokratis dimana tentara dan polisi pun ikut nyoblos. Namun, pada saat yang sama kita dilanda perang saudara alias konflik vertikal melawan DI/TII di bawah kepemimpinan Kartosoewirjo.
Bagaimana kondisi “angka lima” pada dekade selanjutnya?
1975: Ditandai dengan invasi ke Timor Leste atau lebih dikenal sebagai Operasi Seroja tanggal 7 Desember 1975 tatkala militer Indonesia ‘masuk’ ke Timor melalui isu anti-kolonialisme dan anti-komunisme guna menggulingkan Fretilin yang berdiri pada 1974.
1985: Memang tidak ada kejadian signifikan terkait isu berdarah. Akan tetapi, peledakan candi Borobudur oleh Kelompok Imron dkk di Magelang pada Senin, 21 Januari 1985 cukup mengejutkan Indonesia bahkan publik global, karena status Borobudur sebagai salah satu (warisan) dari tujuh keajaiban dunia.
1995: Gempa di Kerinci mengguncang pada bulan Oktober dan menelan korban relatif banyak;
2005: Terdapat beberapa peristiwa, antara lain:
* Gempa bumi Nias-Simeulue berkekuatan 8,6 SR mengguncang Sumatera Utara pada 28 Maret (2005. Gempa ini mengakibatkan 915 –1.314 orang meninggal dunia dan 340 – 1.146 orang luka-luka.
* Tragedi pesawat Mandala jatuh di Medan pada 5 September 2005. Peristiwa ini menyebabkan 149 orang tewas.
* Ledakan bom di Pasar Tradisional Palu pada 31 Desember 2005.
* Dan lain-lain.
2015: Peristiwa 17 Juli 2015 di Tolikara, Papua, saat Hari Raya Idul Fitri. Isu SARA ini sempat meluas, meski korbannya hanya satu orang tewas tertembak, satu mushala, beberapa rumah, dan ruko warga terbakar, kenapa? Sebab, kuat diduga merupakan permainan intelijen asing yang ingin mengulang konflik horizontal di Ambon silam. Syukurlah aparat bergerak taktis dan para tokoh/masyarakat memiliki daya tangkal terhadap virus adu domba yang ditebar asing (baca: Permainan Intelijen Asing di Tolikara). Isu dimaksud akhirnya mampu dilokalisir, tidak melebar, dan padam.
Prakiraan Konflik dan “Pintu Masuk”-nya
Di penghujung 2024 ini, jelang 2025, bangsa ini tak boleh underestimate atas peristiwa serta data-data di atas. Kecenderungan politik, ekosob dan fenomena alam niscaya berulang sekali pun kondisinya nanti minimal.
Secara konstitusional bahwa pencanangan Indonesia Emas dalam RPJPN 2025-2045 alias Indonesia Mercusuar Dunia, selain harus digarap dengan sepenuh hati oleh para elit dan segenap anak bangsa, juga dipastikan terdapat para pihak baik eksternal (elit global) maupun proksi lokal (internal) yang “tidak suka” atas keberdayaan Indonesia di kancah internasional di satu sisi, hal ini ditandai dengan:
1. Bonus demografi 2030;
2. Hampir semua raw material industri dunia terdapat dan berserak di Indonesia;
3. Takdir (geo) posisi silang Indonesia di antara dua benua dan dua samudera;
4. Pasar yang potensial karena faktor demografi;
5. Histori dan kronologis Indonesia sebagai negara besar di masa silam;
6. Tingginya harapan rakyat terhadap kepemimpinan Prabowo Subianto selaku RI-8;
7. Dan lain-lain.
Sedang pada sisi lain, residu masalah yang merupakan side effect atas praktik rezim (sistem dan aturan) di era sebelumnya, misalnya:
1. Maraknya “politik glamor” produk UUD 1945 Hasil Amandemen (1999 – 2002) yang cenderung gaduh, mewah dan terlihat gemerlap di atas permukaan, akan tetapi — selain tidak menyentuh Kepentingan Nasional RI, juga membelah rakyat serta melemahkan Sila ke-3 dari Pancasila;
2. Kesenjangan antara kaya dan miskin semakin lebar ditandai kekayaan 1% orang sama dengan 100 juta warga;
3. Menurunnya daya beli masyarakat/deflasi;
4. “Utang” dan defisit APBN 2025 – 2029;
5. Bangkrutnya pabrik-pabrik, tutupnya beberapa starup dan isu PHK massal;
6. Beberapa isu warisan terkait korupsi;
7. Isu fufufafa yang mencoret wajah (moral) bangsa;
8. Dan seterusnya.
Secara filosofi, adanya kesenjangan yang lebar antara harapan dan kenyataan niscaya akan menjadi pintu masuk sebuah gejolak, misalnya, selain lebarnya gap antara si kaya dan miskin —maka perlu pemerataan— juga harapan rakyat digantung tinggi atas pidato-pidato Prabowo yang kental nasionalisme, heroik lagi pro rakyat di satu sisi, nantinya justru bisa memantik gejolak politik dan ekosob jika kenyataan hidup mayoritas rakyat ke depannya tetap suram. Bukannya senjata makan tuan, hanya kakehan gludhug kurang udan, kata orang Jawa. Entah dari sisi mana pintu gejolak kelak meletus.
Lalu, bagaimana antisipasi dan upaya minimalisir agar konflik tidak berdarah-darah?
Bersambung ke (2)
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments