Dalam kancah persaingan global di ranah ekonomi di kawasan Asia Pasifik dewasa ini, praktis dikuasai oleh tiga negara adikuasa di bidang ekonomi: Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina dan Jepang. Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang mana Jepang termasuk mata-rantai blok barat ini, terlihat secara terang-benderang bermaksud memaksakan terciptanya kutub tunggal/unipolar perekonomian dan perdagangan di Asia Pasifik, dengan memprakarsai terbentuknya Trans Pacific Partnership (TPP). Sehingga sudah saatnya pemerintah Indonesia menyadari betul implikasi dari persaingan global kedua negara adikuasa tersebut terhadap soliditas dan kekompakan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN.
Jika kita telisik riwayat terbentuknya TPP, memang terlihat jelas adanya keterlibatan Amerika Serikat dan Inggris di balik pembentukan Kemitraan Lintas Pasifik tersebut. Dua dari tiga negara yang menggagas TPP setidaknya tercatat sebagai negara-negara yang tergabung dalam Perhimpunan Persemakmuran (Common Wealth) alias negara-negara eks jajahan Inggris. Yaitu Singapura dan New Zealand. Sedangkan Chile, merupakan negara berkembang dari kawasan Amerika Latin. Ketiga negara tersebut pada 2003 memprakarsai terbentuknya perjanjian dengan nama Trans-Pacific Strategic Economic Partnership.
Dua tahun kemudian, satu lagi negara anggota Common Wealth bergabung, Brunei Darussalam. Setelah itu, pada 2006, keempat negara tersebut bersepakat mendirikan TPP. Mereka kemudian dikenal sebagai P-4. Barulah pada 2008, skema sesungguhnya dari kepentingan strategis Amerika Serikat-Inggris mulai semakin jelas. Keempat negara perintis TPP tersebut kemudian memperluas skala keanggotaan TPP dengan masuknya Amerika Serikat, Australia, Peru, dan Vietnam. Pada 2012, ikut bergabung Kanada dan Meksiko. Lalu pada 2013 Jepang. Maka skema Trilateral yang mata-rantainya sudah dirajut oleh David Rockefeller dan Zbignew Brzezinski pada 1973 secara terang-benderang terungkap. Karena melalui skema Trilateral Commission itu persekutuan lintas kawasan terjalin antara Amerika Serikat, Eropa Barat dan Asia yang direpresentasikan oleh Jepang.
Setelah itu, yang semula Trans-Pacific Strategic Economic Partnership diubah menjadi Trans-Pacific Partnership (TPP). Yang kemudian secara resmi ditandatangani pada 5 Oktober 2015 lalu di Atlanta, negara bagian Georgia, Amerika Serikat. Pernyataan Presiden Barrack Obama menyusul peresmian TPP tersebut memang mengindikasikan ambisi hegemonik negaranya untuk menguasai kawasan Asia Pasifik di sektor perekonomian dan perdagangan. Presiden AS Barrack Obama mengatakan digagasnya TPP sebagai upaya dan strategi untuk meningkatkan peran AS di kawasan Asia Pasifik dengan kebijakan rebalance Asia. Frase rebalance Asia mengisyaratkan bahwa ada sebuah kekuatan besar yang harus diimbangi di kawasan Asia Pasifik. Sudah barang tentu yang dimaksud tiada lain adalah Republik Rakyat Cina.
Kedigdayaan Cina Mengganggu Rencana Amerika Serikat Menciptakan Kutub Tunggal di Asia Pasifik
Jika AS merasa cemas dengan semakin menguatnya pengaruh politik dan ekonomi Cina di Asia Pasifik nampaknya memang cukup beralasan. Sejak Revolusi Kebudayaan Mao Zedong dinilai gagal meningkatkkan kemakmuran ekonomi masyarakat Cina, maka Perdana Menteri Zhou Enlai yang merupakan mentor Deng Xiaoping sekaligus menyiapkan dirinya sebagai penggantinya kelak, mencanangkan Program Empat Modernisasi pada 1975. Adapun empat modernisasi itu adalah: Sektor Pertanian, Sektor Industri, Sektor Ilmu dan Teknologi, dan Sektor Pertahanan.
