Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dari Global Future Institute (GFI)
Semasa pemerintahan Bill Clinton, Amerika Serikat nampaknya bisa juga diperdaya musuh dalam sebuah perang intelijen. Hal ini bisa terjadi gara-gara kecerobohan badan intelijen AS sendiri, Central Intelligence Agency (CIA). Mari kita bongkar kembali berkas lama, Operasi Merlin yang digelar CIA pada masa pemerintahan Clinton pada 2000.
Operasi Merlin, kalau menelisik dari arti namanya, berarti melakukan program yang sama sekali berbeda dari apa yang tampak dari luar. Operasi Merlin ini gagasan dasarnya adalah sebuah misi untuk mencari tahu seberapa besar program nuklir yang sudah dibangun dan dikembangkan oleh pemerintahan Iran. Jadi semacam operasi intelijen untuk mengumpulkan informasi.
Maka melalui Operasi Merlin ini, pihak CIA bermaksud untuk mengesankan bahwa pihak Iran telah siap dengan teknologi nuklir. Seraya pada saat yang sama, Operasi Merlin ditujukan untuk memperlambat perkembangan program nulir Teheran.
Dengan cara bagaimana? Dengan mengirimkan ahli persenjataan nuklir ke Iran dengan membawa rancangan yang secara teknis salah. Dalam anggapan para arsitek operasi Merlin di markas besar CIA, mereka percaya jika pihak Iran mempunyai blueprint dalam program nuklirnya, sehingga ketika disodori rancangan palsu yang ditawarkan oleh agen CIA tersebut, pihak Iran akan bisa diyakinkan bahwa melalui design tersebut akan sanggup memulai pengembangan bom nuklir.
Dalam skenario yang dibayangkan oleh CIA melalui Operasi Merlin, ketika kemudian pihak Iran menguji-cobakan rancangan yang diumpankan kepada para agen intelijen Iran, maka percobaan nuklir Iran akan menemui kegagalan dan berakhir mengecewakan. Dengan begitu, pihak CIA berharap program nuklir Iran akan mundur secara memalukan, sehingga tujuan negara ini untuk menjadi negara nuklir akan tertunda untuk beberapa tahun.
Selain itu, dalam skenario yang dibayangkan oleh CIA, selain Amerika akan berhasil menggagalkan untuk sementara waktu proyek persenjataan nuklir Iran, pada saat yang sama Amerika akan memanfaatkan momentum kegagalan uji coba bom nuklir Iran untuk membongkar status program nuklir Iran yang selama ini berhasil dirahasiakan.
Lantas, bagaimana skenario ini dijalankan melalui suatu operasi intelijen? Nah di sinilah kecerobohan dan kekonyolan CIA kelak menjadi bahan tertawaan dunia internasional.
Untuk menjalankan skenario operasi ini, CIA merekrut seorang pembelot Rusia yang juga ilmuwan dan insinyur nuklir, yang saat itu sudah bekerja untuk CIA setahun sebelum penugasan ini. CIA memintanya membawa rancangan nuklir tersebut ke Wina, Austria, untuk kemudian diserahkan(dijual) kepadda perwakilan Iran di Internasional Atomic Energy Ageny (IAEA).
Dengan penawaran itu, CIA ingin membantu Iran dengan “satu lompatan” dalam perjalanan negar itu untuk meniti program nuklir.
Dalam pertimbangan CIA, merekrut ilmuwan Rusia tersebut merupakan langkah yang cukup taktis dan efektif, mengingat CIA sudah merekrutnya dengan gaji sebesar 5000 dolar AS per bulan. Sehingga CIA merasa aman untuk mengirimkan ilmuwan Rusia tersebut ke garis depan. Apalagi CIA juga telah membantunya mendapatkan status kewarganegaraan Amerika.
Maka briefing para pejabat CIA terhadap ilmuwan Rusia ini segera dimlali. Di sebuah kamar hotel mewah di San Fransisco, seorang pejabat senior CIA menjelaskan detil rencana kepada agen Rusia yang membelot tersebut.
Untuk gambaran persisnya, si agen Rusia binaan CIA ini ditugaskan untuk membawa blueprint bom nuklir, yaitu desain teknik untuk TBA 480 high-voltage block, yang dikenal sebagai “perkakas senjata” bikinan ahli senjata nuklir Rusia.
Di tangannya, ada pengetahuan mengenai bagaimana menciptakan ledakan sempurna yang dapat memicu reaksi berantai nuklir di dalam sebuah bola inti kecil. Rancangan ini salah satu rahasia rekayasa terbesar di dunia yang dapat mengatasi masalah, sehingga sebuah negara dapat bergabung dengan klub nuklir bergengsi seperti Amerika Serikat dan Rusia. Dengan kata lain, si Rusia diminta untuk menyerahkan rancangan blueprint hulu ledak nuklir ke pejabat Iran.
Begitulah penjelasan dan arahan pejabat senior CIA kepada ilmuwan Rusia tersebut. Namun si ilmuwan Rusia yang juga ahli nuklir inipun bukan orang bodoh yang begitu saja dengan gampangnya ditipu. Si ilmuwan Rusia ini kemudian mempelajari rancangan CIA yang diberikan kepadanya.
Dasar memang dia seorang pakar nuklir juga, hanya dalam beberapa menit setelah mempelajari dan membaca desain itu, dengan segera dia dapat mengidentifikasi “kesalahan pada rancangannya.”
