Prakiraan Gejolak 2025 di Indonesia (2/Habis)

Bagikan artikel ini
Antisipasi dan Upaya Minimalisir Konflik
Pertanyaan menarik muncul, “Bagaimana antisipasi negara cq pemerintah serta upaya untuk minimalisir konflik agar gejolak tak berdarah-darah?”
Kita menyelam sebentar. Ada prakiraan khusus menyeruak, bahwa gejolak 2025 diperkirakan lebih dahsyat daripada gejolak 1998. Kenapa? Bila gejolak politik 1998 adalah by design asing guna menjatuhkan Pak Harto. Penjatuhan Orde Baru hanya sasaran antara belaka, sedang tujuan pokoknya ialah mengganti UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 karya the Founding Fathers menjadi UUD NRI 1945 tanggal 10 Agustus 2002, atau oleh aktifis konstitusi kerap disebut UUD2002. Unik bin ajaib. UUD produk amandemen tersebut (1999-2002) terbit tanpa naskah akademik, dan tidak bernomor pada Ketetapan MPR/Tap MPR-nya.
Inilah peperangan asimetris (asymmetric warfare) yang digelar oleh Barat cq Amerika Serikat (AS) di Bumi Pertiwi dan tergolong sukses, mengapa? Selain tepat ke jantung (mengganti sistem alias konstitusi) negara, juga ada bonus propaganda yang kian mengaburkan modus gaya baru kolonialisme yakni: ‘Stockholm Syndrome‘. Bahwa tidak sedikit rakyat dan para elit malah “jatuh cinta” dan memuja kaum penjajah yang (mau) merampas kehidupan dan masa depannya. Inilah yang sedang terjadi namun tak disadari sebagian anak bangsa.
Menurut Salamuddin Daeng, inti amandemen UUD 1945 ialah transfer of power atau transfer kekuasaan dari tangan negara kepada tangan oligarki swasta. Pada gilirannya, tanpa perlu letusan peluru, bangsa ini kembali “dijajah” melalui sistem. Dan sebagai catatan khusus, Cina kini justru lebih menikmati hasil perang asimetris (“reformasi”) alias transfer of power di Indonesia daripada AS sendiri selaku si pembuka pintu.
Balik ke topik. Sekali lagi, jika kerusuhan 1998 lebih kuat faktor eksternal bermain. Gerakan reformasi silam merupakan agenda asing alias hajatan global. By design AS cq National Democratic Institute (NDI) pimpinan Mademe Albrigh yang dibantu “londo blangkonan” atau kelompok proksi lokal.
Nah, gejolak 2025 nanti diprakirakan faktor internal lebih kental atas nama “api dalam sekam” akibat beberapa hal, baik efek tujuh poin positif maupun dampak delapan poin negatif yang diurai (Bag-1) di atas. Dan dipastikan, anasir asing tetap membonceng saat kegaduhan. Selain untuk menanam konsesi politik, misalnya, atau upaya mempertahankan privilege yang telah diperolehnya selama ini, juga merebut serta mencari peruntungan baru. Mengapa begitu? Bahwa tidak ada revolusi tanpa redistribusi aset. Inilah (geo) ekonomi yang selalu diperebutkan siapapun kaum penjajah.
Sesuai sub judul di atas, pertanyaan yang timbul, “Bagaimana antisipasi dan upaya minimalisir konflik?”
Tak boleh disangkal, Presiden Prabowo Subianto mutlak harus melakukan creative destruction (terobosan merusak), bukan sekadar creative breakthrough semata. Apa bedanya? Ibarat pohon, creative breakthrough cuma inovasi terhadap cabang (taktis) dan/atau ranting-rantingnya (teknis), sedangkan creative destruction lebih kepada memperbaiki pokok pohon atau kalau perlu hingga ke akar-akarnya (visi, grand strategy dan filosofi). Itu sekilas garis besar perbedaan keduanya.
Pemberantasan judi online, misalnya, tak cuma menyasar ke ranting dan cabang, tetapi menangkap bandar serta beking di belakangnya. Juga pemberantasan korupsi. Tidak hanya menangkap korupsi anggaran, tetapi menyasar pula ke korupsi kebijakan sebagai sumber tindak korupsi. Termasuk pemberantasan mafia impor yang banyak merugikan petani, peternak, UMKM serta melemahkan keberdayaan rakyat pada umumnya, dan banyak lagi lainnya.
Dan sebaik-baiknya creative destruction, menurut hemat penulis ialah kembali ke UUD 1945 yang lahir pada 18 Agustus 1945 dengan berbagai penyempurnaan lewat teknik adendum.
Kenapa demikian?
Karena, inilah kontra skema anak bangsa terhadap transfer of power dari kekuasaan negara kepada oligarki yang dilakukan oleh asing di Indonesia melalui “agenda reformasi” (1999-2002) silam.
Tak ada maksud menggurui siapapun dalam telaah ini, hanya sharing pemikiran atas konstelasi politik yang berlangsung dengan asumsi, tanpa kembali ke UUD Naskah Asli dengan penyempurnaan melalui teknik adendum, pencapaian Indonesia Emas 2045 tidak akan optimal.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpum kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com