Meninggalnya Mao pada September 1976, semakin memuluskan penerapan program empat modernisasi tersebut. Pada pelaksanaan program ini Zhou didukung oleh dua kader andalannya yaitu Deng dan Zhou Ziyang. Sayangnya Zhou belakangan kemudian dicap terlalu liberal, sehingga tersingkir dari pentas politik Cina.
Pada 1982, setelah mengendalikan kekuasaan politik penuh di Partai Komunis Cina, menyusul meninggalnya Zhou, Deng mulai melakukan evaluasi yang kemudian menghasilkan kesimpulan perlunya membangun sosialisme dengan watak Cina. “Kemiskinan bukan sosialisme. Sosialisme berarti melenyapkan kemiskinan,”begitu cetus Deng seraya menegaskan bahwa sosialisme dengan watak Cina sama sekali bukan kapitalisme negara sebagaimana gambaran keliru yang disampaikan beberapa pakar ekonomi dari negara-negara barat.
Karena karakteristik sosialisme berwatak Cina bukan perjuangan kelas melainkan modernisasi masyarakat sosialis, maka langkah yang ditempuh bukannya meminggirkan kelas-kelas sosial, melainkan justru merangkul berbagai kelompok yang berbeda untuk menyukseskan Program 4 Modernisasi Deng. Seperti kelompok pengusaha, petani, kalangan profesional maupun kekuatan-kekuatan produktif lainnya.
Dalam kebijakan ekonominya, Deng menegaskan, bahwa beberapa daerah dan perusahaan, beberapa pekerja dan petani, harus memperoleh pendapatan lebih dan menikmati keuntungan lebih besar dari yang lain, sesuai kerja keras dan kontribusi mereka yang lebih besar kepada masyarakat. Jelaslah bahwa kebijakan Deng tersebut sama sekali di luar kerangka pemikiran Marxisme ortodoks yang selama ini kita kenal. Dasar pertimbangan Deng, apa yang dilakukan adalah bergelut dengan kenyataan Cina sehari-hari. Bukan kehendak subyektif atau lewat penafsiran dogmatis dari Marxisme.
Maka strategi nasional Deng adalah menciptakan pertumbuhan melalui pengelolaan kekuatan-kekuatan produktif. Karena dibolehkan adanya pertumbuhan, berarti dimungkinkan adnaya kepemilikan di luar kepemilikan publik dalam kegiatan ekonomi yang berciri sosialis. Maka tak heran menyusul diterapkannya kebijakan sosialisme berwatak Cina itu, perusahaan-perusahaan swasta bertumbuh pesat dan menghasilkan kekayaan bagi orang-orang yang mengelolanya. Perusahaan swasta kemudian menjadi lokomotif bagi modernisasi ekonomi Cina. Yang mencapai titik puncaknya sejak dekade 2000-an ini. Karena arahan Deng nampaknya diteruskan oleh pemimpin Cina sesudahnya.
Jika kita tinjau pembangunan lima tahun ke-11 periode 2006-2010, misalnya, Cina sudah berhasil menunjukkan dirinya sebagai basis industri terbesar di dunia. Urbanisasi ditandai dengan pertumbuhan kota yang pesat sebagai pusat pertumbuhan. Sebagai pasar terbuka Cina berhasil memiliki 500 perusahaan di peringkat teratas dunia, 450 di antaranya berhasil memasuki pasar Cina. Sumbangan modal asing terhadap pendapatan domestik bruto Cina berhasil meningkat 25,4 persen pada 2000 menjadi 37,7 persen pada 2004.
Kemajuan pesat tersebut tidak lepas dari rencana peran Zona Pengembangan yang sejak awal melandasi penerapan program 4 modernisasi. Setelah 3 tahun pertama modernisasi menyentuh pedesaan, di mana 800 juta petani mengalami perubahan hidup, modernisasi berikutnya menyentuh perkotaan. Pada Juli 1979, Deng Xiaoping kemudian melansir kebijakan membentuk zona kawasan ekspor khusus di Zhuhai, Shantou, dan Shenzen di Provinsi Guangdong serta Xiamen di Provinsi Fujian. Pada Mei 1980, zona kawasan ini diganti namanya jadi zona ekonomi khusus. Yang mana Deng membuka zona pengembangan di dikota di daerah-daerah tersebut dengan perhitungan bahwa orang-orang Cina Rantau (overseas Chinese) punya akar budaya di daerah-daerah tersebut.