“Ini tidak benar” katanya kepada para pejabat CIA yang hadir dalam pertemuan di hotel tersebut. “Ada sesuatu yang salah,” begitu analisisnya kemudian. Bodohnya para pejabat CIA ini, bukannya jujur malah pura-pura tidak tahu.
Namun sebenarnya, para pejabat CIA tersebut amat terganggu dengan komentas dan ulasan sekilas ilmuwan Rusia tersebut. Pejabat CIA yang mendampingi ilmuwan Rusia tersebut khawatir dan coba mengutarakannya kepada pejabat-pejabat CIA yang lebih senior. “Dia(si Rusia) tak seharunya mengetahui tentang ini,” katanya.
Tetapi para seniornya di CIA menenangkannya dan tidak menganggap masalah besar. Maka pelatihan untuk misi Merlin tetap dilanjutkan.
Setelah briefing berakhir di San Fransisco, agen pendamping ini memberikan amplot tertutup yang berisi rancangan nuklir. Si Rusia diminta tidak membuka amplop tersebut berikut dokumen di dalamnya. Setelah itu, dia harus keluar dari Wina dengan selamat dan tetap hidup.
Tapi itu kan skenarionya para pejabata CIA. Si Rusia tampaknya punya pikiran lain tentang kemungkinan memainkan “game” tersebut.
Ketika para pejabat tingkat tinggi Iran akan mengunjungi Wina untuk misi IAEA, CIA segera mengirim si Rusia. Nampaknya, si Rusia mulai memainkan skenarionya sendiri, yang pada akhirnya malah merupakan operasi kontra intelijen terhadap CIA.
Di Wina, si Rusia membuka amplop dengan rancangan nuklir. Lalu menulis surat pribadi kepada pihak Iran. Dalam suratnya, si Rusia memperingatkan pejabat Iran untuk berhati-hati karena ia menemukan kekurangan di dalam tahapan tertentu dari blueprint, dan untuk itu ia sipa membantu menemukan kekurangan tersebut.
Sehari setalah si Rusia memasukkan paket ke misi Iran di Wina, National Security Agency (NSA) melaporkan para pejabat Iran di Wina tiba-tiba mengubah jadwal di IAEA. Merkea menyiapkan tiket penerbangan pulang ke Iran. Kemungkinan besar rancangan nuklir itu sudah berada di pihak Teheran.
Tapi ya itu tadi, Operasi Merlin yang dalam rancangannya adalah untuk menggagalkan atau setidaknya memperlambat proses pengembangan nuklir Iran, justru akhirnya malah mempercepat program nuklir Iran. Inilah yang saya sebut tadi Operasi Merlin justru malah jadi operasi kontra intelijen terhadap CIA.
Betapa tidak. Dengan bocornya Operasi Merlin ketika si ilmuwan Rusia menginformasikan adanya kekurangan rancangan itu kepada Iran, Iran diduga malah justru mempercepat program nuklirnya begitu kekurangan pada rancangan yang cacat itu berhasil diidentifikasi. Dan untuk menemukan cacat dari konstruksi blueprint itu, Iran dengan mudah bisa merekrut beberapa ilmuwan nuklir yang kompetend dalam bidang itu. Salah satunya, Dr Abdul Qadeer Khan, ilmuwan nuklir asal Pakistan. Ilmuwan sekaliber Qadeer Khan, pastinya dengan mudah bisa membandingkan rancangan yang dimilikinya dengan desain yang diterima Iran dari CIA.
Inilah kecerobohan dan salah perhitungan Operasi Merlin CIA yang paling memalukan dalam sejarah intelijen Amerika.
Ketika pada 2005 kegagalan Operasi Merlin diungkap, Direktur CIA Porter Gross kepada Presiden George W Bush mengatakan, CIA benar-benar tidak tahu seberapa dekat Iran menjadi negara dengan kekuatan senjata nuklir.
Dan ironisnya, elemen garis depan dari kecerobohan Operasi Merlin justru seorang ilmuwan Rusia yang membelot ke Amerika.
Jika mencermati kisah ini, sebenarnya bisa dimengerti jika Amerika “buta informasi” dalam arti Amerika tidak mampu memberikan penilaian intelijen yang akurat tentang negara-negara mana saja yang sudah berhasil mengembangkan senjata nuklir. Hal ini tergambar jelas ketika CIA gagal memberikan penilaian intelijen sebelum AS memutuskan melancarkan invasi militer ke Irak pada 2003.
Jelasnya, ketika pemerintahan George W Bush meneruskan era pemerintahan Clinton pada 2000-2008, Washington praktis hanya menerka-nerka dan meraba-raba tentang seberapa jauh Iran, Irak atau Korea Utara berhasil mengembangkan kekuatan nuklirnya.
Alhasil, keputusan Invasi militer AS ke Irak pada 2003 dengan dalih Irak memiliki Senjata Pemusnash Massal, bisa jadi merupakan kompensasi yang dilakukan Washington untuk menebus kegagalan memalukan Operasi Merlin dan operasi-operasi lain yang sejenis.
Buktinya, Operasi Merlin merupakan salah satu kasus kegagalan operasi yang paling dirahasiakan di masa pemerintahan Clinton dan Bush.