Inilah yang kemudian investasi asing memberi kontribusi besar terhadap pendapatan domestic bruto Cina. Karena tidak saja pengusaha-pengusaha dari Hongkong dan Makau saja yang berinvestasi di Cina, bahkan dari Asia Tenggara dan Indonesia pun ramai-ramai menanam modal di beberapa daerah leluhurnya seperti di provinsi Guangdong dan Fujian.
Bukan itu saja. Pada April 1968, Hainan yang sebelumnya merupakan bagian dari Provinsi Guandong, kemudian dimekarkan jadi provinsi terendiri dan dimasukkan ke zona ekonomi khusus. Pada 14 Mei 1984, 14 kota pelabuhan dibuka secara resmi sebagai ekperimen berikutnya dari pemerintah Cina untuk menyukseskan modernisasi. 14 kota tersebut dari utara ke selatan berturut-turut adalah Tianjin, Shanghai, Dalian (Provinsi Liaoning), Qinhuangdao (Provinsi Hebei), Yantai, Qingdao (Provinsi Shandong), Lianyungang, Nanton (Provinsi Jiangsu), Ningbo, Wenzhou (Provinsi Zhejiang), Fuzhou (Provinsi Fujian), Guanghzhou, Zhanjiang (Provinsi Guandong), dan Beihai (Daerah Otonom Guangxi Zhuang).
Zona pengembangan ekonomi dan teknologi pada tingkat nasional di daerah kota dan pantai timur, sangat memanfaatkan benar keuntungan geografis yang ada dan meningkatkan status mereka menurut pembagian kerja internasional. Sementara itu, zona pengembangan bagian barat dan tengah kota serta provinsi cina mengambil keuntungan dari sumber daya lokal yang ada. Menariknya, pengembangan zona ekonomi ini secara aktif menyerap dana asing dan dengan menggenjot ekspor. Sehingga skala volume dan nilai ekspornya meningkat dari tahun ke tahun.
Industri-industri baru dan high-tech yang berorientasi ekspor yang berorientasi manufaktur modern semakin bertambah dan meningkat. Pusat-pusat penelitian dan pengembangan industri high-tech pun semakin bertambah. Pembangunan terpadu berbasis industri baru pun terus bertumbuh.
Fakta kebangkitan Cina sebagai adidaya ekonomi tersebut bisa dipastikan tidak lepas dari pantauan para perancang kebijakan strategis keamanan nasional di Washington. Tidak heran jika perjanjian TPP yang dibentuk untuk menggalang kekuatan membendung ekspansi Cina ke Asia Pasifik dan Asia Tenggara pada khususnya, sejak awal pembentukannya telah mencanangkan diri sebagai prototipe perjanjian kerjasama dagang abad 21.
TPP, Hajatan Korporasi-Korporasi Besar AS Lumpuhkan Ekonomi Nasional
Memandang semakin menguatnya pengaruh kekuatan ekonomi Cina maupun kekuatan ekonomi Cina rantau di Asia Pasifik dan Asia Tenggara belakangan ini, nampaknya cukup menggelisahkan beberapa korporasi global AS yang selama ini sudah mapan. Sehingga pembentukan TPP tidak lepas dari desakan beberapa korporasi tersebut kepada the US Trade Representatives.
Proses negosiasi dalam TPP itu sendiri ternyata berlangsung sangat tertutup. Dokumen dan detail kesepakatan TPP tidak pernah dibuka dan disebarluaskan untuk publik. Bahkan, berdasarkan pengakuan anggota Senat Amerika Serikat Ron Wyden, mayoritas anggota Kongres AS tidak bisa mengakses dokumen negosiasi TPP. Justru sebaliknya, 600 perwakilan korporasi, seperti Halliburton, Chevron, PHRMA, Comcast, dan Motion Picture Association of America, bebas mengakses dan memberi masukan dalam proses negosiasi TPP tersebut. Namun akhirnya, pada tahun 2013 lalu, Wikileaks berhasil membocorkan sejumlah dokumen yang disembunyikan.
Nampaknya skema AS dan Uni Eropa untuk memaksakan skema Unipolar melalui TPP adalah dengan memberlakukan Prinsip Perdagangan Bebas (Free Trade). Maka itu TPP mengatur agar negara-negara anggota memangkas tarifnya hingga 98% (target 0%) secara bertahap untuk 11.000 komoditas. Komoditas dagang tersebut termasuk termasuk susu, daging, gula, beras, produk hortikultura, makanan laut, produk pabrikan, sumber daya alam serta energi.
Jadwal pemangkasan tarif untuk masing-masing negara berbeda-beda, tergantung kesepakatan mereka secara bilateral satu sama lain. TPP juga menghendaki negara menghilangkan semua kebijakan yang berusaha melindungi produk dalam negeri, termasuk larangan kampanye membeli produk lokal. Jika perjanjian kerjasama perdagangan bebas yang lain seperti ASEAN Economic Community umumnya memungkinkan negara anggota untuk melindungi komoditas sensitif seperti produk pertanian, TPP meniadakan kemungkinan tersebut. Implikasinya, semua produk tanpa kecuali harus dibebaskan.
Dalam kondisi negara tersebut dapat bersaing, aturan itu akan menguntungkan. Namun jika produk-produknya tidak kompetitif, negara itu hanya akan jadi pasar bagi produk-produk negara lain. TPP berpotensi menggilas habis industri dalam negeri yang sangat mungkin menjadi korban karena tidak mampu bersaing dengan barang-barang impor.
Di sektor investasi, skema TPP pun sangat destruktif bagi kepentingan rakyat banyak, dan lebih menguntungkan kekuatan-kekuatan modal besar. Berbekal prinsip perdagangan bebas TPP meliberalisasi seluas mungkin perdagangan termasuk investasi. Dalam kesepakatan TPP terdapat komponen Investor-State Dispute Settlement (ISDS).
TPP mengatur agar negara membentuk ISDS guna menyelesaikan sengketa antara investor asing dengan pemerintah. ISDS adalah instrumen hukum internasional di mana investor dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap pemerintah sebuah negara bila menilai bahwa kebijakan pemerintah bersangkutan menghambat investasi mereka. Dengan adanya mekanisme ISDS ini tentu akan semakin menekan dan mengebiri peran pemerintah dalam mengatur kebijakan ekonomi. Secara singkat, kekuatan korporasi sangat besar dan punya kekuasaan untuk menggugat negara yang mengeluarkan regulasi atau menggugat negara yang mengeluarkan regulasi atau kebijakan yang mengganggu prospek keuntungannya.
TPP juga akan menjamin kemerdekaan investor di atas kepentingan publik dan negara. Di sini ada beberapa yang akan dilakukan: satu, setiap anggota TPP diharuskan membuka semua sektor ekonominya bagi investor asing, termasuk layanan publik (pendidikan, kesehatan, dll) dan barang publik (listrik, air, dll); dua, mempreteli hak istimewa BUMN dan memperlakukannya sama dengan usaha swasta; dan tiga, menderegulasi semua aturan yang menghambat atau merintangi kebebasan berinvestasi, termasuk menghilangkan aturan yang melindungi hak-hak buruh dan proteksi terhadap lingkungan. Sudah ada banyak negara yang menjadi korban dari mekanisme ISDS ini.
Tahun 2012, perusahaan energi asal Swedia, Vattenfall, menggugat pemerintah Jerman senilai 5 milyar USD karena kebijakannya menghentikan penggunaan energi nuklir. Di tahun 2012 juga, perusahaan pengolah limbah asal Perancis, Veolia, menggugat pemerintah Mesir sebesar 110 juta USD karena kebijakan negeri itu menaikkan upah minimum dan memperbaiki UU ketenagakerjaannya. Atau yang lain, korporasi rokok raksasa Philip Morris menggugat pemerintah Australia sebesar 50 juta USD karena kebijakan melarang merek dagang di pembungkus rokok.
TPP akan semakin memperkuat agenda neoliberalisme. Hampir semua agenda TPP sejalan dengan tiga agenda besar neoliberalisme, yaitu: satu, perdagangan bebas barang dan jasa;dua, sirkulasi bebas kapital; dan tiga, kemerdekaan dalam berinvestasi. Ironisnya, sebagian besar yang diuntungkan oleh agenda neoliberalisme ini adalah korporasi asal AS. TPP akan membuat barang dan jasa Made in America membanjiri negara- negara anggota TPP. TPP akan memaksa negara anggotanya untuk membongkar semua aturan pajak dan atauran ekspor/impor yang merintangi masuk dan keluarnya barang/jasa. Seperti diklaim oleh AS sendiri, sedikitnya 18.000 aturan pajak di 11 negara anggota TPP akan dibongkar untuk memudahkan masuknya komoditas barang dari AS. Selain itu TPP juga menjamin arus bebas kapital, termasuk melarang adanya pembatasan repatriasi profit atau dana. Ketentuan ini dapat menyulitkan negara anggota untuk mendorong kebijakan kontrol kapital guna melindungi mata uangnya, membatasi arus keluar-masuk uang panas (hot money), dan memberlakukan pajak atas transaksi keuangan.
TPP melarang negara memberikan keistimewaan kepada state-owned enterprises (SOEs) atau badan usaha milik negara (BUMN). Bagi Indonesia yang memiliki banyak BUMN dan kerap memberikan perlakuan khusus terhadap BUMN, hal ini dapat amat merugikan. Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan swasta harus dipriotaskan dan dianggap lebih penting daripada BUMN. TPP menempatkan kekuasaan korporasi terutama swasta di atas negara dan warga negara. Lembaga pemantau kebijakan publik Public Citizen menulis di website mereka, bahwa perjanjian TPP menempatkan seorang investor asing setara dengan negara berdaulat. Sebagai contoh, investor bebas menggugat negara berdaulat jika mengeluarkan aturan atau regulasi yang berpotensi mengurangi keuntungan mereka.
Terkait Intellectual Property Right, TPP menghendaki pengaturan yang lebih ketat untuk IPRs, perluasan pengertian investasi dan perlindungannya, seperti hak cipta dan hak paten. Misalnya, copyright untuk buku diperpanjang dari 50 tahun menjadi 70 tahun sejak kematian penulis sehingga mempersulit akses publik terhadap konten bersangkutan. Paten untuk obat dapat diperpanjang jadi lebih dari 20 tahun sehingga menyulitkan akses publik terhadap obat-obat generik murah. Aturan itu dipandang terlalu pro-korporasi farmasi dengan mengorbankan kepentingan publik.
Penerapan Skema TPP yang didasari Prinsip Perdagangan Bebas, nampaknya memang akan dijadikan kekuatan untuk membendung pengaruh Cina di Asia Pasifik. Skema Perdagangan Bebas yang menjadi landasan ideologis bagi perjanjiannTPP 12 negara, selain ditujukan untuk mengimbangi skema sosialisme berwatak Cina di negara-negara kawasan Asia-Pasifik, pada perkembangannya sekaligus akan dijadikan momentum bagi AS dan sekutu-sekutu eropa baratnya plus Jepang, untuk menerapkan penjajahan ekonomi gaya baru di kawasan tersebut.
Untuk itu, saatnya bagi Presiden Jokowi untuk memahami sepenuhnya skenario tersebut dan menyadari implikasi buruk dari keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian TPP tidak saja dari segi ekonomi, melainkan juga dari Politik-Keamanan maupun Sosial-Budaya.
Jika Indonesia akhirnya bergabung dengan TPP sebagaimana yang diisyaratkan Presiden Jokowi ketika di Washington beberapa waktu lalu, Indonesia tidak saja akan melumpuhkan daulat ekonominya, melainkan akan membahayakan azas dan prinsip politik luar negeri RI yang bebas dan aktif. Sebab dengan begitu, Indonesia secara otomatis jelas-jelas akan masuk dalam orbit pengaruh blok AS dan Uni Eropa.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments